Prahara
KPK-Polri
dan
Dampaknya terhadap Perekonomian
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Februari 2015
HIRUK pikuk pemilihan Kapolri
persis terjadi pada saat pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang
berumur 100 hari. Karena itu, suka atau tidak, hasil karya Presiden Jokowi
dan kabinetnya selama tiga bulan pertama bakal langsung terpengaruh oleh
kondisi mutakhir dinamika politik ini. Namun, sejauh ini, belum ada indikasi
pasar merespons tertentu (negatif) terhadap fenomena politik tersebut.
Di tengah kemelut calon Kapolri
Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang ditetapkan sebagai tersangka kasus
gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan penetapan status
serupa kepada Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dengan sangkaan mengarahkan
saksi untuk membuat kesaksian palsu dalam sidang di Mahkamah Konstitusi,
indeks harga saham gabungan (IHSG) justru sedang asyik memecahkan rekor di
atas 5.300. Kalaupun kemudian terjadi koreksi, akhir pekan lalu IHSG ditutup
pada level tinggi dan `hijau' pada 5.289. Sedemikian `sakti'-nyakah
perekonomian Indonesia sehingga bergeming dan tidak terpengaruh oleh tensi
politik yang meningkat? Tulisan ini mencoba menjelaskan apa yang terjadi pada
beberapa indikator ekonomi makro kita, serta bagaimana prospeknya jika
`akrobat' politik pemilihan Kapolri dan perseteruan Polri versus KPK terus
berlangsung.
Soal IHSG yang terus menguat,
sebenarnya yang terjadi ialah sudah terjadi kejenuhan rally indeks harga saham Dow Jones di New York. Ketika
perekonomian AS terlihat tanda-tanda membaik, terutama ditunjukkan dengan
pertumbuhan ekonomi 2,7% pada triwulan III/2014 dan pengangguran turun
menjadi 5,6% pada Desember 2014, terjadilah arus modal balik dari seluruh
dunia ke AS (sudden reversal).
Gairah arus balik modal itu menyebabkan dua hal; kurs dolar AS menguat dan
indeks Dow Jones juga mengalami rally
(menguat).
Puncaknya ialah indeks Dow Jones
mencapai rekor baru di atas 18.000.Kondisi ini sudah jauh melebihi level
sebelum krisis subprime mortgage
2008, indeks hanya sekitar 17.000. Level pengangguran di AS juga turun
drastis ke 5,6%, dari level terburuk 10% pada 2009.Inflasi juga terjaga pada
level rendah 1,6%. Karena indikator-indikator ekonomi makro ini banyak yang
membaik, The Fed (bank sentral AS)
pun menghentikan program quantitative easing (stimulus moneter berupa
pencetakan uang baru yang menyebabkan likuiditas melonggar), serta berencana
menaikkan suku bunga acuan (Fed funds rate)
yang kini 0,25% menjadi maksimal 1% pada akhir 2015.
Namun, rencana kenaikan suku bunga
tersebut tidak kunjung dieksekusi. Penyebabnya otoritas moneter AS pun mulai
ragu-ragu, apakah tepat menaikkan suku bunga ketika kurs dolar AS tengah
menguat terhadap mata uang seluruh dunia? Jika suku bunga dinaikkan, kurs
dolar AS akan terus menguat, bagaimana jadinya dengan posisi neraca
perdagangan AS? Bagaimana dengan nasib sektor turisme AS? Orang akan enggan
datang ke AS karena berwisata di AS menjadi terlalu mahal. Sebaliknya, orang
AS justru akan menikmati murahnya perjalanan ke luar negeri karena kurs dolar
AS yang menguat.
Meski berkali-kali Kepala The Fed Janet Yellen selalu mengatakan
rencana kenaikan suku bunga AS bakal segera dieksekusi, tetapi kebimbangan
terebut masih terus terasa. Belum tentu AS benar-benar jadi melaksanakannya
sesuai dengan rencana.
Di tengah kegalauan tersebut,
timbul kesadaran pula bahwa perekonomian AS sebenarnya belum benar-benar
normal.Pengangguran 5,6% memang sudah turun dari 10%, tetapi itu belum
mencapai level normal 4%, sebagaimana level dulu sebelum 2008. Karena itu,
sebenarnya kebijakan moneter longgar (easy
money) masih diperlukan. Suku bunga rendah seperti sekarang masih dirasa
relevan.
Masih percaya
Berkecamuknya analisis seperti ini
menyebabkan para pemilik modal global mulai mengalirkan dananya dari New York
ke bursa-bursa efek seluruh dunia, terutama di negara-negara emerging markets yang pertumbuhan
ekonominya masih relatif tinggi, seperti Tiongkok (7,3%), India (6%), dan
Indonesia (5,1%).Itulah sebabnya IHSG di Jakarta masih terus melesat, meski
diterpa gonjangganjing kasus perseteruan KPK dan Polri tersebut.
Soal rupiah melemah menjadi
12.600an per dolar AS, saya duga, sejauh ini belum terpengaruh oleh kasus
politik domestik kita. Fenomena melemahnya rupiah lebih disebabkan memang
secara alamiah dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang dunia. Munculnya
kebijakan quantitative easing (QE)
di Eropa juga menekan kurs euro sehingga menyebabkan kurs dolar AS semakin berkibar.
Karena itulah, rupiah akhir-akhir ini kembali tertekan melemah.
Masalahnya, sampai kapan indikator
ekonomi makro kita tetap tegar menghadapi gempuran sentimen negatif dari
fenomena politik? Saya rasa tetap ada batasnya. Pada saat ini pasar masih percaya
bahwa Presiden Jokowi akan bisa menguasai keadaan sehingga para pemilik modal
global masih mau mengalirkan dananya ke Indonesia, melalui pintu masuk bursa
efek sehingga IHSG tetap tinggi.
Namun, pada titik tertentu nanti,
jika permasalahan KPK-Polri terus berlarutlarut dan mulai menunjukkan bahwa
Presiden Jokowi ternyata tidak sepenuhnya memegang kemudi kekuasaan sehingga
tidak bisa mengambil keputusan secara independen, serta tidak bisa lagi
mendengarkan `suara rakyat', pasar pun bisa berbalik terpengaruh. Tatkala
pasar terpengaruh sentimen negatif ini, IHSG dan rupiah pun akan sama-sama
meluncur lemah.
Karena itu, saya berharap agar
Presiden Jokowi tidak menganggap bahwa kegaduhan politik seputar kisruh KPK
vs Polri merupakan hal yang bisa diisolasi. Memang benar bahwa untuk
sementara ini masalahnya bisa dilokalisasikan atau diisolasi sehingga tidak
berpengaruh terhadap indikator-indikator ekonomi yang biasanya sensitif,
seperti kurs rupiah dan IHSG. Namun, menurut saya, itu sifatnya sementara
atau dalam jangka pendek.
Bisa tergerus
Dalam jangka menengah dan panjang,
cepat atau lambat, hal itu akan berpengaruh juga. Pada dasarnya, para pemilik
modal global pasti akan lebih suka me nempatkan dananya ke negara-negara yang
kondisi politiknya stabil.
Indonesia selama ini dipersepsikan
sebagai negara dengan stabilitas politik tinggi, misalnya jika dibandingkan
dengan negara-negara tetangga seperti Filipina (diganggu oleh kelompok
separatis Moro), atau Thailand (kudeta militer yang sering berulang).
Indonesia memang relatif stabil
dari gangguan konflik fisik seperti di Filipina dan Thailand. Namun, jika
dinamika politik seperti kasus KPK versus Polri ini tidak dikelola dengan
baik, kualitas kepemimpinan (leadership)
Presiden Jokowi pun lambat laun akan tergerus.
Ketika kepemimpinan menjadi lemah,
ditambah dengan komitmen memberantas korupsi dipertanyakan, para pemilik
modal pun menjadi ragu-ragu untuk menanamkan uang mereka di Indonesia. Di
saat itulah potensi terjadinya keluarnya modal dari Indonesia (capital outflows) menjadi kian besar.
Presiden Jokowi sudah harus
menyadari situasi ini. Perekonomian Indonesia amat memerlukan masuknya modal
asing untuk memperkuat cadangan devisa sehingga dapat memperkuat kurs rupiah.
Di depan mata kita tetap ada potensi AS menaikkan suku bunganya, yang hanya
bisa dilawan dengan masuknya modal asing ke sini (capital inflows).
Jika kenaikan suku bunga AS juga
dilawan dengan kenaikan suku bunga acuan BI rate, hasilnya ialah
kontraproduktif. Kenaikan suku bunga dari posisi BI rate saat ini 7,75% hanya
akan menjerumuskan sektor finansial kita ke lembah likuiditas yang makin
ketat. Ini sebuah situasi yang pada tahun lalu menyebabkan rendahnya ekspansi
kredit perbankan (12%) dan rendahnya pertumbuhan ekonomi (5,1%).
Presiden Jokowi hendaknya berani
mengambil sikap untuk hanya memihak pada upaya memerangi korupsi, agar
menegakkan kembali wibawanya sebagai presiden.
Langkah itu selanjutnya juga akan
menggaransi bahwa modal global akan terus mengalir masuk sehingga likuiditas
menjadi kian longgar.
Hanya dengan cara itulah kita
masih bisa menggantungkan asa mencapai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi pada
2015. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,8%, yang rasanya pasti
sulit dicapai kalau kita terjerumus pada konflik politik di seputar KPK
versus Polri yang berkepanjangan.
Pertumbuhan ekonomi tinggi hanya
dapat dicapai jika didukung stabilitas politik, tidak berisik seperti
sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar