Fanatis,
Penipu, Ekonom
Jean-Marie Guehenno ; Mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBB
urusan Penjagaan Perdamaian
|
KORAN
TEMPO, 07 Februari 2015
Di seantero dunia tampaknya krisis tengah mencengkeram
politik di banyak negara. Dalam pemilu demi pemilu, besaran peserta pemilih
terus merosot. Politikus di mana-mana dicerca. Partai politik, yang berusaha
tetap relevan dalam situasi yang buruk ini, terpaksa memilih untuk melacurkan
diri dalam ekstremisme atau berisiko tenggelam dalam gerakan populis anti-kemapanan.
Belum pernah terjadi sebelumnya sejak berakhirnya Perang
DuniaII, bahwa uangtelah memainkan peran yang begitu penting dalam politik,
mengalahkan kekuatan ide. Di Amerika Serikat, misalnya, gemerincing miliaran
dolar yang mengalir ke dalampundi-pundi dana kampanye pemilu menenggelamkan
suara pemilih. Di bagian dunia di mana rule
of law lemah, jaringan kriminal dan korupsi menggantikan proses
demokratis.
Pendeknya, upaya mengejar kebaikan kolektif itu tampak
aneh. Kondisi ini mulai terjadi padaakhir Perang Dingin ketika runtuhnya
ideologi komunis yangbangkrut itudengan mudahnya ditafsirkan sebagai
kemenangan pasar. Sementara itu, komunisme dicampakkan, begitu pula yang
terjadi dengan konsep negara sebagai agen di mana ambisi dan kepentingan kolektif
kita bisa diupayakan.
Individu menjadi agen utama perubahan-individu dianggap
sebagai tipe aktor rasional yang menjadi model ekonom. Identitas individu
seperti ini bukan bersumber dari kepentingan kelas atau karakteristik
sosiologis lainnya, melainkan dari logika pasar yang mendikte maksimalisasi
kepentingan sendiri, apakah itu sebagai produsen, konsumen, atau pemilih.
Sesungguhnya, ekonom telah diletakkan di sebuahtumpuan
dandiabadikan dalam lembaga-lembaga sepertibank sentral dan otoritas persaingan
yang telah dengan sengajadipisahkan dan dibuat independen dari politik.
Akibatnya, pemerintah telah ditempatkan pada posisi pinggiran alokasi sumber
daya pasar.
Krisis finansial global yang terjadi pada2008 karena
resesi dankesenjangan pendapatan yang makin melebar dengan cepat serta
ketidaksetaraan kekayaan telah menusukgelembung kemenangan ekonom itu.
Politik, bukannya bangkit untuk menempati kedudukannya, terus didiskreditkan,
sementara para pemimpin utamanya-terutama di Amerika Utara dan Eropa-mengemukakan
teori-teori ekonomi untuk membenarkan pilihan-pilihan kebijakannya.
Upaya mengejar pencapaian individu merupakan lambang masa
kini yang memudarkan dimensi kolektif nasib manusia. Namun kebutuhan mendalam
manusia untuk menjadi bagian dari suatu kelompok masih belum sirna. Ia tetap
ada, tapi tanpa salurankeluar yang kredibel. Proyek-proyek nasional tidak
bergema dan apa yang dinamakan masyarakat internasional itu tetap
merupakansesuatu yang abstrak. Hasrat terbentuknya komunitas yang tidak
terpenuhi ini dapat dirasakan dengan akut terutama oleh generasi
muda-termasuk, misalnya, oleh jihadis-jihadis muda.
Sesungguhnya, politikus-politikus jihadis dan tokoh-tokoh
agama adalah mereka yang pertama megenali kekosongan ini, dan mereka dengan
cepat mengisinya. Paus Fransiskus, Vladimir Putin, Abu Bakr al-Baghdadi, dan
Marine Le Pen tidak memiliki persamaan satu sama lain. Tapi mereka berbagi
satuwawasan:dambaan terciptanya komunitas yang didukung oleh nilai-nilai yang
sama,bukan oleh kebutuhan fungsional.
Krisis politik di banyak negara yang terjadisaat ini punya
konsekuensi yang menggema jauh melintasi batas negara. Nasionalisme yang
sempit dan fundamentalisme agama akan tetap ada, dan bersamanya
terorismedipeluk ekstremis dari segala kelompok, karena kedua fenomena ini
memang sesuaidengan zaman individu:ia memberikan jawaban imajiner pada
angstindividu, bukan jawaban politik atas tantangan kolektif yang ada. Tidak
berbentuknya gerakan-gerakan ini-yang sering disalurkan melalui tokoh-tokoh
yang karismatik-memungkinkan setiap individu memproyeksikanimpiannya pada
gerakan-gerakan itu, sehingga membuatnya sulit dilawan dalam kerangka politik
tradisional.
Jika politik hendak mengambil kembaliladang nilai-nilai
itu dari kelompok-kelompok fanatis, penipu, dan ekonom itu, ia harus dibangun
kembali dari bawah.Lebih dari separuh populasi dunia sekarang hidup di
kota-kota, dan setiap kebangkitan kembali politik harus mampu mengimbangi
daya tarik komunitas-komunitas maya yang besar itu dengan
masyarakat-masyarakat kota yang pegas. Masyarakat harus dilibatkan dalam
proses politik, diberikan pendidikan mengenai soal-soal publik, dan dibekali
platform yang riil, (bukan yang maya semata) untuk menyuarakan perbedaan dan
memperdebatkan pandangan-pandangan alternatif.
Tapi yang paling utama, politikus-politikus jangan lagi
mencoba menopang kredibilitasnya yang sudah merosot itu dengan
kepura-puraanilmu ekonomi. Politik dimulai di mana ekonomi
kontemporerberakhir-dengan etika dan upaya menciptakan suatu masyarakat yang
teratur dengan adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar