“Jaim”
Samuel Mulia ; Penulis
kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
08 Februari 2015
Suatu hari, seorang narasumber meminta begitu banyak
persyaratan sebelum tim editorial di tempat saya bekerja melakukan eksekusi
pemotretan. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Bahkan, mengenakan busana harus
begini dan tidak boleh begitu. Saya tidak suka ini, tetapi saya suka ini.
Hal yang demikian sudah sering kali terjadi selama saya
menjalani kehidupan profesional di dunia media. Berbeda persona, tetapi alasannya
selalu sama. Jaga image.
Rapor merah
Image sangat penting untuk begitu banyak orang. Mungkin
terutama
kalau itu berhubungan dengan target pemasukan dana dan
melindungi keadaan yang sesungguhnya sehingga acap kali yang dijual atau
ditampilkan adalah keadaan yang bukan sesungguhnya.
Saya juga tidak tahu mengapa mereka begitu manis ketika
dihubungi, tetapi kemudian seperti serigala siap menerkam ketika eksekusi
dilakukan. Kejadian itu sudah acap kali terjadi, bahkan bertahun-tahun
lamanya, tetapi entah mengapa, masalah jaim itu baru mengusik saya sekarang
ini.
Gara-garanya bukan karena cerita di atas, melainkan ketika
seorang teman mengunggah foto saya di sebuah media sosial tanpa saya ketahui.
Saya lumayan kaget ketika melihatnya karena dalam foto itu saya tampak begitu
tua.
Ia mengambil foto wajah saya begitu dekat sehingga kulit
muka yang seperti jalan rusak itu terlihat sungguh nyata. Belum lagi melihat
kacamata plus yang bertengger di hidung. Ah, saya merasa sungguh buruk rupa
hanya karena
teman saya itu salah mengambil sudut pemotretan. Padahal,
saya ini tak seburuk itu meski tak bisa dikatakan tampan.
Semenjak tertimpa kejadian itu, saya mengerti mengapa
narasumber-narasumber itu begitu bawel saat melakukan sesi pemotretan.
Mencegah terjadinya pengurangan nilai itu yang membuat jaim itu harus
dilakukan. Jaim itu mencegah rapor menjadi merah seperti darah.
Dalam kehidupan profesional sehari-hari pun, saya sering
mendengar karyawan-karyawan yang selalu berucap macam begini, ”Bos datang, bos
datang.” Ucapan yang juga sebuah peringatan agar mereka tidak terlihat
seperti apa adanya.
Dengan demikian, ketika bos datang, karyawan terlihat
baik, santun, dan giat bekerja. Pemandangan itu tentu hanya punya satu
tujuan: agar bos menjadi senang melihatnya. Padahal, mereka sesungguhnya
tidaklah santun dan tidaklah rajin bekerja.
Jaim diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan. Karena
menjadi seperti sesungguhnya, risikonya terlalu berat karena bisa jadi tak
semua manusia bisa menerima kejujuran yang sesungguhnya.
Sekrup dan skrip
Aneh memang kalau dipikir-pikir. Saya ini diajari untuk
menjadi jujur dan apa adanya. Anda dan saya tahu kalimat yang berbunyi be
yourself. Itu selalu digaungkan sampai gendang telinga rasanya mau pecah.
Namun, begitu menjadi be yourself, palu untuk menghakimi diketok seperti
genderang yang ditabuh bertubi-tubi.
Maka, jaim seperti obat dewa yang menyelamatkan dari
terkena palu. Teman saya seorang pria, kalau berbicara semuanya diatur.
Bahkan, ketika kami berkumpul di luar jam kerja dan dalam suasana yang apa
adanya, ia tetap dengan gaya yang begitu kaku dan terjaga. Saya sampai pernah
ingin bertanya kepadanya, apakah ia tak pernah kelelahan menjadi begitu
terjaganya, menjadi begitu tidak apa adanya.
Kemudian di suatu siang saya berkhayal seandainya hidup
ini dilakoni dengan apa adanya. Apakah saya akan gagal menjadi pembicara,
menjadi motivator, menjadi pengamat segala rupa. Apakah target pemasukan saya
tak akan tercapai?
Kalaupun target saya tercapai, apakah akan jauh berkurang
kalau dibandingkan saya jaim? Apakah kalau saya apa adanya, orang malah akan
tersinggung dan bukan menerima saya apa adanya? Apakah orang akan merasa
terancam karenanya? Orang akan mengatakan saya tinggi hati?
Ataukah semua akan jadi aman sentosa karena semua orang
bisa menjadi apa adanya? Dengan demikian, orang tak ragu mengatakan rumah
saya bagus, tak ragu kala dilakukan sesi pemotretan dengan sudut pengambilan
yang bagaimanapun juga tanpa ada sejuta peraturan yang membatasi.
Sebab, bisa jadi sekarang ini saya mudah sekali
tersinggung karena saya terlalu tidak apa adanya. Saya melakoni hidup seperti
sedang membaca skrip dalam sebuah pementasan sandiwara atau film. Saya
mengencangkan sekrup agar tidak lepas karena saya seorang pria flamboyan dan
harus jaim di ruang publik, misalnya.
Maka, mungkin ketika saya mudah naik pitam karena
berseberangan pendapat dengan orang lain, itu bukan karena perbedaan
pendapat, melainkan karena saya sudah kelelahan jauh sebelum pendapat yang
berbeda itu datang dalam kehidupan saya.
Akibatnya, perbedaan pendapat bisa jadi dipakai sebagai
akar masalah. Padahal, kalau saja saya tidak kelelahan, saya bisa berpikir
dengan tenang bahwa saya diciptakan berbeda dalam segala hal dengan orang
lain. Ya, sudah pasti pendapatnya berbeda.
Kelelahan telah membuat saya berpikir perbedaan itu sebuah
ancaman, padahal sama sekali tidak. Saya lelah karena saya melakoni hidup
untuk kepentingan fisik dan bukan kepentingan ketenteraman jiwa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar