Kepemimpinan
Parpol
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas
Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
|
REPUBLIKA,
03 Maret 2015
Dalam sebuah kuliah umum bisnis internasional pada 2008,
saat ditanya apa rahasia keberhasilan Google, CEO dari perusahaan penyedia
informasi terbesar situs dunia maya ini menyatakan, “Apabila saya tidak memperlakukan pekerja kami dengan respek dan
melibatkan mereka dalam pengambilan kebijakan maka mereka akan turun ke
jalan, mengabarkan perlawanan dan berita menarik kepada publik sekaligus
menyodorkan masalah besar yang akan sulit kami antisipasi."
Pernyataan di atas adalah kunci dari keberhasilan kepemimpinan
di abad ke-21, bukan saja kunci kepemimpinan di dunia usaha, tapi juga
password bagi kepemimpinan di dunia politik.
Partisipasi, kolaborasi antaraktor, dan keterlibatan para
kader dalam pengambilan setiap kebijakan menjadi tantangan bagi setiap parpol
untuk beradaptasi dengan proses keterbukaan yang semakin meluas dalam proses
demokrasi di Indonesia. Sebaliknya, klik elitisme partai, hierarki
kepemimpinan, dan penempatan kader hanya sebagai instrumen politik elite
menjadi tanda bagi senjakala riwayat partai dan kepemimpinan politiknya.
Kebutuhan penyegaran partai politik di dalam parpol
sepertinya menjadi tantangan bagi seluruh partai politik di Indonesia.
Setelah Pilpres 2014 usai tiga bulan yang lalu, pandangan kita terhadap
dinamika politik masih tertumpu pada ketegangan antara kekuatan pemerintah
dan oposisi.
Dalam hiruk-pikuk politik terkini, kita melupakan bahwa
dinamika politik yang sehat dalam proses demokrasi di Indonesia tak terlepas
dari performa partai politik sebagai tulang punggung demokrasi di Indonesia.
Apabila kita tarik akar persoalannya, untuk menuju perubahan politik yang
lebih baik, demokratisasi partai adalah sebuah kebutuhan sejarah.
Apabila memandang sekilas jejak langkah dari partai-partai
politik, mereka memiliki persoalan besar terkait dengan problem demokratisasi
partai, terutama sehubungan dengan problem rekrutmen kepemimpinan dan
keterlibatan kader dalam pengambilan kebijakan. Partai-partai papan atas
hasil Pileg 2014, seperti PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai
Demokrat masih terjebak dalam problem stagnasi kepemimpinan ketika hasrat
untuk memimpin partai dalam jangka waktu lama dari para pemimpin puncak telah
menghalangi terbukanya katup-katup regenerasi kepemimpinan partai politik.
Dengan melembagakan regenerasi kepemimpinan politik,
secara bertahap partai akan dapat memecahkan tantangan kelembaman
birokratisasi partai sekaligus menghindari problem partai politik
pascaotoritarianisme, seperti politik dinasti dan nepotisme.
Sehubungan dengan pentingnya penyegaran kepemimpinan
politik, seperti diuraikan oleh Joseph S Nye (2008) dalam The Powers to Lead.
Menurut Nye, pada abad ke-21 penggambaran kepemimpinan politik adalah
pemimpin yang berada di pusat dari sebuah lingkaran, bukan figur yang
memimpin secara top down dalam hierarki sentralistis.
Problem kepemimpinan yang hierarkis sentralistis salah
satunya berakar pada tidak berjalannya proses regenerasi kepemimpinan di
internal parpol. Sebaliknya, kepemimpinan yang setara, partisipatoris, dan
demokratik hanya dapat dibangun ketika proses regenerasi kepemimpinan partai
berjalan baik dengan tradisi pergantian kepemimpinan yang damai dan
terkelola. Hal ini mengingat bahwa partai yang responsif dan adaptif terhadap
tantangan demokratisasi adalah partai yang berhasil melembagakan dinamika
perubahan di internal partai tersebut.
Terkait solusi praktis terhadap kebutuhan penyegaran
kepemimpinan partai politik di Indonesia ada beberapa hal yang patut
dipertimbangkan. Pertama, salah satu peran dari partai politik adalah
melakukan rekrutmen kepemimpinan. Partai memiliki peran menyiapkan
kader-kader terbaiknya menjadi kandidat pemimpin dalam jabatan-jabatan
publik.
Sehubungan dengan tugas ini maka prinsip partisipatoris
atau gotong-royong sudah saatnya diperkenalkan dalam partai untuk memilih
kandidat pemimpin. Dorongan demokratisasi partai semestinya juga terkait
dengan hadirnya inovasi kelembagaan dari setiap partai politik untuk
mengelola aspirasi dan kebutuhan konstituen maupun masyarakat sipil.
Hal ini terkait dengan peran fundamental dari keberadaan
partai politik adalah memberikan rujukan bagi social policy dalam kehidupan
bernegara. Problemnya, tawaran-tawaran kebijakan publik yang diberikan partai
selama era Reformasi terlihat lebih mengikuti logika kepentingan oligarki
politik daripada logika aspirasi warga negara dan konstituen.
Berhadapan dengan problem kelembaman partai maka
diperlukan solusi institutionalisasi kepartaian agar partai tidak semakin
terasing dari kehendak konstituennya. Salah satu langkah yang patut
dipertimbangkan adalah melembagakan kerja-kerja riset intelektual dalam
partai untuk memformulasi kebijakan yang akan ditawarkan dalam proses-proses
politik.
Hal ini sejalan seperti diutarakan aktivis politik
sekaligus intelektual dari Italia, yakni Antonio Gramsci (1971) bahwa partai
berkarakter demokratik adalah the new prince (pangeran baru) yang bertugas
melahirkan pengetahuan bagi pijakan aksi politik baru yang lahir dari
dinamika sosial gerak hidup masyarakatnya. Dengan melembagakan tradisi riset
di internal partai dalam perumusan kebijakan publik, karakter kepemimpinan
politik akan bergerak mendemokratisasikan diri dan melibatkan kader partai
maupun elemen masyarakat sipil yang lebih luas.
Di tengah arus gelombang pasang desakan yang menghendaki
perubahan politik yang lebih demokratis, partai politik harus berbenah dan
menyesuaikan diri dengan arus besar tuntutan masyarakat. Apabila daya tolak
terhadap gelombang pasang desakan demokratisasi parpol lebih besar dari
dorongan progresif untuk berbenah maka partai akan semakin ditinggalkan
publik dan hal itu pukulan telak bagi kehidupan demokrasi kita ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar