Benang
Kusut Sepak Bola Nasional
Abdullah Yazid
; Alumnus Universitas Trilogi Jakarta; Peneliti
Institut Nusantara
|
JAWA POS, 13 April 2015
UPAYA Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melalui Badan
Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) membenahi persepakbolaan nasional
mendapatkan perlawanan serius PSSI dan PT Liga Indonesia. Hasil verifikasi
BOPI yang tidak meloloskan Persebaya dan Arema Cronus untuk mengikuti
kompetisi ISL 2015 (sekarang QNB League) tidak diindahkan. Kedua klub tetap menggelar
pertandingan, bahkan disiarkan langsung televisi nasional.
Babak baru kemelut sepak bola dimulai lagi. Seakan beradu
kekuatan, PSSI dan PT Liga yang merasa didukung FIFA dengan gagah berani
mengobarkan perlawanan dengan otoritas pemerintah. Kemelut sepak bola kali
ini bukanlah hal baru. Pada 2011, jagat sepak bola nasional pernah
menggegerkan Indonesia dengan dualisme kompetisi, yakni ISL dan IPL. Problem
organisasi PSSI yang berimbas pada sepak bola nasional benar-benar seperti
benang kusut yang sulit diurai.
Tuntutan Profesional
Ada banyak catatan tentang era profesional sepak bola Indonesia.
Kompetisi ISL yang digelar sejak 2008 awalnya ditujukan untuk mewujudkan
profesionalisme penuh persepakbolaan Indonesia. Pertimbangan lainnya, format
Liga Indonesia 2007 berlangsung setengah kompetisi sehingga mengakibatkan
tingginya ketegangan pertandingan dan berpotensi memicu kerusuhan. Apalagi,
peserta Liga Indonesia dinilai terlalu banyak, yakni 36 tim.
Kompetisi sekarang hanya setengahnya, yakni 18 tim. Ini berdasar
ketentuan FIFA dan AFC yang menyatakan liga teratas suatu negara harus
diikuti paling sedikit 18 klub, dan setiap klub diharapkan profesional murni
tanpa dibantu dana subsidi pemerintah. Syarat lainnya adalah klub peserta
harus mengembangkan tim U-21 yang diikutkan paralel dalam kompetisi ISL U-21.
Hingga dua tahun pertama ISL, kompetisi berjalan lancar. Bahkan,
pada musim 2009–2010, AFC menobatkan ISL sebagai liga terbaik peringkat ke-8
se-Asia dan liga terbaik se-Asia Tenggara. Permasalahan justru muncul dari
segi pengelolaan organisasi. Misalnya, hanya empat tim yang murni
mengandalkan keuangan sendiri dan tidak berdasar pada subsidi pemerintah
lewat APBD. Beberapa tim juga masih dikelola pelatih level rendah. AFC dan
FIFA sendiri terus-menerus menuntut pengelolaan sepak bola yang profesional.
Asas Profesional
Sebagai lembaga yang ditunjuk berdasar amanat UU Sistem
Keolahragaan Nasional (SKN) No 3/2005, BOPI bertugas mengawasi dan menegakkan
profesionalitas tersebut. Asas-asas profesionalitas itu, antara lain,
legalitas badan hukum; laporan pajak (NPWP, bukti pembayaran dan pelunasan
pajak); validasi status bidang usaha SIUP; melunasi tunggakan kewajiban
kepada seluruh pemain, pelatih, dan ofisial tim dengan menyertakan bukti
pelunasan, menyertakan dokumen kontrak kerja profesional pemain, pelatih dan
ofisial tim; serta garansi bank. Dalam penyelenggaraan kompetisi, rekomendasi
BOPI menjadi salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi dalam proses
perizinan keramaian yang dikeluarkan Polri.
Pada kompetisi 2015 ini, BOPI melakukan verifikasi pada 5
Februari 2015–31 Maret 2015. Berdasar dokumen dan temuan di lapangan, klub
kategori A (memenuhi persyaratan penuh) adalah Semen Padang, Sriwijaya FC,
Persib Bandung, Persija Jakarta, dan Persipura Jayapura. Kategori B (memenuhi
persyaratan dengan catatan ringan) adalah Bali United, Barito Putera,
Persiram Raja Ampat, Pusamania Borneo, PSM Makassar, Persiba Balikpapan,
Mitra Kukar, Persela Lamongan, Perseru Serui, Pelita Bandung Raya, dan Gresik
United. Kategori C (belum mendapatkan rekomendasi) adalah Arema Indonesia dan
Persebaya Surabaya.
Klub yang masuk kategori A dan B otomatis lolos verifikasi.
Sementara itu, lima klub, yakni PBR, Gresik United, Perseru Serui, Persela
Lamongan, dan Mitra Kukar, diminta melunasi tunggakan hingga putaran pertama
kompetisi. Jika tidak, rekomendasi akan dicabut.
Arema Cronus, yang tidak diloloskan BOPI, memang bermasalah
dalam aspek legalitas. Mereka menggunakan dokumen pengelola lama. Ini ibarat
kita mengendarai mobil, tapi BPKB dan STNK-nya memakai surat-surat mobil yang
lain. Untuk Persebaya, klub ini juga bermasalah dalam aspek legalitas seperti
Arema. Surat izin usahanya untuk properti, bukan untuk olahraga. Padahal,
kedua klub, begitu pula dengan klub lainnya, diberi toleransi waktu yang
cukup panjang, tepatnya sejak 2014. Faktanya, banyak klub meremehkan.
Sikap Tegas
Berkat sikap tegas dari pemerintah, sekarang aspek-aspek
mendasar dan penting dari pengelolaan klub profesional sudah berhasil
dibereskan. Mulai Persib Bandung sampai Perseru Serui sekarang punya NPWP.
Setidaknya sudah punya NPWP. Hampir semua, kecuali Arema dan Persebaya, juga
sudah beres dokumen-dokumen legalnya. Kini, sepak bola profesional di
Indonesia setidaknya berada di level tertinggi ISL/QNB League, hampir
memenuhi persyaratan-persyaratan yang sifatnya mendasar.
Yang perlu dilakukan pemerintah dan BOPI saat ini adalah terus
menjalin komunikasi dengan klub-klub dari kategori A dalam verifikasi BOPI.
Perlu dijelaskan bagaimana visi pemerintah dalam tata kelola kompetisi sepak
bola dan memastikan mereka paham bahwa verifikasi BOPI dan rekomendasi ISL dari
Menpora adalah peluang bagi mereka untuk ikut serta membangun kompetisi yang
sehat, liga yang akuntabel demi industri sepak bola yang lebih baik.
Jangan pernah iseng bermain-main dan meremehkan peraturan dan
perundangan. Indonesia adalah negara hukum. Siapa pun tanpa terkecuali harus
tunduk di depan hukum. Dan ini domain pemerintah, bukan FIFA.
Bahkan, kalau mengikuti saran Djoko Susilo, salah seorang
anggota Tim Sembilan yang dibentuk Menpora, secara ekstrem malah disarankan
satu-satunya upaya memperbaiki persepakbolaan nasional adalah membubarkan
PSSI. Sudah terlalu lama, yakni 7 tahun, kompetisi kita dikelola PSSI dan PT
Liga dengan standar yang begitu longgar. Hemat saya, memidanakan perlawanan
PT Liga dan PSSI ke ranah hukum, bahkan langkah membubarkan organisasi ini,
adalah jalan terakhir yang dapat ditempuh jika memang sudah tidak ditemukan
lagi iktikad baik menata dan menegakkan profesionalitas sepak bola kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar