Negara,
Kapitalisme Kognitif
dan
Tendensi Apologetik Fatalis Soal Pendidikan
Andre Barahamin ; Peneliti
Lepas dan Mahasiswa Pasca-Sarjana
di Mahasarakham University, Thailand
|
INDOPROGRESS,
04 Februari 2015
DALAM tulisan terdahulu di IndoPROGRESS[1], saya telah
menjelaskan tentang bagaimana mengarahkan kritik terhadap dunia pendidikan di
Indonesia, secara lebih khusus yang menyasar level pendidikan tinggi. Melalui
artikel pendek tersebut, saya menggarisbawahi poin-poin penting terkait kritik
dunia pendidikan di Indonesia.
Pertama, yaitu kemestian dan kemendesakan untuk
mengintegrasikan kritik terhadap dunia pendidikan secara radikal dan
holistik. Artinya, pendidikan tidak bisa dipandang sebagai bagian terpisah
dari intervensi-intervensi ekonomi-politik. Diskursus tentang kebuntuan
filosofis dan degradasi kualitas pendidikan di Indonesia, sudah mesti
dilakukan dengan melihat bahwa pendidikan adalah medan pertarungan ideologis
terhadap akses sumber daya sosial. Mereka yang melakukan kritik terhadap
kondisi pendidikan di Indonesia hari ini sudah mesti keluar dari
perangkap-perangkap borjuisasi yang kental dengan heroisme dan ilutif.
Tawaran saya yang kedua adalah bagaimana integrasi secara
radikal dan holistik di atas dapat membuka ruang untuk merumuskan kembali
filosofi pendidikan di Indonesia. Menemukan kembali pegangan-pegangan
filsafat dan ilmiah yang menjadi arah kemudi pendidikan kita. Mempertanyakan
dan menemukan kembali pendidikan sebagai ruang memanusiakan manusia yang
kemudian tidak alienatif dan terintegrasi dengan aktifitas harian (daily life activities). Sebuah temuan
yang tidak mungkin datang dari hasil plagiat atas kritik-kritik sejenis yang
lahir dan tumbuh dalam kenyataan historis di tempat lain. Melainkan ia mesti
merupakan sesuatu yang berakar dan merupakan hasil dialektika kritis di
Indonesia sendiri.
Artikel Musa Maliki[2] yang didedikasikan mendebat
argumentasi-argumentasi Regit Ageng Sulistyo[3], justru dalam pandangan saya
tidak mendorong diskursus ini ke arah tersebut. Sebaliknya kritik Maliki
justru kembali mempertontonkan kebuntuan-kebuntuan yang berkarakter
apologetik. Alih-alih menawarkan cara pandang baru, narasi Maliki justru
kembali tenggelam dalam pengingkaran-pengingkaran filosofis yang tidak bisa
dibiarkan.
Tulisan ini bermaksud untuk membongkar sifat-sifat fatalis
dan pembiaran-pembiaran yang cenderung mengadvokasikan kepasrahan total
terhadap rekuperasi pendidikan sebagai alat produksi tenaga kerja semata.
Kecacatan Argumentasi Maliki
Maliki memulai artikelnya dengan sebuah kecerobohan. Ia
menuduh Regit melakukan interpretasi terhadap hasil riset orang lain dengan
metode yang tidak dijelaskan (paragraf 1, kalimat 4). Padahal jika ia membaca
secara teliti, Regit adalah salah satu orang yang ikut melakukan riset
tersebut bersama dengan Dodi Mantra dan Reza Istefi (paragraf 4, kalimat 1).
Kecerobohan tersebut dilanjutkan dengan fatalisme Maliki
yang pertama dalam tulisan tersebut. Yaitu keinginan untuk ‘menyelamatkan
negara’ dari ‘tuduhan’ Regit. Ia menganggap bahwa menyebut Indonesia sebagai
negara kapitalisme adalah sesuatu yang tidak berdasar dan terlalu
terburu-buru. Maliki berbalik menuduh Regit tidak menyediakan basis analisis
yang mendasari kesimpulan tersebut. Sementara di saat yang bersamaan ia juga tidak
menawarkan penjelasan filosofis terkait pembelaannya. Dalam artikelnya,
Maliki hanya mengemukakan argumentasi-argumentasi moralis yang sama sekali
tidak empirik.
Fatalisme tersebut dimulai dengan kegagalan interpretasi
Maliki terhadap tulisan Regit. Ia tidak memahami latar belakang tulisan
tersebut yang berupaya mendebat kekeliruan Yoga Prayoga.[4]
Regit bertujuan untuk mendorong kritik artifisial Prayoga
yang hanya sekedar menyalahkan kehadiran lembaga bimbingan belajar sebagai
penyebab degradasi kualitas intelektual mahasiswa. Lebih lanjut, Regit
menolak argumentasi eskapik Prayoga yang berharap persoalan tersebut dapat
diselesaikan seorang Anies Baswedan. Argumentasi Regit, menyerahkan logika
pendidikan sepenuhnya ke tangan aparatus negara, akan membuat pendidikan
kemudian diarahkan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Penolakan Regit tersebut didasarkan pada tesis bahwa
institusi pendidikan yang dikendalikan negara jelas akan berorientasi pada
pemenuhan spot kosong lapangan pekerjaan. Sementara mereka yang sedang duduk
di bangku belajar akan didesain sebagai subyek-subyek pekerja melalui
pendisiplinan.
Pendapat dalam artikel Regit sebenarnya bukanlah sesuatu
yang orisinil. Kita dapat dengan mudah menemukan benang merah ketika membaca
kembali tulisan fenomenal Nicos Poulantzas yang berjudul Political Power and
Social Classes. Dalam tulisan tersebut, Poulantzas mengajukan klaim bahwa
setiap moda produksi yang hari ini berkembang dan menggerakkan negara, dapat
dimengerti secara teoritik dalam pengertiannya mengenai interrelasi antara
level ekonomi, politik dan ideologi.[5]
Contohnya dapat dilihat dari struktur ekonomi dalam moda
produksi kapitalisme yang tersusun atas relasi sosial produksi dan
kekuatan-kekuatan produktif seperti yang telah dijelaskan dalam The
Capital.[6] Lebih lanjut Poulantzas mendefinisikan bahwa, struktur-struktur
politik dalam sebuah moda produksi dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang
terinstitusionalisasi di dalam negara. Sementara struktur ideologi dalam
sebuah moda produksi mengacu kepada dua hal: pertama, merujuk kepada
kesadaran subjektif dari setiap aktor sosial secara individual; sementara
yang kedua mengacu kepada sistem nilai kolektif yang yang eksis di dalam
sebuah kelompok masyarakat.[7]
Suksesnya sebuah moda produksi sangat bergantung dari
integrasi ketiga struktur tersebut di setiap level. Namun Poulantzas
menggarisbawahi bahwa fungsi-fungsi normal dari struktur-struktur tersebut
dapat terganggu oleh kontradiksi yang dihasilkan melalui “praktik-praktik
kelas”. Hal tersebut merupakan efek dari “dislokasi struktural yang
diakibatkan oleh perjuangan kelas” dan “pembangunan yang tidak merata di
struktur-struktur tersebut yang juga berpengaruh terhadap level-level formasi
sosial.[8]
Negara, dalam moda produksi kapitalisme dipandang
Poulantzas umumnya berfungsi untuk melayani “the regulating factor of its
global equilibrium as a system”.[9] Untuk menjaga keseimbangan tersebut,
Poulantzas menemukan bawah ada tiga jenis “praktik-praktik kelas” yang
membutuhkan pengaturan dan kontrol negara.
Pertama, Poulantzas berpendapat bahwa level ekonomi dalam
moda produksi kapitalistik relatif otonom terhadap level politik dan
ideologi. Karena relativitas otonom tersebut keseimbangan tidak hanya
dipengaruhi oleh level ekonomi, tapi diharuskan untuk menjadi tanggung jawab
negara dalam mengurusnya. Itu mengapa negara kemudian, dalam pandangan
Poulantzas, berfungsi secara umum untuk mengatur faktor kohesi antar level
dalam formasi sosial.
Kedua, dipengaruhi oleh kenyataan soal kenyataan-kenyataan
politik, Poulantzas menemukan bahwa dalam moda produksi kapitalistik negara
memberi perhatian utama pada level ekonomi, proses kerja dan produktivitas
tenaga kerja.
Ketiga, negara dalam analisis Poulantzas bertugas untuk
meredam konflik politik kelas dalam rangka mempertahankan kepemimpinan
politik. Terganggunya kepemimpinan politik akan berimbas kepada level-level
struktur lain dalam masyarakat. Itu mengapa negara kemudian memberlakukan
hukuman, mencegah revolusi dan memata-matai segala potensi gangguan politik
tersebut.
Tiga hal di atas kemudian diimplementasikan melalui tiga
fungsi sub-sistem dalam negara; aparatus judisial, arapatus ideologi dan
aparatus administratif politik. Dalam masyarakat kapitalistik, aparatus
judisial tampak melalui perangkat aturan dan perundang-undangan. Melalui
institusi-institusi dan aparat hukum. Sementara aparatus administratif
politik dapat dilihat pada birokrasi, sistem kepartaian dan kepolisian.
Sedangkan aparatus ideologi menampakkan wajahnya melalui institusi agama dan
institusi pendidikan.
Inilah awal muasal tesis Regit tersebut, yang gagal
dipahami oleh Maliki.
Fatalisme kedua dalam artikel Maliki adalah pendapat bahwa
pemerintah Indonesia memiliki tujuan mulia untuk menyejahterahkan mayoritas
warga negaranya. Tesis prematur Maliki tentang ‘niat mulia’ pemerintah
tersebut jelas sekali berkarakter apologetik dan eskapik. Padahal jauh di
masal lalu, Marx dan Engels dalam Communist Manifesto secara skeptis telah
menganggap pemerintah sebagai “a committee for managing the common affairs of
the whole bourgeouisie”.[10] Meyakini pemerintah terdiri dari mereka yang
memiliki niat baik, tidak hanya merupakan argumentasi moralis namun juga sama
sekali tidak ilmiah. Sebab hal tersebut dilandaskan pada kesengajaan untuk
mengacuhkan basis historis-antropologis bagaimana negara itu dibentuk,
dijalankan dan berkembang seiring perkembangan corak produksi masyarakat.[11]
Dengan melompat-lompat dari Hardt dan Negri, Aretxaga,
Abrams serta Foucault (paragraf 5 dan 6), Maliki berkelit sembari melakukan
atraksi spekulatif dengan mengajukan tesis bahwa negara adalah sesuatu yang
‘tidak jelas secara fakta, tetapi praktek dan diskursifnya terasa nyata’
(paragraf 7, kalimat 2).
Meminjam narasi-narasi besar tersebut, Maliki melanjutkan
kerancuannya dengan memberikan dua definisi terpisah tentang pendidikan di
‘dua corak negara’. Pertama adalah ‘pendidikan sebagai alat untuk akumulasi
kapital negara’ di bawah rezim kapitalistik (paragraf 8, kalimat 3). Kedua
soal ‘pendidikan sebagai alat politik untuk mencapai kesadaran tinggi
terhadap politik’ dalam negara yang bercorak demokrasi (paragraf 8, kalimat
4).
Dari situ kita dapat menemukan bagaimana kerancuan cara
berpikir Maliki. Tampak jelas bahwa ia belum paham dan belum sanggup untuk
mendefinisikan secara jelas apa itu negara dan apa itu kapitalisme.
Ketidakpahaman dan ketidaksanggupan tersebut akhirnya bermuara pada
klaim-klaim serampangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dalam tulisannya.
Maliki dalam artikelnya jelas meracau soal definisinya
tentang negara. Ia mengartikan asal-usul negara dan sistem negara secara
sembrono dan seenak perut tanpa didukung landasan teoritik. Hal ini membuat
tulisan tersebut justru terjebak dalam argumentasi asal-asalan yang
bertendensi untuk mencegah upaya-upaya mendefinisikan negara dan melihat
aktivitas negara secara kritis. Artikel Maliki tidak hanya mewartakan
kebingungan, tapi juga bertujuan memukul mundur progress diskusi tentang
dunia pendidikan di Indonesia, terlebih khusus yang menyasar level perguruan
tinggi.
Poin kebingungan berikut yang tampak jelas dalam artikel
Maliki adalah ketidaktahuannya yang mendasar mengenai apa itu kapitalisme.
Hal tersebut berujung pada keputusan Maliki untuk membaptis kapitalisme sebagai
corak pemerintahan yang dapat dihadapkan vis a vis dengan demokrasi (paragraf
8).
Pendapat salah kaprah tersebut dengan mudah digunakan
untuk pembenaran apologetik bahwa negara demokrasi tidak memiliki sifat-sifat
kapitalistik. Atau dapat ditarik lebih jauh dengan mengajukan tesis serupa
bahwa pemerintahan yang demokratis secara otomatis tidak memiliki corak
ekonomi yang akumulatif, eksploitatif dan diskriminatif yang merupakan
ciri-ciri kapitalisme. Benarkah demikian?
Lalu bagaimana Maliki menggunakan argumentasinya tersebut
untuk menjelaskan eksploitasi buruh murah yang terjadi hampir di seluruh
Indonesia? Bagaimana memandang negara demokrasi seperti Indonesia justru
terus mengedepankan pendekatan opresif yang diskriminatif terhadap bangsa
Papua? Atau benarkah tidak ada konsentrasi kekayaan di tangan segelintir
orang dalam sistem ekonomi yang sedang berlangsung di Indonesia?
Tentu saja kesimpulan yang didasarkan pada kebingungan
filosofis, ketidakpahaman akan aspek historis serta kekacauan penggunaan
terma-terma, secara logis akan bermuara pada logika yang banal dan sesat. Itu
mengapa argumen-argumen Maliki tidak dapat digunakan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas. Alih-alih menawarkan kelanjutan diskusi secara
ilmiah, tulisan Maliki justru lebih tampak sebagai labirin.
Kebingungan-kebingungan mendasar yang dibangun Maliki di atas ketiadaan upaya
serius untuk menstrukturkan kritiknya terhadap tulisan Regit, karena
terlanjur ditenggelamkan oleh lautan niat mulianya yang ingin mengatakan bahwa
tidak ada manufakturisasi pendidikan di Indonesia.
Maliki secara semena-mena menjustifikasi argumen-argumen
banalnya ke dalam khotbah-khotbah yang sama sekali tidak masuk akal. Di
tengah kekacauan struktur berpikir tersebut, ia menuliskan harapannya tentang
kemunculan ‘intelektual sejati yang tidak hanya akan sekedar menjadi
pelengkap pembangunan’ (paragraf 11, kalimat 3) lengkap dengan
argumentasi-argumentasi apologetik di bagian tengah tulisan menjadi menutup
dini tulisan tersebut (paragraf 12 dan paragraf 13).
Kapitalisme Kognitif dan Dunia
Pendidikan
Maliki sempat mengutip Foucault dalam tulisannya (paragraf
6). Anehnya ia kelihatan jelas tidak memahami bahwa Foucault juga adalah
orang yang sama yang berbicara mengenai hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan
yang kemudian digunakan sebagai alat kontrol melalui institusi-institusi
sosial, termasuk di dalamnya institusi pendidikan.[12]
Buktinya adalah ketidakpahaman Maliki terkait tesis-tesis
Regit mengenai tiga undang-undang pendidikan [13] yang bertujuan
mendisiplinkan pelajar menjadi subjek pekerja. Proses pendisiplinan tersebut
mensyaratkan transformasi institusi pendidikan yang awalnya merupakan ruang
belajar kritis menjadi pabrik yang mencetak tenaga kerja siap pakai di pasar
kerja.
Transformasi tersebut dapat dilacak ke belakang pasca
terjadinya krisis sosial di era Fordisme, yang memaksa kapitalisme
mengaransemen kembali pembagian kerja (division
of labour) dan modalitas pelipatgandaan kapital (the modality of capital volarisation). Pada tahapan ini, terjadi
peningkatan peran pengetahuan dan pekerja kognitif (cognitive labour) yang dianggap menjadi faktor utama dalam
perubahan sifat dasar dan relasi kapital dan tenaga kerja di periode yang
kemudian disebut sebagai pasca-Fordisme. Penataan kembali tersebut membuat
terjadi signifikansi atas peran pengetahuan yang dikenal sebagai
knowledge-based economy yang kemudian didefinisikan sebagai kapitalisme
kognitif, yang juga mengubah bentuk-bentuk properti dan juga pengertian
tenaga kerja (labour).[14]
Dalam kapitalisme kognitif, kerja adalah aktivitas yang
menyatukan sekaligus pikiran dan tindakan yang secara erat bertaut dan
melekat namun sama sekali berbeda dari segala jenis aktivitas repetitif dan
alamiah yang dilakukan oleh makhluk hidup lainnya.[15]
Penjelasan mengenai fase baru kapitalisme ini juga
sebenarnya telah dijelaskan oleh Hardt dan Negri dalam Empire dan Multitude,
yang ironisnya dikutip Maliki (paragraf 5). Penjelasan Hardt dan Negri
tersebut merupakan pendalaman atas konsepsi Marx mengenai “kecerdasan umum” (general intellect) dalam tulisannya
yang berjudul Fragment on Machine,
yang belum sempat dipublikasikan ketika ia masih hidup.[16] Sederhananya,
kecerdasan umum tersebut mengacu kepada seperangkat pengetahuan, kompetensi,
kemampuan linguistik dan cara untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya berada
di dalam masyarakat, namun semakin tersedia dalam takar yang berbeda-beda
banyak kurangnya di “setiap orang”.
Argumen pendukung lain datang dari Virno[17] dan
Larazzato,[18] yang menguatkan tesis Hardt dan Negri dengan menjelaskan bahwa
dalam fase pasca-Fordisme, kapitalisme telah bergerak melampaui
kenyataan-kenyataan fisikal sebatas penghisapan atas nilai lebih kerja. Bila
di masa Fordisme, hubungan buruh dan bos sering hanya dilihat selama delapan
jam kerja, maka kapitalisme kognitif telah lebih jauh bergerak maju dengan
mengacu pada keahlian pekerja dan kemampuan konseptual dan membuat keputusan.
Yang mana hal-hal tersebut melampaui batasan jam kerja formal karena mencakup
seluruh waktu hidup seorang pekerja.
Artinya kemampuan bicara, kemampuan membangun relasi
pertemanan atau jaringan, kemampuan responsif terhadap situasi yang tidak
terduga yang dimiliki seseorang, telah dikonstruksikan sepanjang masa
hidupnya dan menjadi lebih dari sekedar tenaga kerja dalam pengertian
tradisional.
Tesis Marx mengenai “kecerdasan umum” ini semakin
menemukan kebenarannya semenjak internet ditemukan.
Hari ini kemampuan kognitif tersebut oleh Boutang sebagai
‘modal intelektual’. Modal ini bukan merupakan jenis modal yang habis setiap
hari sehingga perlu diisi ulang. Ia berbeda dengan tenaga fisik pekerja yang
memerlukan waktu istirahat untuk memulihkan tenaga. Sebaliknya, modal jenis
ini terus meningkat secara kualitas dan kuantitas seiring frekuensi
pemakaiannya. Itu menjelaskan mengapa ketrampilan yang digunakan terus
menerus justru berkembang lebih baik dan seiring dengan itu juga
mengakumulasi nilai jualnya.[19]
Boutang lebih lanjut menjelaskan bahwa ‘modal intelektual’
ini adalah sesuatu yang bersifat sosial dan bukan sesuatu yang privat. Modal
jenis ini hanya dapat dimanfaatkan melalui kolaborasi dan kooperasi. Modal
hanya dapat terwujud dan berkembang dalam sebuah jaring yang luas.[20]
Di sinilah kemudian kita dapat menemukan letak institusi
pendidikan khususnya perguruan tinggi dalam kapitalisme pasca-Fordisme. Yaitu
sebagai tempat dimana ‘modal intelektual’ dilatih secara terus menerus agar
meningkat secara kualitas, namun tanpa perlu mengeluarkan biaya. Sebaliknya,
justru menarik bayaran dari mereka yang ingin mendapatkan akses terbatas demi
mendapatkan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan nilai ‘modal
intelektual’ ketika menghadapi pasar kerja. Semakin spesifik dan semakin
terbatas jenis pelatihan tersebut, maka semakin mahal biaya yang harus
ditebus oleh mereka yang berkeinginan mengasah ‘modal intelektual’nya. Bentuk
komodifikasi pengetahuan, yang kemudian dapat menjelaskan mengapa sebuah
program reguler jauh lebih murah dari program sejenis yang diberi label
‘internasional’.
Institusi pendidikan di periode pasca-Fordisme ini
kemudian mereplikasi sifat dan karakteristik pabrik. Namun perbedaan
mendasarnya terletak pada siapa yang dieksploitasi di dalamnya. Di
pabrik-pabrik tradisional, penghisapan dilakukan terhadap buruh dengan tetap
membayar (meski) sedikit agar para buruh tersebut dapat beristirahat dengan
tenang dan dapat dipastikan ia kembali bekerja. Sementara dalam institusi
pendidikan, penghisapan dilakukan terhadap pelajar (unpaid labour) yang ironisnya mesti membayar untuk merasakan
segala bentuk penyiksaan, hukuman, pendisiplinan dan pemenjaraan.[21]
Kenyataan-kenyataan ini yang berupaya disangkal oleh
Maliki dalam artikelnya dengan berkelit bahwa ‘hakikat pendidikan adalah
untuk menopang institusi’ (paragraf 9), sehingga kemudian mengadvokasikan
‘agar tidak terburu-buru menjustifikasi apakah pendidikan kita market
oriented atau knowledge oriented’ (paragraf 12, kalimat 2). Maliki kemudian
melengkapi semua itu dengan argumen apologetik bahwa ‘terletak pada
masing-masing orang untuk menentukan apakah dia akan melawan sistem, atau
melakukan rekayasa atau mengambil celah masuk di antara keduanya’ (paragraf
12, kalimat 3). Yang disimpulkan Maliki melalui pembacaan imbisil atas
tulisan Regit.
Menolak Apologetisme
Meski berupaya mengelak, namun jelas bahwa tujuan artikel
Maliki bukanlah untuk melakukan konfirmasi atas argumen-argumen yang diajukan
oleh Regit. Sebaliknya, tulisan tersebut adalah sebuah pembelaan membabi buta
atas serangan Regit terhadap dunia pendidikan Indonesia yang khususnya
menyasar UU No. 2. Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
kemudian direvisi menjadi UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Bahkan sebenarnya, artikel tersebut ditujukan untuk menepis kritik
yang dialamatkan kepada Jokowi-JK dengan alasan bahwa rezim tersebut belum
layak dikritik karena umurnya yang masih muda (paragraf 13, 17 & 19).
Kritik Regit dianggap tidak ‘melalui pertimbangan multi
aspek dan kompleksitas permasalahan’. Maliki yang mencoba tampak bijaksana,
mengatakan bahwa ‘melayangkan kritik adalah sebuah kewajiban’ namun di saat
yang bersamaan menjustifikasi bahwa kritik Regit ‘dilakukan secara
serampangan dan dengan pemikiran yang tertutup’ (paragraf 19).
Maliki menutup mata pada kenyataan bahwa Jokowi-JK
menandai kepemimpinannya dengan skandal dalam dunia pendidikan. Bahwa rezim
yang masih bau kencur ini pula yang di awal pemerintahannya telah membagi
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan menjadi dua unit kementerian
dengan alasan yang tidak pernah dijelaskan kepada publik.[22] Jokowi yang
dibela Maliki, telah dengan tegas menggariskan bahwa urusan pendidikan di
Indonesia tidak terletak pada masalah filosofis, tapi semata-mata pada
persoalan efektivitas manajemen. Sehingga degradasi kuantitas dan kualitas
pendidikan di Indonesia dapat diselesaikan dengan menunjuk dua orang menteri,
dan bukan perumusan basis filosofi pendidikan.
Dalam artikelnya, Maliki tidak henti-hentinya
memperlihatkan watak apologetismenya dengan cara terus-menerus mempertontonkan
comotan-comotan bombastik untuk menutupi ketidakmampuannya berargumentasi
(paragraf 14, 15, 16). Ia lalu menutup artikel tersebut dengan sebuah
perayaan atas narasi Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai hal yang lebih mendesak
untuk disikapi ketimbang secara jernih memeriksa kembali bangunan filosofis
pendidikan kita (paragraf 17, 18 & 20). Seruan rentan yang sebenarnya
lemah semenjak Maliki lebih mengedapankan respon-respon glamor yang moralis
dengan berharap bahwa pendidikan yang dikompetisikan akan tetap mampu
‘melahirkan figur-figur inspiratif yang dapat melakukan perubahan’ (paragraf
20, kalimat akhir).
Eskapisme dalam tulisan Maliki didasarkan pada
ketidaktahuan yang dibungkus sebagai nasehat-nasehat kebijaksanaan yang
justru menyesatkan. Ironisnya, artikel tersebut sama sekali tidak lucu. Saya
pada akhirnya hanya memiliki dua pilihan rasional yang tersedia saat membaca
tulisan Maliki. Pertama, membiarkannya berlalu seperti sikap kafilah
menghadapi gonggongan anjing. Kedua, mengambil sikap tegas untuk memeriksa
dengan pembedahan serius untuk mencegah repetisi argumen-argumen sejenis di
masa mendatang.
Tanggapan terhadap Maliki juga tidak lahir dalam semangat
idealistik. Setidak-tidaknya, berupaya membersihkan kritik-kritik terhadap
dunia pendidikan hari ini dari anasir-anasir moralis dan spekulatif. Intinya,
menolak semangat apologetik dalam diskursus seperti ini karena bertendensi
menerima dan kemudian merasionalisasi begitu saja segala sesuatu tanpa
pemeriksaan yang teliti. Menolak kepasrahan-kepasrahan filosofis yang fatalis
dalam dunia pendidikan, karena inilah penentu masa depan sebuah komunitas. Setidaknya,
jika pendidikan kemudian adalah zona merdeka terakhir yang tersisa, kita
tidak menyerahkannya dengan percuma. Tapi dengan perlawanan yang
sekeras-kerasnya, sehormat-hormatnya. ●
|
REFERENSI
[1] Andre Barahamin, Kegalauan Kritik Terhadap Pendidikan
Tinggi di Indonesia (Harian
IndoProgress, Januari 2015) accessed Februari 3, 2015 http://indoprogress.com/2015/01/kegalauan-kritik-terhadap-pendidikan-tinggi-di-indonesia/[2] Musa Maliki, Tentang Negara dan Kritik Prematur Atas Manufakturisasi Pendidikan (Harian IndoProgress, Februari 2015) accessed Februari 3, 2015 http://indoprogress.com/2015/02/tentang-negara-dan-kritik-prematur-atas-manufakturisasi-pendidikan/
[3] Regit Ageng Sulistyo, Kemerosotan Intelektual Mahasiswa, Praktek Pendisiplinan Manusia dan Produksi Pengetahuan Secara Otonom (Harian IndoProgress, Januari 2015) accessed Februari 3, 2015http://indoprogress.com/2015/01/kemerosotan-intelektual-mahasiswa-praktek-pendisiplinan-manusia-dan-produksi-pengetahuan-secara-otonom/
[4] Yoga Prayoga, Mahasiswa, Lembaga Bimbel dan Menteri Pendidikan (Harian IndoProgress, Januari 2015) accessed Februari 3, 2015 http://indoprogress.com/2015/01/mahasiswa-lembaga-bimbel-dan-menteri-pendidikan/
[5] Nicos Poulantzas, Political Power and Social Classes. (London: New Left Book & Sheed & Ward, 1973)
[6] Karl Marx, The Capital, trans. Ben Fowkes (London: Penguin, 1992)
[7] Poulantzas, Political Power, 42.
[8] Poulantzas, Political Power, 41.
[9] Poulantzas, Political Power, 45.
[10] Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto (London: Pluto Press, 2008)
[11] Sebagai perkenalan, Maliki bisa dimulai dengan membaca F. Engels, “The Origins of Family, Private Property and the State”.
[12] Mungkin Maliki perlu membaca tulisan Foucault yang berjudul “Discipline and Punish: The Birth of Prisons”
[13] Pasal 36 Ayat (3) Huruf f. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 16 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 19 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[14] Yaan Moulier Boutang, Cognitive Capitalism: New Great Transformation, (Amsterdam: Multitudes, 2007)
[15] Carlo Vercellone, “The Hypothesis of Cognitive Capitalism” dalam Towards a Cosmopolitan Marxism, Historical Materialism Annual Conference, (London: Birkbeck College and SOAS, 2007)
[16] Catatan-catatan Marx tersebut kemudian dikumpulkan (termasuk Fragment on Machine) dan diterbitkan dengan judul Grundrisse.
[17] Lebih lanjut baca Paolo Virno, “On General Intellect” di http://libcom.org/library/on-general-intellect-paulo-virno
[18] Lebih lanjut baca Mauricio Lazzarato, “On General Intellect” di http://libcom.org/library/general-intellect-common-sense
[19] Boutang, Cognitive
[20] Boutang, Cognitive
[21] Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of Prisons, trans. Allan Sheridan (London: Penguin Books, 1995)
[22] Tarli Nugroho & Andre Barahamin, “Regarding Research and Our Higher Education” dalam ASEAN Classroom Program (ACP) Faculty of Education, Maharakham University, Thailand(Maharakham: Mahasarakham University, September 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar