Serangan
Balik
M Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
07 Februari 2015
Jika pemimpin selalu ribut dan
tidak bisa menyelesaikan masalah, alam yang nanti menyelesaikannya. (Jaro Dainah, pemimpin suku Baduy, 31 Desember 2014)
Membuka tahun 2015, panggung politik kita seperti arena
kucing berkelahi: terlalu berisik. Kegaduhan politik yang berlangsung sejak
2014 ini sudah sangat membosankan dan memuakkan. Ketika banyak pemimpin
negeri ini cakar-cakaran, terngiang kisah Bung Hatta (1902-1980) dan mimpi
sepatu Bally-nya yang dikutip berbagai media. Alkisah, pada 1950-an, Bung
Hatta mungkin hanya bisa menelan ludah saat menatap sepasang sepatu Bally di
etalase toko. Ingin sekali pendiri bangsa ini memiliki sepatu branded itu.
Namun, Bung Hatta tak punya uang cukup. Sampai akhir hayatnya, Bung Hatta tak
pernah punya sepatu dambaannya itu kecuali hanya bisa menyimpan guntingan
iklannya. Bung Hatta adalah pemimpin bersih dan mengandalkan keringat
sendiri.
Memang ironis! Padahal, semahal apa pun harga sepatu itu
takkan pernah sebanding dengan perjuangan Bung Hatta. Di bawah tekanan dan
ancaman, Bung Hatta bersama Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan bangsa,
1945. Demi membebaskan bangsa ini dari penindasan penjajah, Bung Hatta tak
menyerah walau mendekam di penjara. Bung Hatta tak ciut nyalinya ketika
dibuang ke Boven Digoel, belantara di pedalaman Papua yang merupakan sarang
penyakit malaria. Digoel adalah kuburan para pejuang karena sedikit orang
yang bisa kembali dari Digoel. Bung Hatta juga tak goyah ketika diasingkan ke
Banda, pulau terpencil di Laut Banda yang kedalamannya sekitar 4.000 meter.
Pemimpin sejati memang tidak lahir setiap zaman. Jauh
sekali membandingkan reputasi Bung Hatta dan segenerasinya dengan pemimpin
kita sekarang. Ibarat langit dan bumi. Sebagai rakyat, kita sangat malu
karena elite penyelenggara negara sekarang tidak benar-benar serius mengurus
rakyat dan negeri ini, tetapi malah bertengkar sendiri. Sejak penetapan
Komisaris Jenderal Budi Gunawan—calon Kapolri—sebagai tersangka korupsi,
perseteruan KPK dan Polri kali ini memasuki fase menyebalkan akibat terlalu
lama ditangani.
Banyak pihak yang kemudian memancing di air keruh. Mereka
yang dulu menjadi target KPK atau terlibat kasus tertentu kini memanfaatkan
momentum. Politisi PDI-P yang menyasar Ketua KPK Abraham Samad—terkait lobi
politik pada pilpres lalu—sesungguhnya telah melumpuhkan KPK. Publik semakin
jelas melihat hubungan pencalonan BG dan PDI-P. Dan, Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto (BW) juga sudah jadi tersangka kasus pengarahan keterangan palsu
di sidang MK. BW sempat ditangkap dengan cara diborgol. Komnas HAM menilai
ada pelanggaran HAM. Bandingkan dengan tersangka KPK yang selalu tersenyum
dan melambaikan tangan seusai diperiksa KPK. BW sudah mengajukan pengunduran
diri dan bersedia diperiksa polisi, tetapi BG sampai hari ini belum mau
mundur dan mengajukan praperadilan. Menurut Anda, pemimpin mana yang
memberikan keteladanan? Lalu, komisioner KPK lainnya (Adnan Pandu Praja dan
Zulkarnain) juga dilaporkan ke polisi. Jika para komisioner terlibat pidana,
tentu persamaan di depan hukum. Namun, kali ini hanya mereka yang pandir
bilang tidak ada kriminalisasi KPK.
Sejak lahir, KPK sudah berada dalam sasaran tembak. Sebab,
KPK begitu banyak menjerat penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, termasuk penegak hukum) korup. Negeri ini seperti mengalami
pembusukan akut. Aparat kotor ditangkap, tetapi aparat bersih tak perlu
khawatir. KPK dibentuk karena Polri dan Kejagung tidak mampu menuntaskan korupsi.
Seharusnya mereka berterima kasih kepada KPK karena KPK-lah yang mengerjakan
tugas-tugas yang gagal diemban Polri dan Kejagung.
Kini, KPK di ujung tanduk. Serangan balik pada KPK pun
sulit terbantahkan. Dalam pertandingan sepak bola, serangan balik bisa sangat
mematikan. Sebab, kekuatan total dikonsentrasikan dalam serangan balik itu.
Tindakan cepat dan tegas Presiden Joko Widodo sangat dinanti. Sebagaimana
diajarkan Bung Hatta, tekanan tidak menggoyahkan komitmen meski sekarang
Presiden seakan-akan sendirian. Namun, pertemuan dengan Prabowo Subianto dan
BJ Habibie, tim independen, serta tentunya arus besar rakyat menunjukkan
Presiden tidaklah sendirian.
Memang di era rezim partai-partai, nasib Presiden yang
bukan ketua partai seperti bandul. Terayun-ayun, terlempar, telontar,
terombang-ambing. Namun, Presiden Jokowi itu dipilih rakyat, bukan oleh
partai. Partai cuma jadi kendaraan yang mencalonkan. Dalam hal ini, Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) luar biasa karena berani keluar dari partai saat
ribut-ribut RUU Pilkada tahun lalu. Kini, partai-partai justru gagal
menjalankan salah satu fungsinya sebagai sarana pengatur konflik (conflict
management). Partai tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menjadi biang
kerok konflik politik.
Di antara konflik dan serangan balik ini, Presiden Jokowi
tak boleh lengah. Sejarah akan mencatat apakah Presiden Jokowi menjadi
penyelamat KPK atau penghancur KPK? Rasanya mustahil Presiden Jokowi
menggadaikan mandat rakyat. Marcus Tullius Cicero (107-44 SM), negarawan
Romawi, tak pernah gentar walau semua pihak berkuasa di Romawi menekannya.
Kata Bung Hatta, politisi harus berkarakter, punya karakter berarti punya
pendirian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar