Pilkada
Serentak Beban Baru MA
Marwan Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Februari 2015
KESEPAKATAN fraksi-fraksi di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan wali
kota (pilkada) secara serentak dari Desember 2015 ke Februari 2016 patut
diapresiasi.Sebagaimana diketahui, Perppu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang disetujui DPR menjadi undang-undang
menetapkan pilkada serentak pada Desember 2015, tetapi menimbulkan polemik
akibat waktu pelaksanaan yang mepet. Maka itu, penundaan pilkada serentak
selain memberi ruang untuk melakukan revisi bagi DPR karena beberapa materi
perlu diperbaiki, juga berguna bagi penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Umum
(KPU-KPUD) untuk melakukan persiapan yang jauh lebih matang.
Namun, dari satu aspek itu tetap
membawa konsekuensi berupa penambahan beban baru bagi Mahkamah Agung
(MA).Pasal 157 mengatur, dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan
suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan
pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU provinsi dan
KPU kabupaten/ kota ke pengadilan tinggi yang ditunjuk MA.Padahal, sebelumnya
sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) ditangani Mahkamah Konstitusi
(MK), tetapi melalui putusan MK pilkada dinilai bukan rezim pemilu.
Penanganan sengketa hasil pilkada
dikembalikan ke MA, kecuali DPR merevisi dengan membuat nomenklatur baru
bahwa sengketa pilkada dapat ditangani lembaga di luar peradilan. Lembaga
tersebut bisa berbentuk badan khusus yang fokus menangani sengketa hasil
pilkada. Sekiranya tetap menunjuk MA melalui pengadilan tinggi yang
memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa hasil pilkada, tentu MA harus siap
dan menyiapkan hakim-hakim khusus.
Objek sengketa
Objek sengketa perselisihan hasil
pilkada ialah hasil penghitungan suara yang ditetapkan termohon atau KPU
provinsi, KPU kabupaten/kota, yang dapat memengaruhi penentuan pasangan calon
untuk mengikuti putaran kedua, atau terpilihnya pasangan calon sebagai kepala
daerah. Kalau DPR tidak merevisi calon yang boleh ikut, pilkada hanya diikuti
calon kepala daerah atau tidak lagi dipilih secara berpasangan dengan
wakilnya. Pemilihan wakil kepala daerah diajukan calon terpilih paling lambat
satu bulan setelah dilantik. Wakil gubernur diajukan gubernur terpilih kepada
presiden melalui menteri dalam negeri, sedangkan wakil bupati/wali kota yang
diajukan kepada menteri dalam negeri oleh bupati/wali kota terpilih melalui gubernur.
Setidaknya ada dua hal penting
yang perlu dipersiapkan menghadapi kemungkinan sengketa hasil pilkada.
Pertama, harus mempersiapkan dukungan teknis berupa ruang sidang yang memadai
untuk mengantisipasi banyaknya pengunjung sidang, serta hakim khusus yang
mengerti dan memahami demokrasi dan kepemiluan. Berdasarkan informasi yang
beredar di media massa, MA menyiapkan empat pengadilan tinggi yang mengurusi
sengketa pilkada, yaitu di Pengadilan Tinggi Jakarta, Medan, Surabaya, dan
Makassar.
Kedua, untuk mengurangi sengketa
hasil pilkada berujung di pengadilan, semua persoalan sebaiknya diselesaikan
pada tingkatannya. Para petugas penyelenggara pemilu seperti KPU dan
jajarannya sampai TPS, panitia pengawas pemilu (panwas), kepolisian, dan
kejaksaan tidak membiarkan suatu persoalan menggantung. Itu harus
diselesaikan sendiri karena sudah ada jalur dan tata caranya. Jangan
dilimpahkan ke tingkat atas sampai menumpuk di KPU kabupaten atau KPU
provinsi. Pengalaman selama ini begitu lemah penegakan hukum pemilu seperti
pada pelanggaran adminis trasi pemilu, tindak pidana pemilu, dan perselisihan
administrasi pemilu yang tidak ditangani sampai tuntas.
Meskipun pada akhirnya
perselisihan hasil pemilu dibawa ke pengadilan, tetap saja ada yang meragukan
hasilnya karena begitu banyak persoalan yang menumpuk dan semuanya diserahkan
ke pengadilan. Laporan pelanggaran pemilu dapat dilaku kan warga negara
Indonesia yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu, atau peserta pemilu.
Setelah panwas menerima dan mengkaji laporan pelanggaran, itu kemudian
diklasifikasi dan diarahkan kepada lembaga yang berwenang menangani dan
memutuskannya.
Ada enam bentuk pelanggaran pemilu
dan lembaga yang menanganinya. Pertama, pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu diselesaikan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelanggaran
kode etik penyelenggara pemilu, diatur dalam Pasal 251 UU Nomor 8/2012
tentang Pemilu Anggota DPR, Anggota DPD, dan DPRD, ialah pelanggaran terhadap
etika penyelenggara pemilu yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum
menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu.
Kedua, pelanggaran administrasi
pemilu diselesaikan KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota. Ketiga,
sengketa pemilu diselesaikan Bawaslu atau panwas. Keempat, tindak pidana
pemilu diteruskan panwas kepada kepolisian, kejaksaan (Gakkumdu), dan diputus
di pengadilan umum. Kelima, sengketa tata usaha negara pemilu diperiksa dan
diputus di pengadilan tinggi tata usaha negara. Keenam, perselisihan hasil
penetapan pilkada yang dilakukan KPUD diperiksa dan diadili MA melalui
pengadilan tinggi yang ditunjuk.
Kualitas pilkada
Pilkada langsung dan serentak
membutuhkan persiapan matang, terutama menjaga kualitas pilkada yang selama
ini penuh kecurangan dan bentrok antarpendukung calon yang kadang melibatkan
penyelenggara. Kalau penyelenggaraan pilkada masih seperti sebelumnya, akan
muncul lagi tuntutan agar pilkada dikembalikan saja ke DPRD. Pilkada langsung
dan serentak sudah menjadi pilihan lantaran dianggap lebih efisien dari sisi
waktu, perhatian, dan biaya.
Ini harus dijadikan momentum emas
untuk mendorong peningkatan kualitas kehidupan demokrasi di daerah yang lebih
baik. Paling tidak mengantisipasi potensi terjadinya kegaduhan politik,
seperti bentrok antarmassa pendukung, meneror penyelenggara pemilu, sampai
membakar kantor KPUD dan kantor instansi pemerintah. Kalaupun ada sengketa,
pelanggaran, atau tindak pidana pemilu, harus segera diselesaikan sesuai
dengan tingkatannya.Kita harus memilih pemimpin daerah yang berintegritas,
jujur, dekat dengan rakyat, serta tidak akan korupsi setelah terpilih.
Selama ini sering muncul keluhan
dengan menuding sistem politik Indonesia gagal menyeleksi pemimpin yang betul-betul
berkualitas. Pemimpin yang mampu melakukan perbaikan dan perubahan. Kita
tidak boleh menengok ke belakang yang penuh persoalan dan menimbulkan
perpecahan di antara warga masyarakat. Salah satu potensi yang bisa memicu
konflik ialah masih ada partai politik yang belum tuntas masalahnya secara
internal. Sebut saja Partai Golkar dan PPP, sebab bukan hanya intern partai
yang dirugikan, melainkan juga dapat berimbas ke masyarakat. Parpol harus
menuntaskan konflik internalnya sebelum pendaftaran calon kepala daerah.
Akhirnya, semoga sengketa hasil
penghitungan suara tidak menumpuk karena selain dapat membebani MA, juga
mengindikasi penyelenggara pilkada, partai politik, dan calon kepala daerah
tidak siap mengikuti proses demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar