Pesan
untuk Jokowi
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
|
JAWA
POS, 07 Februari 2015
Sebuah
iklan robot pembersih di Malaysia yang memuat tagline "Fire Your Indonesian Maid" atau kurang lebih artinya "Pecat pembantu asal Indonesia
Anda". Sangat mengejutkan. Iklan itu seakan "menyambut"
lawatan Presiden Jokowi ke Malaysia.
Nasionalisme keindonesiaan kita tiba-tiba bangkit kembali karena merasa dilecehkan sebagai bangsa. Iklan itu sebetulnya menjadi pemecut, sudah saatnya pemerintahan Jokowi memperluas lapangan kerja di dalam negeri dan memberikan upah minimum regional (UMR) yang standar dan representatif untuk menunjang tingkat kesejahteraan dunia perburuhan kita. Hubungan bilateral Indonesia-Malaysia memang kerap di titik nadir. Mungkin sering dirasakan, arogansi Pemerintah Malaysia menyikapi persoalan yang muncul di antara kedua negara. Di sisi lain, masyarakat menilai, pemerintah sebelum era Jokowi terlalu lentur bersikap pada Malaysia. Ambil contoh, seringnya pelecehan dan kekerasan terhadap TKI. Ada ribuan TKI yang masuk Malaysia secara legal atau ilegal. Tapi, kenyataannya mereka bisa bekerja di Malaysia. Walaupun setelah dilakukan operasi, akhirnya yang ilegal dideportasi. Yang menyedihkan, perlakuan kekerasan kerap diterima TKI. Malaysia cenderung menganggap tindakannya tidak salah, kadang sambil menyalahkan Indonesia. Hubungan kedua negara dari awal memang banyak persoalan. Idiom bahwa kedua negara adalah serumpun seperti hanya sebatas simbol. Pada dekade 1960-an, misalnya, terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia, perang mengenai masa depan Kalimantan. Perang ini berawal dari keinginan Malaysia menggabungkan Brunei, Sabah, dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada 1961. Keinginan itu ditentang Presiden Sukarno yang menganggap Malaysia sebagai boneka Inggris Raya. Saat itu, demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur terjadi masif. Ketika demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Sukarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman (Perdana Menteri Malaysia saat itu) dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Sukarno terhadap Malaysia pun meledak. Sukarno murka karena hal itu dan mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia. Lalu Sukarno membalas dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysian (M Jones, Conflict and Confrontation in South East Asia, 2002). Melihat fakta ini, kadang kita pesimistis sambil mengatakan, percuma kita menjadi bangsa serumpun jika kenyataannya selalu menjadi benalu. Bahkan, ucapan Indonesia serumpun dengan Malaysia hanya cenderung terlontar di mulut orang Indonesia saja. Paling orang Malaysia hanya menyebut negeri jiran atau negeri tetangga. Seperti ada arogansi dan superioritas tentang kemelayuan. Melayu Malaysia dianggap lebih tinggi derajatnya ketimbang "Melayu" Indonesia. Ada juga stigma kata-kata Indon yang menunjuk pada orang Indonesia yang diklaim selalu bermasalah di Malaysia. Orang Malaysia pun memanggil orang Indonesia dengan sebutan Indon. Kita sendiri tak kalah dengan sebutan serupa, kata-kata Malokay atau Malingsia juga ditunjukkan orang Indonesia ke orang Malaysia. Kata itu menyimbolkan bahwa orang Malaysia suka mencuri. Lihat, misalnya, pencurian kayu besar-besaran di Kalimantan oleh makelar-makelar Malaysia. Karena itulah mereka disebut Malingsia. Memang, di kalangan orang Melayu Indonesia, terdapat semacam persoalan psikologis dalam melihat orang Melayu Malaysia. Begitu pula sebaliknya. Mungkin, propaganda ganyang Malaysia oleh Sukarno pada awal 1960-an masih membekas di kebanyakan orang, baik Indonesia atau Malaysia. Dalam bahasa HS Nordholt (2007), mungkin warisan itulah yang sulit dihilangkan dari benak kesadaran orang Indonesia maupun Malaysia. Namun, harus kita akui bahwa Malaysia telah mengubah wajah bangsanya selama 20 tahun terakhir. Mulanya lewat pembangunan politik, ekonomi, dan kini kemajuan budaya. Sementara, Indonesia masih terus didera persoalan politik dan ekonomi. Jika dulu banyak guru Indonesia dikirim ke Malaysia dan banyak pula pelajar Malaysia ke Indonesia, kini tanpa disadari hal itu berbalik. Mutu pendidikan di Malaysia lebih baik dibandingkan Indonesia. Sekarang lebih banyak orang Indonesia menuntut ilmu di Malaysia. Persoalan inilah yang semestinya menjadi perhatian terhadap bangsa Indonesia secara menyeluruh. Saat ini, Malaysia memang tumbuh pesat. Kemajuan perekonomian Malaysia kini di atas Indonesia. Ekspansi perusahaan besar Malaysia pun merambah Indonesia, seperti Petronas. Kemajuan itu bisa dilihat dari ekspansi korporasi Malaysia di bidang perbankan, perkebunan, minyak dan gas, properti, dan lainnya. Mobil produk Malaysia pun merambah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Malaysia ini menjadi daya tarik bagi orang Indonesia untuk mengisi kesempatan kerja di sana. Bersama tenaga kerja dari sejumlah negara, seperti Vietnam dan Filipina, mereka mencari nafkah di Malaysia. Pertanyaannya, sejauh mana kedua negara mampu memberikan solusi terbaik? Apakah masing-masing delegasi mampu berdiri di tengah-tengah?
Hubungan
bilateral kedua negara memiliki makna strategis tidak hanya bagi negara lain
di ASEAN dan dunia. Yang tidak kalah penting, perwakilan Indonesia harus
mampu menjaga integritas kedaulatan dan integritas bangsa.
Harga diri dan martabat bangsa harus ditegakkan.
Perjanjian
untuk menyelesaikan konflik kedua negara harus dilakukan pada kesempatan
lawatan Jokowi, seperti soal perbatasan dan pulau-pulau kecil di perbatasan
dengan Malaysia. Semoga ini bisa membuka babak baru hubungan kedua negara
yang lebih baik dalam berbagai sektor pembangunan. Hubungan kedua negara
memang bagai roller-coaster, tapi
naik-turunnya hubungan itu hendaknya menjadi pelajaran untuk lebih mendewasakan
lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar