Ketika
Jalur Sutra Bertemu Poros Maritim
Nugroho F Yudho ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
08 Februari 2015
Pemerintah Tiongkok tak mau membuang waktu untuk
mewujudkan ambisinya memainkan peran penting dalam ekonomi global. Setelah
Presiden Xi Jinping mencanangkan niat negerinya menghidupkan Jalur Sutra
Maritim Abad 21, serangkaian acara digelar dan komitmen dinyatakan sebagai
bukti keseriusan membangun jalur strategis yang akan mendorong pertumbuhan
infrastruktur seluruh Asia.
Bahkan di hari-hari akhir Desember 2014, ada 48 wartawan
berbagai negara diundang berkeliling Tiongkok, mengikuti rangkaian diskusi,
workshop dan wisata. Acara berlangsung melewati hari raya Natal dan baru
berakhir 28 Desember 2014. Temanya mewujudkan Jalur Sutra Maritim Abad 21,
bukan hanya sebagai mimpi Jinping, tapi mimpi Asia Pasifik.
Yang disebut jalur sutra, secara historis adalah lintasan
jalur darat yang menghubungkan timur dan barat Asia, dari Xi’an hingga ke
Konstatinopel. Para pengelana, pedagang, biarawan sampai para nomaden
memanfaatkan jalur ini sehingga menjadi cikal bakal perdagangan modern.
Istilah jalur sutra menjadi populer karena pedagang Tiongkok banyak membawa
sutra sebagai komoditasnya. Belakangan dengan memanfaatkan lintasan samudra,
Jalur Sutra berkembang hingga menuju Laut Hitam, Laut Marmara Balkan sampai
ke Venesia. Sementara di rute selatan, jalur sutra berkembang melewati
Turkestan, Khorasan, Mesopotamia, Antiokia terus ke Mesir dan Afrika.
Begitu juga ke arah selatan, pedagang Tiongkok melintasi
Laut Tiongkok Selatan, sampai Semenanjung Malaya, melintasi Selat Malaka dan
Selat Sunda, kemudian menyeberangi Samudra Hindia. Selama ratusan tahun,
jalur ini menjadi mata rantai perdagangan Tiongkok. Kini mereka berniat
menghidupkan kembali dan memberi arti penting lagi dengan menamakannya Jalur
Sutra Abad 21.
Tiongkok berharap bisa meningkatkan perannya dalam tata
niaga yang menghubungkan Eropa ke Asia Tengah dan Timur, juga jalur energi
dari Afrika ke Asia Selatan dan Timur.
Tiongkok kini tengah membangun beberapa kota baru, yang
akan menjadi elemen penting untuk mendekatkan Tiongkok dengan seluruh dunia.
Jalur jalan, rel kereta api, pelabuhan dengan segala infrastrukturnya kini
sedang dibangun. Di sebuah lembah di perbatasan dengan Kazakhstan misalnya, mereka
membangun sebuah kota baru bernama Horgos sejak Oktober 2014 lalu. Luas kota
itu kelak akan dua kali lebih besar dari New York, AS. Warganya kini baru
85.000 orang. Tapi kelak Horgos akan menjadi pusat rel kereta energi dan
logistik internasional, titik penting rute perdagangan dan transportasi
Tiongkok, Asia Tengah, dan Eropa.
Sejalan dengan Jokowi
Apa urusan Indonesia dengan Maritime Silk Road ini?
Pertama, karena Presiden Xi Jinping memilih Indonesia sebagai tempat pertama
dia melontarkan rencana menghidupkan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21, Oktober
2014. Xi Jinping melontarkan inisiatif strategisnya untuk meningkatkan
investasi dan kolaborasi dengan seluruh negara yang berkepentingan dengan
peningkatan jalur laut.
Kedua, karena inisiatif Tiongkok ini secara kebetulan juga
sejalan dengan ambisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun tol laut.
Jokowi menjadikan pembangunan kekuatan maritim dan pembangunan ekonomi
berbasis maritim sebagai salah satu target kabinetnya.
Sebagai negara dengan 17.504 pulau, panjang pantai 104.000
km dan luas luas laut 5,8 juta, poros maritim memang seharusnya menjadi masa
depan Indonesia.
Itu sebabnya, konsep tol laut Jokowi nantinya akan
mengembangkan dua pelabuhan sebagai hub internasional, yaitu Pelabuhan Kuala
Tanjung di Sumatera Utara dan Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Selain itu,
akan ada 20-an pelabuhan hub feeder untuk mendukung koneksi dengan berbagai
kepulauan.
Untuk Indonesia agendanya memang berat. Pertama-tama yang
harus dilakukan adalah mengubah paradigma tentang laut, menyiapkan aparat
pemerintah dan masyarakat untuk menggerakan kehidupan sektor laut dan
menyiapkan dukungan APBN serta investasi BUMN maupun swasta untuk membangun
infrastruktur laut.
Untuk Tiongkok, Presiden Xi Jinping tidak setengah-setengah
mewujudkan mimpinya. Bulan November 2014, Jinping menyatakan komitmen
menggelontor 40 miliar dollar AS untuk membangun jalur sutra darat maupun
maritim.
Beijing sudah membangun institusi finansial internasional
bernama Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan investasi 50
miliar dollar AS. Institusi keuangan ini akan menjadi pesaing bagi Dana
Moneter Internasional (IMF), atau Bank Dunia (World Bank).
Setahun setelah mendirikan AIIB, Beijing menyatakan
niatnya menggandakan investasi dari 50 miliar menjadi 100 miliar dollar AS.
Kali ini dia mengajak India untuk berpartisipasi dalam investasi di AIIB.
Pada bulan Oktober 2014, Tiongkok juga mengajak 21 negara bergabung dalam
kesepakatan kerja sama pengembangan AIIB. Indonesia belakangan juga
bergabung. Hanya Filipina dari ASEAN yang tidak diikutkan Tiongkok.
Kini AIIB tengah menyelesaikan rincian kerja sama yang
akan menjadi acuan bagi negara-negara Asia yang jelas lebih tertarik dengan
bank yang lebih memihak kepentingan Asia itu. Sikap Tiongkok yang lebih
memihak negara-negara berkembang bakal menggoyang dominasi IMF dan World
Bank.
Dibandingkan konsep Barat, Trans Pacific Partnership (FPP) –yang diusung AS–yang tidak
melibatkan diri dalam membangun infrastruktur baru dan lebih difokuskan pada
kerja sama antara negara-negara yang memang infrastruktur lautnya sudah cukup
kuat, konsep Tiongkok lebih menarik sebab menawarkan pembangunan
infrastruktur baru.
Melibatkan media
Sadar bahwa konsepnya menarik bagi kepentingan banyak
negara ditambah dengan dukungan finansial memadai, Beijing memperluas mimpi
Presiden Xi menjadi mimpinya Asia Pasifik. Tiongkok tidak hanya melakukan
pendekatan antar pemerintahan, tapi juga menjadikan masyarakat seluruh negara
sebagai sasaran konsep besarnya. Beijing ingin konsepnya didukung seluruh
warga Asia Pasifik, bahkan termasuk warga dari negara yang pemerintahnya
tidak sejalan dengan Beijing. Maka jadilah media massa sebagai sasaran
strategis.
Itu sebabnya, akhir Desember Peoples Daily, surat kabar
terbesar corong Beijing mengundang 48 wartawan dari berbagai media dari ASEAN
plus 3 serta negara-negara tetangga seperti India, Banglades, dan Sri Lanka,
berkumpul di Beijing untuk berdialog. Kecuali Kompas yang media swasta,
hampir seluruh media yang diundang adalah milik pemerintah.
Seperti bisa diduga, dalam forum antarmedia itu, yang
muncul adalah dukungan media terhadap gagasan Jalur Sutra Maritim Abad 21.
Utusan dari media Jepang dan Korea, juga menyatakan dukungan penuh dan
komitmen untuk melakukan sosialisasi melalui pemberitaan mereka. Beberapa
utusan media dari India, Pakistan, Banglades, Laos, Thailand, dan Malaysia,
meminta Tiongkok memelopori program pertukaran wartawan dan pertukaran
informasi untuk mempromosikan kerja sama inklusif saling menguntungkan
masyarakat dan pemerintah. Media dari Filipina secara khusus malah meminta
agar dimasukkan dalam kerangka kerja sama Jalur Sutra Maritim, walaupun
sebenarnya wilayah Filipina tidak masuk dalam rute jalur sutra.
Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok Soegeng Rahardjo
menyatakan Indonesia mendukung dan siap bekerja sama mengembangkan Jalur
Sutra Maritim Abad 21, bukan hanya karena sejalan dengan konsep Jokowi, tapi
juga karena secara strategis pembangunan infrastruktur untuk menghubungkan
ASEAN, Asia Tengah, Eropa bahkan sampai ke Afrika, merupakan kebutuhan semua
negara.
Namun apakah tawaran kerja sama pembangunan infrastruktur
menguntungkan Indonesia? Ini masih menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi
akan mempercepat upaya Jokowi mewujudkan poros maritim. Di sisi lain, ada
kekhawatiran dampak negatif yang mungkin timbul. Sebab sasaran strategis
poros maritim Jokowi lebih didasarkan pada pembangunan ekonomi dan
infrastruktur pelabuhan maupun jalur armada angkut.
Sementara Tiongkok dicurigai punya sasaran penguasaan
geopolitik wilayah di jalur Laut Tiongkok Selatan. Artinya, Presiden Jokowi
harus hati-hati merumuskan klausul kerja sama agar Tiongkok tidak mendominasi
pemilikan infrastruktur poros maritim Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar