Menunggu
Drone Presiden Jokowi
Muhadjir Effendy ; Guru
Besar Universitas Negeri Malang;
Menulis disertasi soal militer
|
JAWA
POS, 04 Februari 2015
AWAL pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo
(Jokowi) ditandai gencarnya penyergapan terhadap para pencuri ikan,
dilanjutkan dengan upacara pembakaran dan penenggelaman kapal mereka. Akhir
2014 ditutup dengan kecelakaan pesawat terbang AirAsia QZ8501 di Selat
Karimata. Awal 2015 BNN berhasil membongkar penyelundupan 800 kg sabu-sabu
melalui laut oleh sindikat internasional.
Kita jadi ingat janji kampanye Presiden Jokowi yang akan
menggunakan drone atau pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicles) untuk
mengamankan wilayah laut RI. Apa mungkin akan banyak kapal pencuri ikan yang
berskala besar dan canggih –bukan pencuri tradisional– yang bisa disergap?
Apa mungkin pencarian dan penyelamatan atas korban AirAsia bisa lebih
berhasil dilakukan? Apa mungkin sebagian besar penyelundupan lewat jalur laut
bisa ditanggulangi?
Kabarnya, saat ini sudah ada drone idaman. Yaitu Global
Hawk,bikinan perusahaan Northrop Grumman, AS. Nama lengkapnya RQ-4 Global
Hawk. Varian barunya, MQ-4C Triton,dirancang khusus untuk pengawasan maritim
(maritime surveillance). Angkatan
Laut (AL) AS dikabarkan sudah memesan 68 unit Triton guna melengkapi drone
pemburu kapal selam P-8A Poseidon(Jane’s Defense Weekly, 1 Oktober 2014).
Global Hawk sangat canggih: mampu membuat ringkasan hasil
pengamatannya dengan sistematis dan mengirimkan kepada pusat komando dalam
waktu seketika. Perantinya antara lain mata radar sintetis beresolusi tinggi
(synthetic aperture radar/SAR) dan
sensor jarak jauh optik elektronik/infra merah (electronic-optical/infrared-EO/IR). Ia dapat terbang selama 30
jam tanpa henti serta mampu mengamati wilayah seluas 100.000 km persegidalam
sehari. Harganya sekitar Rp 4,3 triliun per unit. Presiden bermaksud membeli
tiga buah.
Keterbatasan
Dalam perspektif kemaritiman, Indonesia memang paling unik
di dunia. Dari 5.180.053 km persegi wilayahnya, daratannya hanya 1.922.570 km
persegi. Sisanya, sekitar 70 persen, berupa laut. Terdiri atas 17.000 pulau
lebih sehingga memiliki garis pantai terpanjang di dunia, yaitu 81.000 km.
Atau 14 persen dari garis pantai dunia. Memiliki batas laut dengan sepuluh
negara (tabloid Diplomasi, 16 Oktober
2011).
Cukup alasan bila Jokowi memilih pembangunan maritim
sebagai faktor pembeda dirinya dengan presiden-presiden sebelumnya. Namun,
dengan drone tak lantas masalah
kedaulatan dan penegakan hukum di wilayah laut RI tuntas. Drone sebatas
membantu tugas pengawasan, mengumpulkan dan mengirim informasi yang akurat
dan seketika.
Info penting itu akan sia-sia kalau kekuatan operator di
medan laut lemah. Agar kinerja drone
bisa maksimal, sepadan dengan harga dan biaya operasionalnya yang sangat
mahal (per jam terbang hingga USD 32 ribu), harus dibarengi peningkatan
kekuatan laut, terkhusus TNI-AL.
Pasal 9 UU 34/2004 tentang TNI menyatakan, TNI-AL tidak
hanya melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan, tetapi juga
tugas polisional, yakni menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah
laut. Seperti apa pun Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang akan dibentuk,
sesuai amanat pasal 59 ayat 3 UU 32/2014 tentang Kelautan, TNI-AL akan tetap
menjadi bagian terpenting dan tulang punggungnya.
Green-Water Navy
Desain kekuatan TNI-AL kita di dalam istilah nondoktrinal
disebut green-water navy. Yaitu sebuah kekuatan AL yang dirancang untuk
beroperasi di dalam perairan suatu negara, namun memiliki kemampuan
beroperasi di laut terbuka di sekitar negara itu. Berbeda dengan blue-water navy, yaitu kekuatan AL
yang mampu beroperasi di perairan dalam dan laut bebas ala negara-negara yang
berambisi menjadi penguasa di laut bebas.
Perkembangan geostrategis kawasan saat ini, serta rencana
strategis Indonesia di sektor maritim, mengharuskan desain TNI-AL sebagai green-water navy perlu dikaji lagi.
Sebagai bandingan, India, misalnya, sebagai salah satu negara yang memiliki
batas laut dengan Indonesia sedang membangun kekuatan blue-water menyusul Tiongkok dan Jepang. Agaknya, kehadiran AL
Tiongkok di lautan India mulai mengusik New Delhi. India dan Tiongkok juga
berlomba memperkuat kehadirannya di kawasan strategis Selat Malaka. Sebanyak
40 persen perdagangan dunia serta 80 persen impor minyak Tiongkok melewati
selat ini (The South Asia Channel, 4
Agustus 2014).
Mulai 2013 India mengoperasikan kapal pengangkut pesawat
dengan kapasitas besar, yaitu INS Vikramaditya (45.400 ton). Kapal induk itu
dapat mengangkut 36 pesawat, termasuk 30 pesawat tempur MiG-29K multi-role fighters. Korsel juga telah memodifikasi kapal
pengangkut helikopter (landing platform
helicopter/LPH) kelas Dokdo sehingga mampu mengangkut pesawat tempur yang
dapat lepas landas dan mendarat secara vertikal (vertical take-off and landing/VTOL). Pada 2036 AL Korea Selatan
diproyeksikan menjadi kekuatan blue-water dengan menambah dua kapal
pengangkut pesawat berbobot 30.000 ton (DefenseNews.com,
26 Oktober 2013).
Mau tak mau, TNI-AL harus meningkatkan kekuatannya. Antara
lain, perlu dipersenjatai dengan kapal pengangkut pesawat tempur (aircraft carrier).Tidak harus kapal
sebesar INS Vikramaditya. Cukup dengan kapal pengangkut-pesawat ringan (light aircraft carrier) yang bisa
digerakkan ke penjuru laut Indonesia dengan relatif cepat. Barangkali
tipologi yang cocok adalah kapal pengangkut pesawat Juan Carlos I milik
Spanyol, yang berbobot 26.000 ton. Mampu menampung 900 personel, 40 lebih
kendaraan amfibi, termasuk tank Leopard 2E, dan 12 pesawat tempur Harrier II serta
beberapa helikopter. Indonesia, dengan PT PAL-nya (kerja sama dengan Daesun Shipbuilding & Engineering Co
Korsel), telah mampu membuat kapal
landing platform dock kelas dunia. Hal itu bisa jadi modal untuk
membangun light aircraft carrier
sendiri.
Selain belanja alutsista, yang sama sekali tidak boleh
ditinggalkan adalah adanya skema kerja sama riset dan alih teknologi. Dan
dari pengalaman beberapa negara maju, manfaat riset di bidang teknologi
militer serta pembangunan industri pertahanan akan menimbulkan efek melimpah
(spillover effect) bagi kemajuan
industri dan teknologi sipil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar