Multiwajah
Terorisme
Heru Susetyo ; Staf Pengajar HAM dan Viktimologi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
REPUBLIKA,
04 Maret 2015
Teroris adalah berwajah Arab, teroris berafiliasi ke
kelompok garis keras Muslim tertentu, terorisme adalah bermotif agama dan
kepercayaan tertentu, teroris pernah mengikuti pelatihan di Afghanistan atau
Pakistan. Demikian kesan dan opini yang kuat mengakar di sebagian masyarakat
dunia, termasuk di sebagian media massa mainstream.
Walhasil, ketika suatu tindak kekerasan yang brutal
pelakunya tidak berwajah Timur Tengah, tidak terafiliasi dengan kelompok
garis keras Muslim tertentu, dan tidak mengusung isu agama, maka dengan mudah
publik akan menilai ini bukan terorisme. Ini hanya kejahatan biasa yang amat
brutal.
Itu pula yang terjadi dengan kekerasan di Chapel Hill,
North Carolina, Amerika Serikat. Peristiwa penembakan terhadap tiga mahasiswa
Muslim University of North Carolina pada Selasa 10 Februari 2015 tersebut
cenderung sepi dari pemberitaan media.
Reaksi
terhadap penembakan brutal yang dilakukan lelaki kulit putih yang konon
melakukannya semata-mata "karena
sengketa area parkir" cenderung datar-datar saja. Tidak terjadi
hiruk pikuk media dan kemarahan luar biasa. Tidak terjadi pawai akbar dan hujatan masif seperti
ditunjukkan pascabom di Boston, AS, pada 15 April 2013 yang menewaskan tiga
orang.
Atau pascaserangan dan penyanderaan di kafe cokelat di
Sydney, Australia, yang menewaskan dua orang pada 15-16 Desember 2014, atau
yang teranyar penyerangan brutal ke kantor majalah mingguan Charlie Hebdo di
Paris pada 7 Januari 2015 yang menewaskan 11 orang. Bukan kebetulan pelakunya
adalah keturunan Chechnya (Tsarnaev bersaudara), Aljazair-Mali (Kouachi
bersaudara dan Coulibaly), dan Iran (Man Haron Monis). Alias mereka yang
terafiliasi dengan negara Muslim atau kelompok Muslim tertentu.
Menilik berbagai peristiwa yang disebut sebagai
"terorisme" di berbagai bagian dunia, lahirlah opini bahwa
terorisme identik dengan persangkaan di atas. Terkait dengan dunia Arab,
terkait dengan kelompok Muslim, pernah terlibat dalam latihan di Afghanistan
atau Pakistan. Dan pelakunya adalah aktor-aktor nonnegara yang memendam
kemarahan tertentu dan kemudian menebar teror dan ketakutan.
Apakah terorisme memang demikian adanya? Identik dengan
dunia Arab, ekstremis Muslim, dan kekerasan berlatar belakang agama?
Jawabannya mudah: tentu saja tidak.
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat memasukkan
beberapa organisasi yang tak terafiliasi dengan dunia Arab dan dunia Islam
sebagai kelompok teroris. Antara lain LTTE di Srilanka, IRA di Irlandia
Utara, FARC di Kolombia, Shining Path di Peru, Kahane Chai di Israel,
gerilyawan ETA di Basque Country (antara Spanyol dan Prancis), CPPA di
Filipina, gerakan 17N di Yunani, Aum Shinrikyo di Jepang, dan lainnya.
Di samping Kementerian Luar Negeri AS, Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, serta beberapa negara seperti Kanada, Inggris,
Australia, Mesir, Uni Emirat Arab, dan lain-lain memiliki daftar sendiri
tentang siapa yang termasuk kelompok teroris. Dari daftar tersebut nyata
timbul perbedaan.
Cukup banyak gerakan perlawanan, gerakan separatis, dan
prokemerdekaan yang secara mudah diberi label sebagai "organisasi
teroris" oleh pihak lawan atau negara yang menjadi musuh utamanya. Dari
sini berkembang istilah "seorang
teroris bagi satu pihak bisa berarti pejuang kemerdekaan di pihak lain"
(one man’s terrorist is another man’s
freedom fighter).
Terorisme memang adalah konsep yang relatif sulit
didefinisikan. Sezgin (2007) menyebutkan bahwa terorisme adalah konsep yang
paling diperdebatkan dalam ilmu sosial dan mendefinisikan terorisme adalah
salah satu pekerjaan yang paling memicu kontroversi dalam wilayah hukum dan
politik. Terorisme juga terminologi yang sering dipertentangkan dan sarat
dengan subjektivitas.
Kendati demikian, negara dan para sarjana bersepakat bahwa
dalam suatu peristiwa terorisme terkandung empat elemen (Isthiaq Ahmad, 2012). Pertama, terorisme adalah kejahatan. Kedua,
terorisme dilakukan dengan sengaja. Ketiga, target utama terorisme adalah
masyarakat sipil. Keempat, motif utamanya untuk menciptakan ketakutan.
Salah satu definisi terorisme sebagaimana diacu oleh
Majelis Umum PBB pada 1999 adalah semua kejahatan yang dimaksudkan untuk
memprovokasi atau melahirkan teror kepada masyarakat umum, kepada sekelompok
orang atau kepada orang-orang tertentu untuk tujuan politik tertentu yang tak
dapat dijustifikasi secara politik, filosofis, ideologis, rasial, etnis,
agama, dan lain-lain.
State terrorism
Karena terlalu kenyalnya definisi tentang terorisme, dua
"pelaku kekerasan" yang hampir sepadan dengan terorisme sering kali
tak disebut sebagai terorisme, yaitu kekerasan yang dilakukan oleh negara (state violence) dan kekerasan oleh
pelaku tunggal atau beberapa pelaku yang mendukung kelompok, gerakan atau
ideologi tertentu, tapi bekerja sendiri dan tak terafiliasi ke kelompok
manapun (lazim disebut lone wolf
terrorism alias terorisme serigala tunggal).
Kekerasan oleh negara terhadap warganya pernah terjadi di
Indonesia di era Orde Lama maupun Orde Baru (kasus Tanjung Priok, Lampung,
penembakan misterius, dan lainnya). Juga di negara-negara lain, sebutlah
Jerman di era Nazi dan Hitler yang membantai orang-orang Yahudi, Gypsy, dan
homoseksual. Diktator Uni Soviet Joseph Stalin yang bertanggung jawab atas
tewasnya jutaan orang, mantan presiden Cile Augusto Pinochet bertanggung
jawab atas tewasnya ribuan orang lawan politknya pada 1973-1981.
Jangan lupakan juga kekerasan negara di era modern ini.
Pada 2014 terungkap laporan dari Komisi di Senat Amerika Serikat tentang
metode penyiksaan brutal kepada para tahanan terduga teroris yang dilakukan
Badan Intelijen Amerika (CIA) pada 2001-2006. Kisah penyiksaan brutal lain
terungkap oleh buku Guantanamo Diary yang dibuat oleh Mohamedou Ould Slahi,
seorang warga negara Mauritania yang ditahan di Guantanamo sejak 2002 sampai
kini (Republika, 20/01/2015), dan
Moazzam Beg, mantan tahanan di Guantanamo pada 2002-2005 yang ditangkap dan
akhirnya dilepaskan tanpa sempat menjalani pengadilan apa pun.
Myanmar adalah contoh buruk lainnya. Sampai detik ini
negara ini belum mengakui etnis Rohingya yang tinggal di Negara Bagian Arakan
sejak berabad-abad silam sebagai warga negaranya. Akibatnya, etnis Rohingya
berstatus tanpa kewarganegaraan (stateless)
dan teraniaya di negerinya sendiri akibat kejahatan struktural ini. Sebagian
warga Rohingya kemudian mengungsi ke Bangladesh dan terusir ke laut sebagai
manusia perahu untuk kemudian terdampar di Thailand, Malaysia, dan Indonesia
dalam kondisi mengenaskan.
Sementara itu, lone wolf terrorism pelakunya lebih beragam
lagi. Pelaku Bom Boston 2013 (Tsarnaev Brothers), serangan dan penyanderaan
Sydney 2014 (Man Haron Monis), serta Craig Stephen Hicks sang pembantai di
Chapel Hill North Carolina pada 10 Februari 2015 termasuk kategori ini.
Banyak pihak menyinyalir pembantaian ini tidak semata-mata karena sengketa
area parkir, tetapi bercampur dengan kebencian terhadap agama (hate crime).
Pada 19 April 1995, Timothy McVeigh melakukan pengeboman
terhadap Gedung Federal di Oklahoma City, AS. Kejahatan yang menewaskan 168
orang oleh pelaku tunggal berkulit putih ini terorisme terdahsyat di AS
sebelum kejadian 9/11. Di Norwegia, Anders Behring Breivik, seorang
ultranasionalis kulit putih, membantai 77 orang hingga tewas di Oslo pada 22
Juli 2011. Motif utamanya kebencian kepada imigran (utamanya imigran Muslim)
dan partai pemerintah yang mengakomodasi kelompok imigran.
Terorisme sampai kini tetap sukar didefinisikan dan
bersifat sangat subjektif. Yang harus disepakati, terorisme tidak berwajah
tunggal. Pelaku teror tidak mesti datang dari agama, etnis, daerah, atau
kelompok keyakinan tertentu. Potensi untuk melakukan kekerasan terdapat di
semua negara, bangsa, etnis, dan penganut agama.
Juga, pelaku teror tidak melulu aktor nonnegara
berlatarbelakang kelompok maupun individual (lone wolf terrorism). Sejatinya negara dan rezim yang berkuasa di
suatu negara tidak sedikit yang telah melakukan kejahatan serupa terorisme.
Sayangnya, karena negara memiliki hak, kewenangan, dan monopoli
dalam penggunaan paksaan dan kekerasan dengan sejumlah justifikasi tertentu,
para pakar berpendapat definisi terorisme yang selama ini berkembang
cenderung mengarahkan pelaku teror adalah aktor nonnegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar