Mobil
Proton dan Misteri Hendropriyono
Tjipta Lesmana ; Pengamat
Politik
|
KORAN
SINDO, 10 Februari 2015
Forum Hari Pers Nasional (HPN) di Batam, 9 Februari 2015,
tiba-tiba dipanaskan perbincangan mengenai penandatanganan kerja sama
perusahaan mobil Proton dan perusahaan Indonesia yang dipimpin oleh mantan
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (purn) Hendropriyono.
HPN sendiri diikuti oleh lebih dari 300 insan pers dari
Sabang sampai Merauke. Di hampir setiap ruangan–dari restoran, kafe, lobi
hingga lorong-lorong kamar Hotel Harmoni One, semua berbicara tentang
peristiwa yang mengejutkan itu. Di mana pun saya berada, mereka selalu
melemparkan satu pertanyaan kepada saya: Ada
apa dengan kerja sama antara Proton dengan Hendro?
Pertanyaan ini muncul karena beberapa sebab: Pertama,
peristiwa penandatanganan betul-betul mengejutkan, tampaknya dirahasiakan
sebelumnya secara ketat sehingga tidak bocor ke media massa. Artinya,
hari-hari sebelumnya nyaris tidak ada media yang melansir berita ini.
Kedua, sosok Hendropriyono yang memang kontroversial dan
belakangan kerap jadi berita hangat di media massa, termasuk media sosial.
Kontroversi itu, antara lain, karena seringnya Hendro menghadap Presiden
Jokowi di Istana. Presiden kerap meminta saran dan masukan dari Hendro
terkait berbagai isu nasional yang “panas”, khususnya isu Budi Gunawan. Semua
orang tahu betapa dekatnya hubungan antara Hendro dengan Presiden Jokowi.
Ketiga, Hendro sejauh ini kurang dikenal di kalangan
pebisnis automotif.
Bahkan, Gaikindo sendiri tidak pernah dengar nama
perusahaan yang dikomandoi Hendro yang bekerja sama dengan Proton dari
Malaysia itu. Malah, nama perusahaan itu dikabarkan “tidak terdaftar” di
Kementerian Perdagangan. Memang Hendro pernah duduk sebagai salah satu
komisaris, atau mungkin juga presiden komisaris PT KIA Indonesia. Tapi
beberapa tahun kemudian dia mengundurkan diri.
Keempat, semua orang bertanya: Kenapa Indonesia mau bikin
mobnas bekerja sama dengan Proton? Bukankah Proton mobil yang tidak laku di
Indonesia? Bahkan, di Malaysia sendiri pasarnya semakin merosot. Kabarnya 50%
kandungan Proton yang dibuat di Indonesia berasal dari Indonesia. Lha, mobil
merek lain eks Jepang sudah mencapai kandungan komponen lokal sampai 80%.
Lalu, Proton sendiri belum bisa mengklaim mobil buatan
Malaysia. Masih 50% komponennya buatan Jepang. Bagaimana Malaysia bisa transfer of technology kalau masih 50%
komponen Proton “dikuasai” oleh Jepang? Masyarakat bingung kenapa kalau
memang pemerintah serius mau bikin mobil nasional, kenapa bukan gandeng
dengan prinsipal yang jauh lebih bagus mobilnya dan laris di Indonesia?
Juga dipertanyakan kenapa Presiden Jokowi harus jadi saksi
penandatanganan kerja sama ini. Bukankah Proton itu milik pemerintah Malaysia
dengan status BUMN, sedangkan perusahaan yang dipimpin oleh Hendro swasta
murni? Jadi, menteri perindustrian kita keliru ketika mengatakan ini kerja
sama B to B (business to business),
yang betul adalah kerja sama G to P (government
to private sector).
Begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para insan
pers, sehingga muncul pemikiran untuk menggelar satu seminar khusus yang
membahas soal proyek mobil nasional versi Proton ini. Artinya banyak misteri
di balik kerja sama ini! Karena banyak misteri maka muncullah macam-macam
rumor.
Rumor yang pertama, perusahaan milik Hendro pasti nanti
akan minta bantuan pada Presiden Jokowi, bantuan keringanan bea masuk, atau
mungkin bea masuk nol persen. Rumor kedua, nanti semua instansi pemerintah
diwajibkan menggunakan “mobnas” produksi Proton di Indonesia itu, sebab orang
swasta kemungkinan sedikit yang mau beli mobil Proton. Lha, sekarang saja
pasar Proton di Indonesia sangat kecil, kalah telak dihajar oleh mobil-mobil
eks Jepang dan Korea.
Menurut Rizal Ramli, mantan menko perekonomian era
perintah Gus Dur, Proton Indonesia dikhawatirkan mengikuti pola Timor era
Soeharto. Yaitu Timor diimpor bulat-bulat dari Korea, dan pemerintah
membebaskan bea masuk sepenuhnya. Namun pada akhirnya, masyarakat tahu
bagaimana kualitas Timor sehingga proyek mobnas itu gagal total.
Yang juga dipertanyakan para wartawan kenapa
penandatanganan kerja sama ini terjadi ketika suasana kebatinan hubungan
RI-Malaysia sebenarnya sedang “hangat” gara-gara muncul iklan Malaysia yang
bernuansa bangsa Indonesia, terkait dengan TKI yang bekerja di Malaysia.
Iklan itu seakan-akan melecehkan kualitas pembantu Indonesia.
Perhatikan reaksi media Indonesia, khususnya media sosial,
yang marah besar terhadap iklan Malaysia itu yang menghina PRT kita! Dalam
suasana hubungan bilateral RI-Malaysia yang begitu tidak kondusif, kenapa
kita menandatangani kerja sama pembuatan Proton di Indonesia? Peristiwa
penandatanganan itu seolah-olah menampar muka bangsa kita sendiri; seolah-olah
kita melupakan iklan Malaysia tadi, bahkan langsung merangkul Malaysia.
Dalam konteks ilmu komunikasi, timing peristiwa penandatanganan kerja sama itu sangat tidak
tepat. Ingat ilmu komunikasi mengajarkan bahwa tindak komunikasi juga harus memperhatikan
momen atau timing. Jika momennya
jelek, komunikasi akan tidak efektif, biarpun pesan komunikasi bagus.
Lepas dari semua “misteri” itu, isu mobil nasional sendiri
sementara tidak laku di Indonesia, karena masyarakat sudah apriori gara-gara
proyek mobnas yang gagal beberapa kali sebelumnya. Pemerintah Indonesia
memang tidak pernah serius untuk bikin mobil made-in Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar