Mencari
Keadilan
Dominikus Dalu S ; Asisten
Senior Ombudsman
pada Ombudsman Republik Indonesia
|
KOMPAS,
30 Januari 2015
HUGJILTU alias Qoysiletu adalah
warga Mongolia Dalam di China bagian utara. Pada usia yang masih sangat muda,
18 tahun, ia dihukum mati atas kasus pembunuhan dan pemerkosaan seorang
wanita di toilet pabrik tekstil tahun 1996. Namun, putusan pengadilan Kota
Hohhot pada 15/12/2014, tempat ia diadili dan dihukum mati, pada 1996,
menyatakan Hugjiltu tidak bersalah.
Keluarga almarhum memang gigih
mengungkap kebenaran, bermula dari pengakuan seorang pria yang menyatakan
bahwa dialah pelaku sesungguhnya pada 2005.
Pengadilan tinggi Mongolia
menggelar ulang kasus itu pada November 2014, selanjutnya kepolisian
memproses hukum berdasarkan pengakuan terbaru. Hasil proses ulang perkara
oleh penegak hukum membuktikan semua alat bukti tidak mengarah kepada
Hugjiltu, termasuk bukti DNA yang diajukan ke pengadilan.
Sebagai bukti penyesalan dan
pertanggungjawaban penegak hukum, ketua pengadilan kota Hohhot melalui wakil
ketua pengadilan memberikan kompensasi informal kepada orangtua Hugjiltu
berupa uang sebesar 30.000 yuan atau setara dengan Rp 372,4 juta. Itu
merupakan uang pribadi, bukan negara.
Tidak diketahui apakah uang yang
disebut kompensasi itu diterima oleh orangtua Hugjiltu karena memang
sesungguhnya nyawa manusia tidak dapat dinilai dengan uang.
Hukum masih bolong
Berkaca dari pengalaman eksekusi
Hugjiltu, kiranya Kejaksaan Agung mengevaluasi kembali secara selektif para
narapidana yang akan dieksekusi mati. Sudah banyak kejadian di republik ini
penegak hukum menangkap dan menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah.
Sebutlah kasus Sengkon dan Karta,
Budi Harjono yang dituduh membunuh ayah kandungnya tahun 2002 di Bekasi,
Risman Lakono dan Rostin Muhaji di Gorontalo tahun 2007, dan korban salah
tangkap dan salah hukum Devid Eko Prianto cs di Jombang tahun 2008.
Walaupun MK dalam putusannya
tanggal 30/20/2007 menolak uji materi hukuman mati dalam perkara narkoba,
kontroversi hukuman mati terus terjadi. Sementara hukum positif di negara ini
masih membolehkan hukuman mati, paling tidak masih kita temukan ada sembilan
jenis kejahatan dalam KUHP yang diancam dengan hukuman mati, mulai dari
kejahatan makar dengan maksud membunuh presiden atau wakil presiden hingga
kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan.
Demikian pula dalam beberapa
ketentuan perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur tentang kejahatan
yang diancam dengan hukuman mati, misalnya dalam UU tentang Tindak Pidana
Ekonomi, Narkotika, dan Korupsi.
Namun, ada anomali mengingat bahwa
hak untuk hidup adalah hak asasi yang sangat mendasar, bahkan dijamin dalam
konstitusi negara (Pasal 28 A dan I UUD 1945) diperkuat dengan UU tentang HAM
(Pasal 4 dan 9).
Sebaliknya, dalam Pasal 28 J Ayat
(1) dan (2) konstitusi kita menyatakan bahwa ”(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan (2) Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Inilah alasan pihak yang pro
hukuman mati bahwa hak untuk hidup seseorang juga dibatasi manakala telah
merugikan hak orang lain atau masyarakat pada umumnya.
Tinjau kembali
Secara pribadi, penulis berpandangan
hukuman mati harus dihapus meski hukum positif masih membolehkan pidana mati.
Untuk menghapuskannya, beberapa langkah kiranya dapat dilakukan.
Pertama, pemerintah perlu meninjau
kembali terkait penolakan grasi beberapa narapidana yang dihukum mati. Ini
untuk memastikan apakah penolakan grasi oleh presiden tersebut sudah
benar-benar adil karena grasi merupakan hak prerogatif presiden.
Kedua, penegak hukum agar
bertindak benar dan adil, termasuk hakim sebagai pengadil agar tidak
mengobral hukuman mati. Hukuman harus benar-benar mempertimbangkan semua
aspek keadilan guna menghindari peradilan sesat (miscarriage of justice).
Ketiga, kesempatan pengajuan
peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) dalam perkara pidana yang
dapat dilakukan lebih dari satu kali berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
tanggal 23/04/2013 menjadi bahan pertimbangan tersendiri atau menjadi
pengecualian khusus terkait dengan permohonan PK oleh para terpidana mati.
Menjadi pertanyaan publik mengapa
MA melalui Sema Nomor 7 Tahun 2014 pada tanggal 31/12/2014 memberikan batasan
bahwa permohonan PK perkara pidana hanya dibolehkan satu kali demi kepastian
hukum.
Apakah MA sudah yakin bahwa
putusan pengadilan selama ini sudah benar adil dan tidak terulang peristiwa miscarriage of justice seperti yang
pernah terjadi?
Dua terpidana mati di Lapas
Lowokwaru, Malang, Ruben Pata Sambo dan anaknya, Markus Pata Sambo, mencari
keadilan karena yakin tidak membunuh.
Ketika disarankan mengajukan grasi kepada presiden, mereka tidak mau karena
merasa tidak bersalah.
Padahal, putusan pengadilan sudah
sampai tingkat PK di MA dan telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Padahal, MA
menyatakan, PK perkara pidana hanya diajukan satu kali. Semoga dewi keadilan
menaungi mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar