Memberantas
Korupsi di Daerah
Marwan Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
|
KOMPAS,
04 Februari 2015
GEGER KPK versus Polri tidak boleh
mengendurkan upaya pemberantasan korupsi di daerah. Pasal 19 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan, ”KPK dapat
membentuk perwakilan di daerah provinsi”. Inilah dasar hukum pembukaan
perwakilan KPK di provinsi sebagai perpanjangan tangan melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Perilaku korupsi memang sudah merambah ke daerah, bahkan sampai
ke pedesaan.
Sebaran korupsi telah mematikan
nalar penyelenggara negara dalam memandang keuangan negara sebagai milik
rakyat yang harus dijaga. Nyaris tidak ada tempat dan waktu yang steril dari
keinginan menyalahgunakan wewenang atau perbuatan melawan hukum bagi pejabat
di daerah.
Berdasarkan catatan Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) pada Februari 2014, 318 kepala daerah terjerat
korupsi. Menjelang akhir tahun, jumlah itu meningkat menjadi 339 kepala
daerah terlibat kasus korupsi.
Tercatat juga 1.221 aparat sipil
negara terlibat kasus korupsi, sedangkan anggota DPRD provinsi dan
kabupaten/kota di berbagai daerah yang terjerat korupsi 3.169 orang. Sungguh
suatu jumlah yang fantastis.
Jangan setengah hati
Namun, sebelum gagasan itu
kesampaian, sejumlah pihak sudah menolak. Wakil Ketua DPR memandangnya tidak
perlu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mempertanyakannya, bahkan ada lembaga anti
korupsi dan aktivis yang juga menganggap tidak perlu.
Cukup beragam alasannya, ada yang
menilai memberatkan anggaran negara karena butuh biaya besar untuk
operasionalnya, ada yang menilai bisa membuat kepolisian dan kejaksaan di
daerah merasa tersaingi, ada pula yang meragukan integritas dan keberanian
personel KPK di daerah.
Alasan terakhir itu cukup wajar
didiskusikan sebab menemukan sosok yang betul-betul berintegritas dan berani
mengungkap kasus korupsi pejabat di daerah tidak semudah membalik telapak
tangan.
Perlu dikaji secara mendalam agar
daya pukul KPK yang selama ini dipercaya publik tidak justru melahirkan
persoalan baru. Misalnya, perlu pengawasan ketat dan mencari sosok yang
betul-betul berani melawan jejaring korupsi di daerah. Jika personel
perwakilan hanya punya nyali seadanya, bukan tidak mungkin
akan menjadi
barang mainan pejabat di daerah.
Kekhawatiran banyak kalangan itu
harus diantisipasi KPK, juga didukung secara penuh oleh pemerintah daerah,
kepolisian dan kejaksaan, serta para aktivis dan kampus. Apalagi ketentuan
Pasal 19 Ayat (2) UU KPK menyebut ”dapat” membentuk perwakilan di daerah
provinsi, yang berarti tidak harus ada.
Namun, melihat betapa sistematis
dan masifnya korupsi di daerah, gagasan KPK perlu diapresiasi dan disambut
baik. Paling tidak bisa membuat pejabat daerah yang secara terselubung
bercita-cita melakukan korupsi kelimpungan.
Lebih dari itu, pemerintahan
Jokowi-JK menempatkan pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas yang
tidak boleh dilakukan setengah hati.
Menghadirkan perwakilan KPK di
provinsi tidak boleh secara membabi-buta dipertentangkan dengan upaya penghematan
anggaran negara. Sebab, anggaran negara yang dikorupsi malah jauh lebih besar
sehingga perlu ada pengawasan, pencegahan, dan penindakan yang lebih efektif.
Kehadiran perwakilan KPK di daerah
bisa lebih mendorong kepolisian dan kejaksaan untuk meningkatkan
profesionalitas dan keberanian untuk bersinergi secara sehat mencegah dan
memburu para pencuri uang rakyat.
Pentingnya pencegahan
Kode etik KPK yang memegang
prinsip ”zero toleran” atau tidak ada kesalahan sedikit pun yang boleh
ditoleransi—sehingga pelanggaran sekecil apa pun harus dipecat—bisa menjadi
garansi bagi personel perwakilan.
Korupsi dengan modus suap dan
gratifikasi dalam mengeluarkan perizinan atau bersekongkol dengan pengusaha
hitam menjadi fakta urgen keberadaan tangan yang kokoh, mata yang tajam, dan
telinga yang awas dari KPK di berbagai daerah yang korupsinya punya tren
meningkat.
Belitan korupsi dengan
menyalahgunakan kewenangan yang ada dalam genggaman penyelenggara negara di
daerah merupakan komoditas yang dapat dibisniskan. Apalagi, sampai kini,
secara realitas kepolisian dan kejaksaan belum efektif dan efisien dalam
memberantas korupsi.
Di situlah peran perwakilan KPK di
daerah untuk memotivasi dan memperkuat kepolisian dan kejaksaan dalam
memerangi kejahatan luar biasa itu.
KPK tidak boleh selamanya menjadi
institusi dan aktor tunggal dalam pemberantasan korupsi. Kasus suap dan
gratifikasi di kabupaten/kota seharusnya bisa ditangani kepolisian dan
kejaksaan. Akan tetapi, lantaran belum efektif, KPK pun ikut mengurusnya.
Oleh karena itu, tugas koordinasi
dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
korupsi, serta pencegahan dan monitoring terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara, seperti diatur dalam Pasal 6 UU KPK, harus menjadi
perhatian serius. Bukan hanya melulu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
Memasuki tahun 2015, pola
pemberantasan korupsi perlu diformulasi. Tidak semata menangkapi pelaku,
tetapi yang juga penting adalah memperkuat upaya pencegahan agar tidak lahir
calon koruptor baru atau terjadi regenerasi koruptor. Termasuk memperkuat
kepolisian dan kejaksaan yang memiliki jaringan sampai kecamatan (kepolisian
sektor). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar