Jumat, 17 April 2015

Perundingan WTO dan Indonesia

Perundingan WTO dan Indonesia

Iman Pambagyo  ;  Duta Besar RI untuk WTO
KOMPAS, 17 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Diskusi mengenai perdagangan di Tanah Air beberapa bulan ini sangat fokus pada masalah mendesak yang perlu ditangani pemerintah, seperti stabilitas harga bahan pokok, peningkatan produktivitas beberapa komoditas penting, peningkatan daya saing ekspor, dan bagaimana menghadapi produk impor di dalam negeri.

Hal itu tidak dapat dilepaskan dari konteks perdagangan internasional yang diatur Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kebijakan perdagangan Pemerintah RI terus dipantau para anggota WTO, kini 161 negara, terutama apabila kebijakan itu dianggap berpotensi mengganggu kelancaran kegiatan ekspor dan impor dengan Indonesia.

Sebagai salah satu pendiri WTO, Indonesia tentu perlu memperhatikan hak dan kewajiban dalam berbagai perjanjian WTO yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Namun, apakah perjanjian-perjanjian WTO itu telah sempurna?

Pembahasan ulang

Berbagai perjanjian di WTO saat ini sedang dibahas ulang karena dianggap kurang berpihak kepada negara berkembang dan negara kurang berkembang. Melalui Agenda Pembangunan Doha yang diluncurkan para menteri perdagangan anggota WTO tahun 2001, perundingan yang berlangsung di Geneva saat ini fokus pada penyusunan program kerja yang dapat mengakhiri Perundingan Putaran Doha.

Kesepakatan untuk mencoba menuntaskan Putaran Doha ini dicapai pada Konferensi Tingkat Menteri WTO Ke-9 di Bali, 3-7 Desember 2013, yang berhasil menyelesaikan hampir 10 persen dari Agenda Pembangunan Doha yang berjumlah 19 butir.

Para perunding di Geneva saat ini mencoba menyepakati sebuah program kerja pasca-Bali yang diharapkan dapat dicapai akhir Juli 2015. Tiga isu besar yang dibahas secara intensif adalah isu pertanian, akses pasar non-pertanian, dan jasa. Isu lain di bawah Agenda Doha tentu sama pentingnya, tetapi kemajuan pembahasan isu-isu tersebut akan sangat ditentukan oleh kemajuan pada tiga isu pertama. Di antara ketiga isu utama, pertanian menempati posisi kunci. Mengapa?

Sekitar dua pertiga anggota WTO adalah negara-negara berkembang dan kurang berkembang yang perekonomiannya sangat bergantung pada sektor pertanian. Kondisi pertanian negara-negara ini telah berubah dan jauh dari kondisi saat WTO berdiri tahun 1995: kebutuhan pangan meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan perubahan iklim, kapasitas fiskal yang memungkinkan sejumlah negara berkembang memberikan dukungan domestik (subsidi) di sektor pertanian, serta meningkatnya peran pedagang antara yang ikut menentukan harga dan aksi spekulasinya.

Dapat diduga, negara-negara maju—di antaranya negara pemberi dukungan domestik dan ekspor pertanian yang sangat besar sejak sebelum terbentuknya WTO hingga saat ini—menunjukkan keengganan memberikan tambahan fleksibilitas kepada negara-negara berkembang apabila tidak ada ”kompensasi” berupa tambahan pembukaan akses pasar pertanian dan disiplin ketat bagi program-program dukungan domestik yang sudah dan akan diterapkan negara berkembang.

Pada 2008 sebetulnya negara-negara anggota WTO telah menghasilkan draf modalitas perundingan yang disebut ”Rev-3” untuk akses pasar non-pertanian dan ”Rev-4” untuk pertanian. Meskipun sejumlah isu masih harus dirundingkan, baik ”Rev-3” maupun ”Rev-4” dipandang oleh sebagian besar negara berkembang dan kurang berkembang sebagai modalitas yang seimbang. Dalam arti dapat menampung kepentingan negara maju untuk menurunkan hambatan perdagangan barang, tetapi memberikan tambahan fleksibilitas dan perlakuan khusus bagi negara berkembang dan kurang berkembang.

Namun, mengingat kompleksitas isu dan tenggat waktu Juli 2015, negara maju dan sejumlah kecil negara berkembang kini mencoba menyodorkan modalitas yang lebih sederhana.

Permasalahannya adalah bahwa modalitas tandingan ini praktis akan menghapus keseimbangan dalam draf modalitas ”Rev-3” dan ”Rev-4” sehingga perundingan di Geneva saat ini sulit maju. Maka, negara-negara berkembang dan kurang berkembang terus menyuarakan posisinya agar perundingan pertanian dan akses pasar non-pertanian dimulai dengan modalitas tahun 2008 apabila perlu ada ”rekalibrasi” guna menanggapi kesulitan sejumlah anggota menggunakan ”Rev-3” dan ”Rev-4” sebagai dasar program kerja pasca-Bali.

Fokus pada pembangunan

Indonesia, sebagai ketua kelompok G-33—beranggotakan 46 negara berkembang dan kurang berkembang—memperjuangkan kepentingan defensive dalam perundingan pertanian melalui proposal special products, special safeguard mechanism, dan public stockholding. Indonesia konsisten mengingatkan semua anggota WTO bahwa isu pembangunan merupakan tema sentral dari Perundingan Doha.

Apa pun yang disepakati sebagai program kerja pasca-Bali dan bagaimanapun Perundingan Putaran Doha akan dituntaskan, fleksibilitas bagi negara berkembang dan kurang berkembang harus dapat diakomodasikan dengan baik.

Imbauan seperti di atas terus disuarakan karena ada tekanan kuat dari negara maju untuk secepatnya menyelesaikan Perundingan Doha dan memulai perundingan isu-isu baru, seperti e-commerce dan environmental goods. Dorongan yang sama juga mungkin saja datang dari negara-negara Afrika, khususnya Kenya, karena untuk pertama kalinya Konferensi Tingkat Menteri WTO akan digelar di Nairobi tanggal 15-18 Desember 2015.

Bagi negara maju dan sebagian kecil negara berkembang, kredibilitas Perundingan Doha tampaknya akan diukur dari hasil yang signifikan secara komersial, yakni pembukaan pasar.

Di lain pihak, Indonesia dan sebagian besar negara berkembang di WTO akan mengukur keberhasilan Perundingan Doha dari aspek pembangunan: sejauh mana hasilnya dapat memberikan ruang gerak untuk mengatasi masalah pembangunan dan menciptakan aturan main yang lebih adil (level playing field). Indonesia tentunya tidak ingin apabila hasil-hasil Perundingan Putaran Doha dipangkas sehingga agenda pembangunan yang melekat di dalamnya diminimalkan.

Dapat dikatakan, inilah satu-satunya kesempatan besar bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang untuk memperbaiki ketidak-seimbangan perjanjian-perjanjian WTO yang disepakati 20 tahun lalu.

WTO dan sistem perdagangan multilateral yang dinaunginya memang menjadi satu-satunya tempat untuk mendisiplinkan perdagangan antarnegara. Sistem ini memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada seluruh anggota dengan perlakuan khusus kepada negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Dalam forum WTO ini negara kecil mempunyai hak yang sama dengan negara yang lebih besar untuk menggugat negara lain apabila kebijakan negara tersebut mengganggu kepentingan komersialnya apalagi jika melanggar perjanjian WTO.

Permasalahannya adalah perjanjian itu lebih berpihak kepada negara-negara maju, sementara negara berkembang dan kurang berkembang terus dihadapkan pada permasalahan domestik. Maka, Indonesia bersama negara berkembang lain harus mengawal ketat Perundingan Putaran Doha demi perdagangan yang lebih adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar