Bahasa
Indonesia dalam MEA 2015
Liliana Muliastuti ; Kandidat
Doktor Pendidikan Bahasa;
Penanggung Jawab Akademik Pengajaran BIPA UNJ
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Februari 2015
ADA satu hal strategis yang sering
terlewatkan dalam sorotan mengenai persiapan Indonesia menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku mulai Desember 2015. Begitu banyak
wacana dan sorotan, tetapi hampir seluruhnya lebih banyak membicarakan
persiapan tersebut dari segi kepentingan strategis Indonesia, khususnya di
bidang ekonomi.
Mungkin karena isu politik dan
ekonomi dianggap lebih `seksi', sehingga hal-hal penting yang menyangkut
kebudayaan nasional dalam MEA 2015 tak tersentuh. Padahal, persiapan
pelaksanaan MEA 2015 jika diha dapi dengan tahapan-tahapan yang tepat dan
benar akan memberi kontribusi positif bagi produk kebudayaan nasional kita.
Hal itu khususnya menyangkut posisi bahasa nasional kita, bahasa Indonesia.
Selama ini kita dihadapkan pada
pertanyaan penting, yakni seberapa besar peluang bahasa Indonesia menjadi
bahasa internasional? Sadarkah kita, MEA 2015 ternyata juga membuka
kesempatan lebih luas buat internasionalisasi bahasa Indonesia. Memang sampai
hari ini, bahasa Indonesia belum memiliki aura transnasional--meminjam
istilah Ben Anderson. Sistem global selalu mengaitkan pengaruh sebuah bahasa
dengan pengaruh negarabangsa pengguna bahasa tersebut dari segi sejarah,
kebudayaan, politik, dan ekonomi negara-bangsa bersangkutan.
Namun, sadarkah kita pada
kecerdasan visi para pendiri (founding
fathers) republik ini? Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang
menegaskan sikap menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (lingua franca) ialah bukti ketajaman
visi tersebut. Indonesianis seperti Ben Anderson mencatat, satu-satunya
negara di Asia Tenggara yang mencapai sebuah bahasa nasional tanpa tentangan
dan yang sekaligus juga merupakan lingua franca ialah Indonesia.
Bahasa Indonesia merangkul
semuanya secara alamiah. Di Malaysia saja, bahasa Melayu harus diterapkan
paksa oleh orangorang Melayu yang dominan secara politik, tetapi ditentang
orang Tionghoa, India, dan orang-orang `Kalimantan Utara' yang bercakap entah
dalam bahasa aslinya sendiri yang asing (Tionghoa, India) atau lingua franca (Inggris).
Kita memang harus merawat
optimisme terhadap eksistensi bahasa Indonesia, tetapi tak cukup hanya itu.
Indonesia harus serius berbenah pada bidang perlindungan, pengembangan, dan
pembinaan bahasa Indonesia.
Pengembangan pengajaran BIPA
UU kita sendiri mengamanahkan
perjuangan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Pasal 44
UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu
Kebangsaan menyatakan, ayat (1) “Pemerintah meningkatkan fungsi bahasa
Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan
berkelanjutan.“ Disambung ayat (2), “Peningkatan fungsi bahasa Indonesia
menjadi bahasa internasional, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “dikoordinasi
oleh lembaga kebahasaan.“
Nah, sekarang kesempatan untuk
mendorong bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional semakin terbuka lewat
persiapan kita menyongsong MEA 2015. Dari mana kita harus memulainya?
Pintu untuk internasionalisasi
bahasa Indonesia bisa dibuka lebar lewat pengembangan pengajaran Bahasa
Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Lembaga penyelenggara pengajaran BIPA,
baik di dalam maupun di luar Indonesia akan semakin berperan penting dalam
era MEA 2015. Bukan hanya sebagai ujung tombak pengajaran BIPA, mereka juga
menduduki fungsi strategis dalam menjalankan amanah undang-undang itu.
Pada kenyataannya, negara ASEAN,
seperti Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Filipina serius mempersiapkan diri
untuk MEA 2015. Negara-negara itu telah memberikan pelatihan bahasa Indonesia
di samping bahasa Inggris bagi calon tenaga kerjanya. Sebagaimana diungkapkan
Chairperson Enciety Business Consult
Kresnayana Yahya, bahwa sejumlah negara ASEAN telah jauh-jauh hari belajar
bahasa Indonesia untuk bisa masuk pasar Indonesia.
Para penyelenggara pengajaran BIPA
dan lembaga terkait akan menghadapi ujian profesionalisme pada era MEA
2015.Kita relatif tertinggal dalam persiapan. Karena itu, hanya tersisa waktu
kurang dari setahun untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah (PR) yang
terkait dengan pengajaran BIPA, antara lain, apakah kita telah mempersiapkan
pengajar BIPA untuk menghadapi MEA? Siapakah itu pengajar BIPA? Dan apakah
kita sudah memiliki parameter kualifikasi pengajar BIPA?
Saat ini, Indonesia belum memiliki
program sertifikasi untuk pengajar BIPA. Pengajar BIPA di dalam maupun di
luar negeri masih memiliki kualifikasi beragam. Berdasarkan pengamatan dan
kunjungan penulis ke lembaga penyelenggara pengajaran BIPA di dalam dan luar
negeri, pengajar BIPA sungguh beraneka warna. Mulai dari yang berkualifikasi
S-1 hingga S-3. Ada yang berlatar belakang pendidikan bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, bahasa asing, dan nonbahasa. Tidak mengherankan jika
kompetensi mereka pun sangat beragam.
Dalam hal ini, Indonesia bisa
dikatakan terlambat mengantisipasi. Padahal, dalam menghadapi MEA 2015, semua
profesi diukur dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang
menempatkan lulusan S-1 pada level 6 dan S-2 pada level 8, sedangkan level 7
diisi oleh pendidikan profesi. Untuk pendidikan guru, saat ini ada guru
lulusan sarjana pendidikan (S-1 Pendidikan) dengan gelar S.Pd dan ada guru
lulusan pendidikan profesi guru (PPG) dengan gelar Gr, berdasarkan
Permendikbud Nomor 87 tahun 2013.
Setiap lembaga penyelenggara
pengajaran BIPA saat ini memiliki kurikulum yang beragam sesuai kebutuhan
peserta BIPA. Badan Pengembangan dan Pembina an Bahasa, pada 24-27 November
2014, sudah mulai menyusun embrio standar kompetensi minimal yang harus
dicapai para siswa BIPA untuk enam jenjang dengan berbasis Common European Framework of Reference
(CEFR).
Hal ini merupakan satu langkah
kemajuan, mengingat untuk pergaulan di komunitas ASEAN, kesepakatan
kompetensi merupakan hal yang penting. Para pengguna jasa pengajaran BIPA
akan bertanya, yakni kompetensi apa yang akan dicapai jika mereka masuk dalam
sistem pembelajaran kita? Lalu, bagaimana legalitas sertifikat yang akan
mereka peroleh? Untuk hal ini, para penyelenggara pengajaran BIPA harus
bekerja sama dengan Badan Bahasa, mengingat pengakuan kompetensi mereka akan
diukur dengan Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI) yang semoga akan segera
menjadi Uji Kemahiran BIPA (UKBIPA).
Mengapa UKBIPA? Dalam pandangan
penulis, harus ada parameter tersendiri dalam mengukur penguasaan bahasa
Indonesia untuk penutur asing. Tidak fair jika penguasaan bahasa Indonesia
mereka diukur dengan menggunakan parameter UKBI yang sebenarnya lebih cocok
untuk orang Indonesia sendiri. Penulis mengusulkan perlunya kesepakatan
parameter lain dalam mengukur penguasaan Bahasa Indonesia penutur asing,
yaitu dengan menggunakan UKBIPA yang saat ini masih dalam perencanaan Badan
Bahasa.
Waktu yang tersisa hanya kurang
dari setahun untuk mempersiapkan ini semua. Semoga kerja sama antara
penyelenggara BIPA dan para pemangku kepentingan BIPA terjalin lebih erat
untuk menyongsong MEA 2015. Hikmahnya, yaitu internasionalisasi bahasa
Indonesia berpeluang menjadi lebih bergema karena para pelaku ekonomi dan
industri juga akan terlibat menerapkan kebijakan yang berdampak pada
meningkatnya penutur bahasa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar