Urgensi
Revisi UU Kepailitan
Aco Nur ; Doktor
Hukum Bisnis Lulusan Universitas Jayabaya, Penulis buku “Hukum Kepailitan
Perbuatan Melawan Hukum oleh Debitor”
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Januari 2015
DALAM laporannya pada 2012, McKinsey Global Institute yang
bermarkas di Amerika Serikat meramalkan pada 2030 kekuatan perekonomian
Indonesia akan berada di posisi ketujuh dunia. Jumlah kelas menengah kita
akan meningkat dua kali lipat dari 45 juta menjadi 90 juta orang. Yang juga
sudah di depan mata, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mulai berlaku akhir
tahun ini.Tentu, dalam menghadapi MEA dan ramalan Kinsey, perusahaan swasta
nasional ataupun asing juga akan kian pesat pertumbuhannya.Untuk itu, problem
hukum antarperusahaan dan para pihak, misalnya problem kepailitan, juga akan
kian tak bisa dihindari. Dalam menghadapi kemungkinan itu, tentu perlu produk
hukum yang memadai.
Sementara itu, jika kita cermati,
tidak semua perbuatan-melawan-hukum yang dilakukan debitor diatur dalam UU No
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(selanjutnya disebut UU Kepailitan). Yang diatur hanya perbuatan satu tahun
sebelum putusan kepailitan diucapkan. Adapun yang lebih dari satu tahun
ataupun setelah putusan kepailitan diucapkan tidak diatur dalam UU tersebut.
Itu salah satu kendala dalam
penerapan UU Kepailitan. Selain itu, tentu masih banyak kendala lain. Ada
beraneka ragam perbuatan debitor yang tergolong perbuatan-melawan-hukum.
Setiap perbuatan debitor yang dapat merugikan kreditor dapat dianggap sebagai
perbuatan-melawanhukum. Itu sebabnya, sebelum kita menghadapi kian banyak
persoalan menyangkut sengketa kepailitan, revisi UU tersebut jadi amat
mendesak.
Beda tafsir
Masalah pertama mengenai UU
Kepailitan timbul karena perbedaan penafsiran di antara para hakim pengadilan
niaga (tingkat pertama) dan para hakim tingkat kasasi.Berdasarkan analisis
putusan pengadilan niaga dan putusan tingkat kasasi MA, tampak perbedaan
penafsiran dan penerapan UU No 37 Tahun 2004, khususnya Pasal 2 ayat (1)
tentang pengajuan permohonan pailit, yang mempersyaratkan 2 (dua) atau lebih
dari kreditor, yang salah satunya telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Selain itu, ada perbedaan
penafsiran antara MA dan pengadilan niaga menyangkut Pasal 8 ayat (3) tentang
pembuktian sumir (sederhana). Di satu sisi dikatakan, suatu kasus dapat
dibuktikan secara sederhana karena telah ada fakta dua kreditor yang salah
satu utangnya telah jatuh tempo tidak dibayar; jadi, permohonan pailit dapat
dikabulkan.
Akan tetapi, hakim tingkat kasasi
menganggap kasusnya tidak dapat dibuktikan secara sumir. Alasannya berbagai
macam, antara lain karena utangnya disangkal debitor atau masih harus
dibuktikan lebih lanjut. Ada pula yang beralasan karena utang-piutangnya
belum pasti dan harus diselesaikan lebih dulu di pengadilan negeri, untuk
membuktikan bahwa utang debitor benar adanya.
Terlihat jelas bahwa MA dan
pengadilan niaga belum mempunyai persepsi yang sama dalam rangka implementasi
UU Kepailitan tersebut. Contohnya dalam kasus perkara No 12/Pailit/2009/PN
Niaga Surabaya, yaitu perkara antara PT Daya Guna Mandiri dan CV Perdana
Teknik. Pengadilan Niaga Surabaya mengabulkan permohonan pailit karena
kasusnya dapat dibuktikan secara sumir, tetapi kemudian MA dengan putusannya
No 835 K/PDT-SUS/2009 membatalkan putusan Pengadilan Niaga Surabaya itu
dengan alasan kasus tersebut tidak dapat dibuktikan secara sumir.
Contoh lain, dalam perkara No 03/
Pailit/2009 di Pengadilan Niaga Medan antara Citibank dan Wijayanto dan Seli
Kustamin, PN Medan menganggap perkara itu tidak dapat dibuktikan secara
sumir, maka ditolak. Akan tetapi, kemudian MA, dengan putusannya No 762
K/PDTSUS/2010, mengabulkan permohonan pailit karena dapat dibuktikan secara
sumir.
Jejak warisan Belanda
UU Kepailitan yang ada sekarang
bersumber pada undang-undang kepailitan Belanda, yaitu Faillissementsverordening, Staatsblad 1905 No 217 dan 1906 No 348.
Betapa terbatasnya Faillissementsverordening
mudah terlihat dari cakupannya tentang perbuatan-melawan-hukum yang dilakukan
debitor. Yang dapat dibatalkan kurator hanya perbuatan-melawan-hukum yang
dilakukan debitor 40 hari sebelum putusan pailit diucapkan.
Dengan pembatasan seperti itu,
jelas tidak cukup waktu untuk menjangkau segala bentuk
perbuatan-melawan-hukum yang mungkin dilakukan debitor. Itu sebabnya, atas
inisiatif pemerintah dalam perumusan Perppu No 1 Tahun 1998 yang kemudian
menjadi UU No 4 Tahun 1998 jo UU No 37 Tahun 2004, jangka waktunya ditambah
menjadi satu tahun sebelum putusan pailit diucapkan. Yaitu, perbuatan melawan
hukum yang dilakukan debitor satu tahun sebelum putusan pailit diucapkan
dapat digugat lewat apa yang dinamakan Actio
Pauliana. Namun, itu pun belum memadai untuk perlindungan hukum maksimal
kepada para kreditor.
Sanksi yang dapat diterapkan
terhadap debitor yang melakukan perbuatan melawan-hukum lebih dari 1 (satu)
tahun ataupun setelah putusan pailit diucapkan pengadilan niaga didasarkan
pada KUH Perdata Pasal 1365 dan 1366, `Tiap perbuatan yang melanggar hukum
dan membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya
menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut'.Adapun debitor yang
melanggar perjanjian (wanprestasi) berdasarkan Pasal 1248 dapat juga dituntut
pemenuhan perjanjian/pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi dan
atau ganti rugi saja yang dapat berupa ongkos-ongkos yang dikeluarkan,
kerugian nyata akibat wanprestasi, keuntungan yang diharapkan dan bunga dapat
digugat kurator melalui pengadilan negeri.
Adapun lembaga gijzeling yang diatur dalam Peraturan
MA No 1 Tahun 2000 tidak dapat diterapkan dalam kasus kepailitan karena
pengaturannya bukan merupakan pelaksana UU Kepailitan.
Urgensi Revisi UU Kepailitan 2004
sudah tidak lagi sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Untuk itu,
perlu ditinjau kembali. Dalam revisi UU Kepailitan itu, pembatalan bagi
debitor yang melakukan perbuatan-melawan-hukum sebaiknya tidak dibatasi
jangka waktu tertentu. Lembaga Actio
Pauliana perlu diberi kewenangan untuk dapat membatalkan
perbuatan-melawanhukum sebelum atau setelah kepailitan diucapkan pengadilan
niaga, tanpa dibatasi jangka waktu tertentu karena perbuatan debitor tersebut
ialah suatu persangkaan UU (wettlijk
vermoeden) yang dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan melalui
proses pengadilan.
Lebih dari itu, hendaknya UU
Kepailitan mencantumkan sanksi perdata ataupun sanksi pidana. Ini untuk
memberikan efek jera kepada debitor yang melakukan perbuatan-melawan-hukum.
MA telah diberi kewenangan untuk
mengatur lebih lanjut tentang ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam UU,
berdasarkan Pasal 79 UU No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 jo UU No 3
Tahun 2009 sehingga MA diharapkan segera menerbitkan Peraturan MA tentang
lembaga gijzeling sebagai pelaksana
UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar