Penangkapan
Kontroversial
Adrianus Meliala ; Kriminolog
FISIP UI,
Komisioner pada Komisi Kepolisian Nasional
|
KORAN
TEMPO, 02 Februari 2015
Jarang kita dengar kisah penangkapan yang kontroversial
seperti halnya penangkapan terhadap Bambang Widjojanto, Komisioner Komisi
Pemberantasan Korupsi. Saking kontroversialnya, lembaga-lembaga negara yang
melakukan fungsi oversight
(pengawasan), seperti Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, serta Ombudsman Republik Indonesia, turun tangan.
Tulisan ini mempergunakan perspektif kepolisian (bukan
perspektif Polri) saat memahami masalah penangkapan oleh kepolisian, yang
dipicu oleh penangkapan terhadap Bambang Widjojanto.
Sebagaimana diketahui, dalam rangka melakukan kegiatan
kepolisian (policing), kepolisian
mendekati subyek kepolisian dengan berbagai cara. Ada yang dengan cara
preemptif, preventif, dan represif. Pemilihan cara itu dikaitkan dengan
status masalah yang dihadapi, yakni saat masalah kepolisian itu masih
cikal-bakal, sudah berupa masalah, dan ketika sudah timbul ekses seperti
pelanggaran hukum.
Mengenai tiga cara yang terkait dengan masing-masing
status masalah tersebut, juga diiringi dengan fungsi-fungsi kepolisian yang
juga khusus. Sebagai fungsi, masing-masing satuan memiliki keahlian plus
prosedur tetap sendiri-sendiri.
Seorang pimpinan kepolisian lalu dikatakan profesional
apabila secara proporsional mampu mengaktivitasikan fungsi tertentu terkait
masalah dengan status tertentu. Sebaliknya, jika belum waktunya mengaktifkan
fungsi reserse, mengingat belum ada pelanggaran hukum, tapi reserse sudah
melakukan penangkapan, maka tentunya ada yang salah pada diri si pemimpin
kepolisian, entah di tingkat markas besar, kepolisian daerah, kepolisian
resor, atau kepolisian sektor tersebut.
Menurut pendapat penulis, itulah penyimpangan yang
sebenarnya, bukan soal penangkapannya. Selanjutnya bisa ditelisik, apakah
menggerakkan fungsi tertentu (yang lalu dengan sendirinya menggerakkan protap
yang juga khusus) itu merupakan intervensi, pesanan atau titipan pihak lain,
atau sepenuhnya hasil penilaian (judgment)
dari yang bersangkutan. Selanjutnya, bisa dilakukan penilaian bahwa, selain
sudah melanggar HAM, pemimpin kepolisian tersebut telah melanggar etika
profesi, telah melanggar hukum, atau bahkan bisa dikatakan telah melanggar
semuanya.
Dalam konteks Bambang Widjojanto, memang selain
mempermasalahkan mengapa dilakukan penangkapan hukum, digugat juga mengapa
perlu ditangkap dengan cara yang dianggap melanggar hak asasi manusia.
Menurut penulis, perlu terdapat kehati-hatian perihal tuduhan pelanggaran hak
asasi manusia tersebut yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penetapan seseorang sebagai tersangka, yang
kepadanya akan dikenakan satu atau lebih forced
measures (ditangkap, ditahan, ditembak, digeledah, disita, disadap), maka
pada dasarnya merupakan langkah awal bagi pelepasan sebagian hak asasi yang
bersangkutan. Jadi, kepada yang bersangkutan tidak dapat dipergunakan standar
hak asasi yang sama dibanding individu bebas pada umumnya.
Kedua, dengan cara melihat yang lebih ekstrem, upaya paksa
tersebut dapat dianggap sebagai upaya negara untuk memelihara, paling tidak
menjaga agar jangan sampai semakin kehilangan, hak asasi yang lebih dasar
seperti hak hidup. Ini dapat kita lihat pada tersangka yang melawan saat
penangkapan dan kemudian harus ditembak. Perlawanan dapat dilihat sebagai
ketidakbersediaan pada tawaran negara agar dilindungi haknya (melalui sistem
peradilan pidana).
Ketiga, kegiatan upaya paksa adalah kegiatan amat dinamis
yang bersifat interaktif. Hitung-hitungannya, jika tersangka memiliki satu
anak buah, para pelaku upaya paksa harus membawa dua petugas. Petugas harus
memiliki kemampuan satu tingkat di atas pihak yang akan ditangkap. Itulah
substansi kegiatan enforcement
(penambahan upaya paksa) dikaitkan dengan tantangan yang dihadapi. Jadi,
justru sesuatu yang anti-teori ketika ada orang yang mengatakan, "Mengapa harus memborgol, kan tidak
melawan."
Dikatakan anti-teori, mengingat orang pasti akan melawan,
yang bisa saja dilakukan tidak secara fisik, tapi juga bisa secara verbal dan
yang lainnya. Untuk itu, memborgol justru merupakan langkah agar tidak melawan
dalam bentuknya yang bermacam-macam. Bukan sebaliknya, karena tidak melawan,
maka tidak perlu diborgol.
Keempat, pada umumnya, kegiatan penangkapan maupun
berbagai upaya paksa lainnya dilakukan oleh kepolisian secara sub-standar.
Walaupun terdapat berbagai juklak dan juknis yang berlaku di kepolisian
maupun standar kegiatan kepolisian internasional, umumnya upaya paksa di
Indonesia berlangsung casual, informal, dan sering kali tidak sesuai dengan
hukum acara. Situasi khas Indonesia juga melahirkan penyesuaian, misalnya
ketika yang ditangkap adalah seorang tokoh. Ada juga kemungkinan polisi
Indonesia kurang berlatih melakukan teknik penangkapan sesuai dengan standar
internasional.
Sehingga, jika pada suatu ketika upaya itu dilakukan
dengan standar tertinggi dan sesuai dengan ketentuan, seperti ketika
menangkap Bambang Widjojanto, masyarakat kaget dan malah melihat upaya itu
sebagai penyimpangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar