Sabtu, 18 April 2015

Radikalisme dan Situs

Radikalisme dan Situs

Imam Nawawi  ;  Sekretaris Inisiasi Hidayatullah
REPUBLIKA, 02 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Keputusan yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui surat No 149/K.BNPT/3/2015 tentang situs/web teradikal untuk memblokir 22 situs online kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika sangat mengejutkan publik. Selain tiba-tiba, pemblokiran yang dilakukan tidak diikuti dengan penjelasan memadai, khususnya dari pihak BNPT.

Langkah itu tentu saja mengundang reaksi banyak pihak, utamanya komunitas netizen. Apalagi, kala klarifikasi yang diberikan Kemenkominfo melalu Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo Ismail Cawidu hanya menjelaskan bahwa pihaknya sekadar menindaklanjuti laporan BNPT.

Tagar #KembalikanMediaIslam bahkan sempat menjadi trending topic di Twitter. Reaksi tersebut sejatinya wajar mengingat cara BNPT menetapkan sebuah keputusan tidak memperhatikan aspek maslahat secara utuh-menyeluruh dan cenderung mengulangi `kekhilafan' Orde Baru dalam memandang media massa (sekarang media online).

Argumen menarik muncul dari anggota Komisi I DPR Ahmad Zainuddin.
"Kita mencoba menegakkan demokrasi dan menolak radikalisme agama. Tapi, dengan memberedel media, itu membunuh kebebasan pers," seperti dikutip Republika, Selasa (31/3).

Dengan kata lain, cara BNPT menanggulangi radikalisme ternyata juga bentuk dari radikalisme yang lain. Membunuh kebebasan pers adalah radikalisme yang pernah ada dan menjadi starting point dari kejatuhan rezim yang lebih dari tiga dekade berkuasa. Semestinya, BNPT memperhitungkan asumsi publik yang demikian sehingga negeri ini tidak perlu selalu menyajikan keributan antara pemerintah dan umat Islam yang disebabkan penilaian sepihak dan cenderung berbau pretensi dan sangat tendensius.

Ketika publik atau katakanlah netizen melihat pemblokiran tersebut sebagai bentuk kediktatoran dan kesewenang-wenangan pemerintah dalam hal ini BNPT, secara strategi BNPT telah terjebak dalam ketergesaan yang menimbulkan dampak kontraproduktif secara sangat luas.

Pertama, tindakan represif seperti itu, kapan, dan di manapun hampir pasti akan mengundang perlawanan dan sikap antipati rakyat kepada penguasa. Apalagi, secara historis, bangsa ini pernah mengalami masa-masa kelam dalam hal pembungkaman media. Secara keseluruhan, langkah BNPT ini merugikan umat Islam sekaligus pemerintahan Jokowi-JK yang baru-baru ini menaikkan harga BBM.

Kedua, langkah BNPT ini bertentangan dengan dasar demokrasi yang mengutamakan prinsip musyawarah mufakat. Pertanyaannya, apakah sulit bagi pihak BNPT mengundang 22 situs yang dinilai radikal itu untuk berdialog?
Langkah ini sama sekali belum dilakukan BNPT. Jelas, berbagai pihak bereaksi dengan pola penetapan keputusan yang sporadis dan menegasikan prinsip demokrasi itu sendiri.

Ketiga, disadari atau tidak, sebagian besar masyarakat Muslim akan melihat pemerintah seperti anti terhadap Islam. Jelas ini sangat tidak baik dan tidak menguntungkan bagi pemerintah yang seharusnya mendapat dukungan penuh umat Islam. Mengingat umat Islam adalah mayoritas yang sejatinya jika ditinjau secara mendalam dan komprehensif, sangat menguntungkan jika pemerintah mau mengedepankan pola pikir sinergis-kolaboratif dalam membendung radikalisme dan membangun negeri ini.

Definisi radikalisme semestinya disusun bersama, tidak semata-mata pemerintah melalui BNPT atau lainnya. Umat Islam melalui perwakilan tokoh ormas juga harus dilibatkan sehingga definisi radikalisme bisa dipahami secara bersama. Tidak seperti sekarang. Naifnya, radikalisme yang masih debatable ini justru dijadikan hujah untuk melakukan tindak represif dengan melakukan pemblokiran 22 situs Islam.

Jika pemerintah mau proaktif, ke depan, radikalisme tidak lagi menjadi musuh BNPT semata, tetapi menjadi musuh bersama. Dengan demikian, hubungan pemerintah dengan umat Islam adalah hubungan yang produktif-solutif dalam mengatasi beragam persoalan kebangsaan dan kenegaraan.

Dengan kata lain, pemerintah melalui BNPT dan aparat keamanan atau pihak terkait harus mengkaji ulang arti radikalisme dengan melibatkan unsur perwakilan umat Islam secara keseluruhan. Tidak terkecuali media Islam online yang dinilai menyebarkan radikalisme oleh BNPT. Langkah ini sangat penting untuk melahirkan pemahaman kolektif bahwa radikalisme adalah musuh bersama.

Terlebih, argumentasi BNPT bahwa radikalisme memiliki hubungan kuat dengan ISIS memiliki relevansi yang sangat rendah, bahkan mungkin tidak relevan. Ahmad Safril (Republika, 31/3) mengatakan, ISIS akan mati dengan sendirinya jika tidak ada media yang memberitakan aktivitasnya. Artinya, untuk apa BNPT bereaksi sedemikian serius dengan munculnya isu ISIS yang boleh jadi juga bukan proses autentik alias sebatas desain politik pihak tertentu yang seperti sebelum-sebelumnya ada dan pada akhirnya hilang entah ke mana. Meskipun beragam informasi mengenai ISIS juga tidak bisa dipandang sebelah mata, menghubungkan media Islam online di Indonesia dengan ISIS adalah penilaian tidak berdasar.

Karena itu, BNPT harus berani bersikap arif bijaksana dengan bersegera mencabut perintah pemblokiran 22 situs media Islam online sekaligus memberikan klarifikasi memadai sehingga penduduk negeri yang mayoritas Islam ini tidak lagi merasa tersakiti. Ingatlah bahwa yang menginginkan negeri ini aman tenteram bukan saja BNPT, melainkan semua unsur penting di negeri ini, utamanya umat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar