Kontroversi
Pemilihan Rais Am
Mainunah Saroh
; Pengurus Fatayat NU Jawa Timur
|
JAWA POS, 13 April 2015
HANYA berselang tiga hari Jawa Pos memuat berita dan opini soal ahlul halli wal aqdi (ahwa). Pertama, pernyataan Menteri
Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin yang mendukung pemilihan rais am
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) lewat ahwa (31/3). Kedua, tulisan
Khoiron berjudul Meneguhkan Supremasi
Kiai yang juga mendukung ahwa (3/4).
Dalam opini tersebut, Khoiron mengklaim ahwa sudah disepakati
dalam Munas-Konbes NU 2014. Faktanya, dari total 33 pengurus wilayah (PW) NU,
justru mayoritas menolak ahwa. Penolakan masal itu ditegaskan lagi dalam
pertemuan 25 PW NU pada 29 Maret 2015.
Imam Aziz selaku ketua panitia muktamar maupun Said Aqil Siradj
sebagai ketua umum PB NU menyatakan di media massa bahwa pemilihan rais am
dalam Muktamar Ke-33 NU di Jombang memakai sistem ahwa. Padahal, semua
keputusan musyawarah nasional (munas)-konferensi besar (konbes) masih akan
dibahas lagi dalam muktamar.
Khoiron menukil pendapat Ketua PW NU Jawa Tengah Abu Hafsin soal
ahwa. Memang selama ini PW NU Jawa Timur dan Jawa Tengah yang resmi
mewacanakan ahwa. Tapi, ketika 25 PW NU menolak ahwa, Abu Hafsin juga realistis.
Dia justru menginginkan ketua umum yang di-ahwa-kan, bukan rais am.
Kenapa ahwa ditolak? Pertama, mereka menganggap ahwa
bertentangan dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) NU. Dalam
AD/ART NU pasal 41 poin a disebutkan, rais am dipilih secara langsung oleh
muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar
setelah yang bersangkutan menyampaikan kesediaannya. Artinya, kalau mau
menerapkan ahwa, mereka harus mengubah AD/ART NU terlebih dulu melalui
muktamar. Munas-konbes adalah lembaga di bawah muktamar.
Kedua, untuk kondisi sekarang, sulit mencari figur kiai yang
memenuhi syarat sebagai anggota ahwa. Para penolak ahwa realistis dan sadar
tentang eksistensi kiai dewasa ini. Kesadaran eksistensial itu tentu bagian
dari kultur NU, yaitu sikap tawaduk dan tahu diri.
Khoiron menyebutkan, selama 30 kali muktamar, selama itu pula
sistem ahwa digunakan, yang menempatkan konsep musyawarah dalam pemilihan
rais am. Dalam sejarah NU, ahwa hanya dipakai pada Muktamar Ke-27 NU di
Situbondo (1984). Saat itu NU dihegemoni politisi hampir 26 tahun sehingga
para kiai sepuh seperti KH As’ad Syamsul Arifin, KH Mahrus Ali, dan kiai lain
sepakat mengambil alih NU lewat ahwa demi keselamatan organisasi keagamaan
yang didirikan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari pada 1926 itu. Ijtihad para kiai
tersebut melahirkan duet kepemimpinan KH Ahmad Shiddiq sebagai rais am dan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua umum tanfidziyah PB NU.
Kini sudah tak ada ulama sekaliber KH As’ad Syamsul Arifin, KH
Mahrus Ali, KH Ahmad Shiddiq, KH Ali Maksum, dan kiai lain, terutama dari
segi keilmuan, wawasan, kezuhudan, kearifan, ketokohan, serta kemampuan
menyerap informasi secara adil dan imbang. Karena itu, pemilihan rais am
lewat suara muktamirin lebih maslahat ketimbang menunjuk sembilan kiai yang
pasti mengundang kontroversi berkepanjangan.
Ada peringatan dari KH Ahmad Baghowi, rais syuriah PC NU
Nganjuk, Jawa Timur. Dia meminta kalangan elite NU memakai referensi kitab
kuning setiap mengambil keputusan strategis. Dalam konteks ahwa, dia merujuk
kitab Qothrul Ghaits (halaman 12) dan Al Fiqhu Alaa Madzahibil Arba’ah (hal
1364). Menurut dia, dalam kitab muktabarah (standar pesantren) itu, tak ada
angka pasti anggota ahwa sehingga tak tepat jika elite PB NU membatasi
sembilan orang.
Menurut dia, saat Rasulullah SAW wafat, jumlah sahabat 124.000
orang. Maka, wajar jika dalam pengangkatan khalifah Abu Bakar atau Utsman,
mereka hanya diwakili 5 sampai 6 orang atau di bawah bilangan 10 orang. Atau,
1 anggota ahwa mewakili 20.000 orang.
Kini, kata KH Baghowi, jumlah warga NU ratusan juta. Karena itu,
rasional jika diwakili 500 rais syuriah. Toh, setiap rais mewakili ratusan
ribu warga NU kabupaten/kota. Lagi pula, su’ul adzab menyalahkan pengurus NU
tempo dulu hanya karena memakai sistem pemilihan sesuai dalam AD/ART NU
sekarang.
Ketiga, skenario ahwa ditengarai tidak tulus. Hanya untuk
menjegal figur tertentu. Keempat, ahwa dianggap mengambil alih hak PW-PC NU
dalam menentukan pemimpin NU ke depan. Padahal, kiai-kiai yang ditunjuk
sebagai anggota ahwa belum tentu lebih wira’i, zuhud, arif, dan alim
ketimbang rais syuriah PW-PC NU.
Kelima, tak ada jaminan ahwa bisa mengikis riswah (money
politics) dan pengaruh politisi. Justru memengaruhi sembilan kiai lebih mudah
daripada 500 rais syuriah PW-PC NU. Lagi pula, kalau pemilihan rais am lewat
ahwa, sedang ketua umum dipilih lewat suara muktamirin, legitimasi rais am
jelas lebih rendah (hanya dipilih sembilan kiai) dibanding ketua umum yang
dapat mandat dari 500 lebih kiai se-Indonesia.
Khoiron menyebut ide ahwa muncul dari kasus muktamar NU di
Makassar yang mirip dengan pilkada. Memang ada yang berpendapat bahwa
muktamar NU di Makassar adalah muktamar terburuk. Karena itu, mereka minta
praktik tercela riswah dalam muktamar NU di Makassar tidak terulang.
Wallahualam bissawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar