Psikologi
POLITIK
Kristi Poerwandari ; Penulis
kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
08 Februari 2015
Banyak dari kita yang gemas, marah, dan cemas mengikuti
persoalan politik di negeri ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana
memastikan bahwa pemberantasan korupsi, penegakan keadilan melalui hukum, dan
keamanan negara kita tetap terjaga?
George Marcus (2002) mengingatkan bahwa politics is as much about ”feeling” as it
is about ”thinking”. Situasi politik dapat memunculkan emosi-emosi sangat
kuat, entah rasa suka, tidak suka, gembira, marah, muak, keinginan membalas
dendam, hingga kecemasan. Oleh para peneliti psikologi ini disebut dengan
istilah hot cognitions.
Saya mengobrol dengan sopir taksi yang menyampaikan kekhawatiran
bahwa kondisi sekarang dapat berdampak pada situasi keamanan dan mengganggu
kelancarannya mencari uang. Kita juga mengamati respons emosi dari berbagai
kelompok berbeda. Ada suara yang sebagian menyatakan kekecewaan besar bahkan
kemarahan, ada lagi yang mencoba berempati.
David Patrick Houghton menulis buku Political Psychology, Situations, Individuals, and Cases (2009).
Ia mengulas berbagai penelitian psikologi politik dengan menggunakan
kasus-kasus sepanjang sejarah pemerintahan modern di Amerika Serikat. Menurut
dia, emosi berperan penting bukan saja dalam menentukan partisipasi politik
masyarakat, melainkan juga dalam pengambilan keputusan politik dari penguasa.
Emosi-emosi tertentu, misalnya rasa gembira, sedih, malu, hingga keinginan
membalas dendam, dapat memicu bentuk-bentuk pemrosesan informasi secara
khusus yang berakhir dengan pengambilan keputusan tertentu.
”Groupthink” dan ”Newgroup
Syndrome”
Mengenai pengambilan keputusan politik penguasa, tampaknya
perlu sangat berhati-hati. Kita kembali membahas konsep groupthink. Irving
Janis (1972, 1982) mengembangkan konsep groupthink, menunjuk pada situasi
ketika kelompok mengambil keputusan secara salah karena tekanan dalam
kelompok telah sedemikian rupa mengarahkan kelompok pada menurunnya ”efisiensi
mental, kemampuan menguji realitas, dan penilaian moral” dari
anggota-anggotanya.
Houghton mengatakan, kita perlu berdiskusi mengenai ”yang
melampaui groupthink” ketika bicara mengenai pengambilan keputusan dalam
kelompok. Konsep yang digunakan adalah the
newgroup syndrome. Penggagasnya Eric Stern and Bengt Sundelius. Mereka
menjelaskan, pendekatan ini dimaksudkan untuk dapat menelaah dugaan mengenai
dinamika terbentuknya konformitas tidak sehat dalam kelompok politik yang
baru terbentuk.
Dalam kelompok seperti itu, sub-budaya kelompok dan
norma-norma prosedural yang tertata baik belum terbangun. Kekosongan ini
menciptakan ketidakjelasan pada anggota sehingga jadi cemas, bingung,
tergantung, dan mungkin sangat dipengaruhi oleh pemimpin atau anggota-anggota
kelompok yang bergerak agresif.
Menurut Stern dan Sundelius, administrasi pemerintahan
baru masuk dalam kekuasaan dengan anggota-anggota kelompok yang baru,
menciptakan dinamika baru. Pengambilan keputusan yang disfungsional dapat
terjadi karena ada kecenderungan antusiasme besar, dibarengi sikap kurang
terbuka dan kurang kritis.
Mereka mengambil beberapa contoh kasus dalam sejarah
modern pemerintahan Amerika Serikat, misalnya pemerintahan Kennedy.
Pelaku-pelaku utama pemerintahan tidak mengenal satu sama lain dengan baik,
dan baru masuk dalam tugas barunya. Sang presiden juga punya pengalaman
terbatas sebagai anggota Kongres dan kemudian Senator. Menurut mereka,
Kennedy merasa cukup bahwa jika ia mengumpulkan orang-orang berbakat dan
hebat, dengan sendirinya berbagai hal baik dapat dikembangkan. Padahal, tidak
demikian kenyataannya.
Dalam situasi sekarang, ada beberapa hal yang sangat
penting. Pertama, bagaimana presiden dapat memperoleh masukan dari berbagai
pihak sebagai bekal ia merenung. Dia kemudian harus mencari situasi tenang
untuk dapat menimbang-nimbang dan mendengar perasaannya sendiri, sekaligus
mengelola emosi-emosinya untuk dapat mengambil keputusan yang terbaik. Pada
akhirnya, ia harus mengambil keputusan yang mengatasi kepentingan individual
dan kelompok-kelompok sempit.
Keputusan presiden akan memengaruhi emosi mayoritas
masyarakat umum, yang meski punya kemampuan juga untuk memantau, sesungguhnya
jauh dari kemampuan untuk langsung memengaruhi pengambilan keputusan dari
kelompok penguasa. Bagaimanapun, mereka tetap akan berperan sangat kuat
karena para pendukung sudah dari awal berkata mereka akan terus mengawal,
dalam artian, pemerintahannya.
Sementara itu, kelompok-kelompok yang dekat dengan
kekuasaan, yang sekaligus punya kekhawatiran akan dijauhkan dari kekuasaan
atau dibongkar perilakunya yang kurang elok, pasti juga punya emosi-emosi,
perhitungan-perhitungan, dan gerak-geraknya sendiri.
Jajaran pemerintahan harus juga terus berhati-hati agar
seminimal mungkin menampilkan newgroup syndrome. Arogansi harus ditanggalkan.
Sikap rendah hati serta kesediaan mendengar dan mau belajar harus sangat
diutamakan. Hal-hal dari pemerintahan sebelumnya tentu tidak semua buruk.
Banyak juga yang baik yang harus menjadi pembelajaran.
Saya bertanya-tanya apakah di Amerika Serikat, tempat
berbagai penelitian psikologi politik dilakukan, banyak juga aspek-aspek
informal dan tumpukan-tumpukan kepentingan di belakang layar, dengan situasi
yang serunyam seperti di negara kita?
Semoga presiden dan para petinggi kita dijauhkan dari
egoisme, ketakutan, dan kepentingan pribadi atau kelompok, dilindungi dari
bahaya, dan dituntun bekerja hanya untuk kebaikan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar