Orang
Susah, Keadilan, dan Peradilan Sesat
Haris Azhar ; Koordinator
Kontras
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Januari 2015
SEJUMLAH kasus yang menimpa
orang-orang kecil belakangan ini menunjukkan persoalan hukum dan keadilan di
Indonesia masih memprihatinkan. Hukum dan keadilan masyarakat telah menjadi
seperti dua kutub yang bertentangan. Ada tulisan yang menarik di salah satu
media yang fokus pada isu hukum berjudul `Orang Kecil Dilarang Mencari
Keadilan'. Isi tulisan itu antara lain menceritakan nasib seorang anak yang
mencuri sandal seorang polisi lalu dibawa ke pengadilan dan kasus Khoe Seng
Seng, pembeli ruko yang divonis melakukan pencemaran nama baik setelah
menulis surat pembaca karena kecewa terhadap pengembang ruko yang dibelinya.
Namun, kasus-kasus orang-orang tidak berdaya (miskin) yang diperkarakan dan
diadili semacam itu terus terjadi dan semakin banyak.
Di Jakarta, mahasiswi korban
pemerkosaan justru ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi karena menolak
berdamai dengan tersangka pemerkosanya. Zulfikar Arif Ardil, pemuda asal
Makassar yang datang ke Jakarta untuk menjalani tes wawancara sebagai
wartawan, ditangkap polisi karena dituduh sebagai pencuri. Polisi bukan saja
merampas uang Rp10 juta miliknya, melainkan juga menyiksa Zulfikar.
Kasus yang hampir sama menimpa
Kuswanto di Kudus, Jawa Tengah, yang dituduh melakukan perampokan toko es
krim. Padahal, perbuatan itu tak pernah dilakukannya dan kemudian terbukti
polisi menangkap perampok yang sebenarnya. Kuswanto dilepaskan tapi selama di
kantor polisi dia mengaku matanya diplester, wajahnya dipopor senjata, dan
tubuhnya disiram bensin. Dan ini yang mengusik keadilan; para polisi yang
menyiksanya hanya mendapat hukuman disiplin.
Akhir tahun lalu, ramai
diberitakan tentang kematian Azwar, seorang petugas kebersihan dari PT ISS
yang bekerja di Jakarta International
School (JIS). Dia dituduh melakukan sodomi terhadap salah satu murid JIS
berusia enam tahun. Polisi menangkapnya Sabtu dini hari (26 April 2014) dan
beberapa jam kemudian Azwar dikabarkan meninggal di tahanan Polda Metro Jaya.
Menurut polisi, Azwar bunuh diri dengan meminum cairan pembersih yang ada di
sel tahanan. Namun, polisi tidak menjelaskan mengapa di sel terdapat
benda-benda yang berpotensi digunakan para tahanan untuk melakukan bunuh
diri.
Tidak ada juga keterangan, mengapa
mulut Azwar tidak mengeluarkan busa (seperti pada kasus-kasus bunuh diri yang
sama), sedangkan mukanya malah penuh dengan lebam dan berdarah. Pihak
keluarga menduga Azwar telah disiksa polisi dan autopsi terhadapnya tidak
pernah dilakukan.
Lima teman Azwar yang juga
ditangkap, terus diproses hingga menerima vonis akhir tahun lalu. Kelimanya
divonis masing-masing tujuh dan delapan tahun setelah hakim menganggap mereka
terbukti bersalah melakukan kekerasan seksual (sodomi).
Jika dibandingkan dengan
kasus-kasus lain, kasus JIS menarik sejak awal karena melibatkan nama sekolah
internasional dan kasusnya sodomi terhadap anak. Proses hukumnya juga
menunjukkan banyak kejanggalan. Kelima pekerja kebersihan PT ISS itu
sebetulnya juga telah mencabut BAP. Mereka mengaku polisi telah menyiksa
mereka sedemikian rupa untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan.
Namun, hakim menolak kesaksian yang diberikan ahli dan tetap memercayai
kesaksian korban yang berusia enam tahun.
Kasus itu semakin menarik karena
juga mendapat perhatian dari dunia internasional. Salah satunya Duta Besar
Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O Blake. Dia meminta pemerintah
Indonesia menyelidiki dugaan penyiksaan terhadap para petugas kebersihan PT
ISS yang terungkap di persidangan. Menurut Blake, penyelidikan itu penting
karena hasil dari kasus tersebut akan mengungkapkan aturan hukum di Indonesia
dan dampaknya yang signifikan terhadap reputasi Indonesia di luar
negeri.Apalagi Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Internasional tentang
Antipenyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak
Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.
Benarkah aturan hukum di Indonesia
memang buruk? Apakah orang-orang kecil selalu menjadi korban dalam proses
hukum?
Tiga hambatan
Di buku Akses terhadap Keadilan, dosen senior Universitas Leiden Belanda
Adrian Bedner yang banyak melakukan riset tentang akses terhadap keadilan di
Indonesia menyebutkan, dalam konteks sistem peradilan yang relatif sulit
diakses dan penuh penyelewengan, ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat
kemudian mudah sekali diterjemahkan sebagai ketidaksetaraan kapasitas untuk
mengklaim hak-hak seseorang.
Benar menurut hukum, lanjut
Bedner, tidaklah cukup. Masih diperlukan kapasitas dan faktor lainnya, antara
lain, koneksi yang baik (backing), uang, kesadaran hukum, pengetahuan tentang
prosedur di kepolisian, dan pengadilan dan kapasitas untuk memobilisasi
orang.
Menurut Bedner, setidaknya ada
tiga jenis hambatan yang kerap terjadi dalam upaya memperjuangkan akses
terhadap keadilan. Pertama, berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa
masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran yang relatif terbatas atas
hak-hak mereka yang dijamin hukum.
Hambatan kedua dalam memperjuangkan
akses terhadap keadilan muncul dari relasi kekuasaan. Mereka yang memiliki
kekuasaan dapat dengan mudah menghambat pengaduan atau tuntutan dari pencari
keadilan. Bahkan mereka ini juga sangat mungkin melakukan pembangkangan
hukum.
Terakhir, isu yang menjadi
penghambat akses terhadap keadilan ialah ketidakpastian hukum itu sendiri.
Menurut Bedner, ketidakpastian hukum yang diciptakan sifat kabur dan
kontradiktif dari sejumlah undang-undang penting atau perbedaan penafsiran
antara pemerintah atau pengadilan dengan kepentingan masyarakat umum.
Dari penjelasan Bedner itu, kini
menjadi jelas mengapa orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang
prosedur di kepolisian, tidak mempunyai koneksi, uang, dan relasi kekuasaan,
selalu menjadi pihak yang paling menderita dan tidak mendapatkan keadilan
ketika mereka berurusan dengan hukum.
Temuan Bedner sangat mirip dengan
pengalaman Kontras dalam menangani sejumlah kasus peradilan sesat. Bukti dan
prosedur hukum sangat meragukan, ada kecenderungan `harus ada yang
dipersalahkan' atas sebuah peristiwa pidana. Dan yang dipersalahkan ialah
orang-orang yang berasal dari ekonomi lemah, inferior, dan miskin koneksi
politik. UU Bantuan Hukum belum efektif berlaku dan tidak dipahami atau tidak
diakui penerapannya.
Dengan kata lain, sebagai negara
hukum (rechtstaat), Indonesia kini
dihadapkan pada persoalan hukum dan keadilan yang sangat serius. Hukum dan
keadilan masyarakat menjadi seperti dua kutub yang bertentangan. Sebuah
kondisi yang bertentangan dengan dasar filosofis hukum, yang menuntut hukum
tidak sekadar untuk membuat tertib sosial, tetapi yang lebih penting dari itu
bisa memberi rasa keadilan bagi masyarakat.
Selain ada pelanggaran hak asasi
terhadap orang-orang yang dikriminalkan, terdapat implikasi buruk lainnya
dari peradilan sesat. Jika kasus-kasus pidana yang dijadikan dasar utama benar
adanya, lalu pelakunya dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, pelaku
yang sebenarnya masih berkeliaran di luar tanpa kontrol koreksi negara.
Situasi juga merupakan gambaran
dari diskriminasi dalam penegakan hukum. Mahasiswi korban pemerkosaan yang
dijadikan tersangka, Zulfikar si calon wartawan yang ditangkap karena dituduh
mencuri, dan penyiksaan terhadap Kuswanto hanyalah sedikit contoh dari
kasus-kasus yang bisa menimbulkan kesan bahwa keadilan hanyalah milik orang
bermodal dan punya koneksi di aparat hukum. Perkara yang menimpa lima pekerja
kebersihan dari PT ISS bahkan telah menutup kemungkinan bahwa mereka
sebetulnya ialah korban yang sebenarnya dari kasus sodomi. Kasus-kasus
seperti ini makin banyak, tetapi mekanisme kontrol tidak jelas jalannya.
Entah sampai kapan ini akan terjadi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar