Mesir
dan Pembaruan Keagamaan
Zuhairi Misrawi ; Analis
Pemikiran dan Politik Timur Tengah
The Middle East Institute
|
KOMPAS,
04 Maret 2015
Sejak maraknya gerakan ekstremis di Timur Tengah dan
kawasan Arab pada umumnya pasca revolusi, khususnya fenomena Negara Islam di
Irak dan Suriah (NIIS/ISIS), Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi menyampaikan
perlunya proposal pembaruan pemikiran keagamaan (tajdid al-khithab al-dini).
Al-Azhar dan Kementerian Wakaf mendapatkan mandat untuk
melaksanakan proposal itu. Mesir mengambil langkah yang tidak biasa di saat
negara-negara Barat dan koalisinya di Timur Tengah menggencarkan pendekatan
militer untuk menumpas NIIS. Mesir justru mengambil langkah penting untuk
mencegah penetrasi ideologi NIIS yang semakin kuat, khususnya di kawasan
Sinai dan beberapa pelosok yang jauh dari perkotaan.
Perlawanan melawan kelompok ekstremis pasti akan sangat
panjang dan melelahkan, karena itu dibutuhkan strategi yang tepat agar tidak
menimbulkan dampak yang justru menimbulkan simpati warga sehingga mereka
justru berbalik mendukung NIIS. Ironis, di tengah perang global melawan NIIS,
justru kaum muda terdeteksi mempunyai minat untuk bergabung dengan kelompok
terlarang tersebut. Penetrasi NIIS melalui media sosial dan internet telah
memukau kaum muda. Belakangan, kaum muda dari Inggris, Perancis, dan
Australia memilih bergabung dengan NIIS.
Karena itu, langkah yang diambil Mesir untuk menggemakan
pembaruan pemikiran keagamaan merupakan langkah antisipatif yang sangat
tepat. Bahkan, Abdul Mukthi Hijazi dalam tulisannya di Al-Ahram (25/2)
menyebut langkah itu sebagai "revolusi" atas maraknya pemikiran dan
gerakan ekstremis di Timteng pasca revolusi.
Pertarungan antara pembaruan dan ekstremisme akan
meneguhkan eksistensi Mesir. Apakah pembaruan pemikiran keagamaan akan
direspons positif oleh publik atau sebaliknya pemikiran ekstremis ala NIIS
yang akan memenangi pertarungan? Sejarah yang akan mencatat dan
membuktikannya.
Fakta yang tak bisa diabaikan oleh dunia Arab pasca
revolusi, bahwa Al Qaeda dan jaringannya semakin kuat daripada era
sebelumnya. Hal itu bukan hal yang spontan terjadi, melainkan agenda dan
strategi yang disusun rapi oleh Al Qaeda.
Menurut Abdel Bari Arwan dalam After bin Laden: Al Qaeda, The Next Generation, Ayman al-Zawahiri
sudah memproyeksikan jauh-jauh hari bahwa Al Qaeda tak hanya melakukan
perlawanan terhadap Barat, tetapi juga memperkuat basisnya di Timteng akibat
badai revolusi yang mampu menjatuhkan rezim otoriter dan memperkuat posisi
tawar kaum Islamis dalam panggung politik. Instabilitas politik merupakan
momentum tepat untuk menguatkan jaringan dan basis utama. Fenomena NIIS kian
mengukuhkan bahwa capaian Abu Bakar al-Baghdadi dan jaringannya telah
mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan politik menakutkan. Mesir, Jordania,
Turki, Lebanon, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Uni Emirat Arab kian ketakutan
dengan proliferasi NIIS di Timteng, khususnya Suriah dan Irak.
Pembaruan versus ekstremisme
Di Mesir, dialektika antara pembaruan dan ekstremisme
mempunyai sejarah yang cukup lama. Di akhir abad ke-19, Muhammad Abduh telah
menabuh genderang pembaruan pemikiran keagamaan dengan menegaskan pentingnya
rasionalitas dan dialog antar-agama. Abduh memandang cara untuk melawan
kolonialisme dengan melakukan pembaruan dan mengembangkan pendidikan. Mesir,
menurut Abduh, perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
mencerahkan pemikiran keagamaan dalam rangka membangun harmoni, menjaga
pluralitas, dan mendorong dialog konstruktif.
Salah satu pemikiran Abduh yang sangat populer adalah
perlunya memahami Islam sebagai agama dan peradaban (al-din wa al-madaniyyah). Sebagai agama, Islam adalah agama yang
diyakini sebagai agama yang paling benar oleh para penganutnya. Namun,
sebagai peradaban, Islam tak bisa terpisah dengan peradaban agama-agama yang
lain. Islam harus terbuka dan membangun jembatan dengan peradaban lain.
Islam sebagai peradaban inilah yang kemudian melahirkan
sebuah diktum yang sangat populer, "saya menemukan 'Islam' di Barat
tanpa kaum Muslim, sebaliknya saya menemukan Muslim di Mesir tanpa
'Islam'." Abduh hendak mengacu pada nilai-nilai universal Islam yang
jauh lebih membumi di Barat dibandingkan di dunia Islam, khususnya di Mesir.
Warisan Abduh terus diabadikan di Mesir, khususnya di
Al-Azhar sebagai pusat pemikiran keislaman. Filsafat diajarkan di Al-Azhar,
bahkan Grand Syaikh Al-Azhar yang sekarang, Syaikh Ahmad Thayyib, adalah
jebolan jurusan filsafat dan mendapatkan gelar doktor dalam bidang filsafat
Islam dari Universitas Sorbonne, Paris.
Meskipun demikian, pembaruan tidak berjalan mulus. Pada
tahun 1928 muncul gerakan Ikhwanul Muslimin yang diinisiasi oleh Hasan
al-Banna. Gerakan ini sebagai antitesis atas gerakan kultural Abduh. Al-Banna
menegaskan mengenai perlunya gerakan politik yang meneguhkan kembali Khilafah
Islamiyah dan formalisasi syariat Islam. Meskipun mereka menggunakan
instrumen gerakan kultural, sejak awal Al-Banna telah meneguhkan ideologi
Khilafah Islamiyah.
Puncaknya, Sayyed Quthb pada tahun 1950-an dan 1960-an
meneguhkan perlunya menggunakan jalan apa pun untuk mencapai tujuan, termasuk
menggunakan kekerasan. Bukunya, Ma'alim fi al-Thariq, menjadi peneguhan bahwa
di dunia hanya ada dua golongan: Islam dan jahiliyah. Islam harus memerangi
jahiliyah. Meski sebelumnya sudah ditengarai ada beberapa aksi kekerasan yang
dilakukan Ikhwanul Muslimin, sejak masa Sayyed Quthb jalur kekerasan semakin
menguat. Selain dimotori oleh ideologi yang kokoh, hal tersebut juga tak
terlepas dari konteks sosial-politik yang sangat represif terhadap Ikhwanul
Muslimin, khususnya pada masa Gamal Abdul Nasser yang sangat menentang
Khilafah Islamiyah.
Al-Azhar
Kini, gerakan pembaruan dan kelompok ekstremis sama-sama
eksis di Mesir. Keduanya masih berkontestasi di ruang publik. Al-Azhar
sebagai corong moderasi Islam konsisten pada jalur pendidikan dan
pemberdayaan umat. Hampir semua lembaga pendidikan Islam di bawah kendali
Al-Azhar. Sedangkan Ikhwanul Muslimin semakin mengukuhkan sebagai gerakan
politik, terutama pasca revolusi dan berhasil menjadikan kadernya, Muhammad
Mursi, berkuasa, meskipun belakangan dilengserkan oleh militer atas mandat
rakyat.
Al-Azhar menjadi faktor penting moderasi dan pembaruan
pemikiran keagamaan di Mesir dan dunia Islam pada umumnya. Didirikan oleh
Dinasti Fatimiyyah yang beraliran Syiah, Al-Azhar konsisten membangun harmoni
dan keseimbangan. Bahkan, Al-Azhar bersama lembaga titik-temu Sunni-Syiah
yang berpusat di Iran telah lama mendorong dialog dan persuasi antara Sunni
dan Syiah, yang diprakarsai Syaikh Mahmud Syaltut. Dalam sebuah fatwanya yang
sangat populer, Syaikh Syaltut menegaskan, Syiah adalah salah satu mazhab
dalam Islam, dan fikih mazhab Ja'fariyah dan Zaydiyah digunakan oleh Syiah
sebagai salah satu mazhab yang diakui dalam Islam. Di Al-Azhar sendiri diajarkan
enam mazhab fikih, yaitu Syafii, Maliki, Hanafi, Hambali, Ja'fari, dan Zaydi.
Tak hanya itu, Al-Azhar mendorong dialog antar-iman dengan
berbagai agama yang eksis di Mesir, seperti Kristen Koptik, Katolik, Kristen,
Yahudi, dan Bahai. Bahkan, Al-Azhar mendirikan "Rumah Keluarga"
(bayt al-'ailah) sebagai tuan rumah bagi agama-agama agar senantiasa menjaga
keharmonisan dan kerukunan. Kini, Al-Azhar sedang melakukan pemberdayaan dan
pencerahan kepada seluruh khatib Jumat di seantero Mesir agar mereka mendakwahkan
Islam yang damai, ramah, dan sejuk. Tantangannya sekarang terletak pada
masjid-masjid yang masih dikuasai Ikhwanul Muslimin dan kaum Salafi yang
cenderung menolak seruan Al-Azhar.
Langkah Pemerintah Mesir mendorong pembaruan pemikiran
keagamaan patut diapresiasi dan mendapat perhatian karena langkah ini medium
deradikalisasi yang sangat efektif untuk memastikan bahwa moderasi Islam
terus membumi dan mewarnai ruang publik. Hanya dengan cara itu, penetrasi
NIIS dapat diantisipasi agar tak meluas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar