Berdiri
Bersama Memberantas Korupsi
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar
Ilmu Hukum;
Ketua PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
|
KOMPAS,
11 Februari 2015
Malam, 3 Februari 2015, sebuah pesan pendek dari Ahmad
Syafii ”Buya” Maarif masuk pukul 19.28. Isinya singkat, ”Baru Presiden telepon saya; BG tidak akan dilantik, cari waktu yang
tepat. Mohon disampaikan kepada teman-teman. Trims. Maarif.”
Simpel, tetapi kuat kesannya. Pesan itulah yang kemudian
secara cepat menjalar, beredar luas dan akhirnya menjadi salah satu polemik
keesokan paginya.
Beberapa hari terakhir, barangkali itulah salah satu pesan
yang ditunggu publik. Pesan yang menyiratkan kepastian penolakan Presiden
Joko Widodo atas pencalonan seorang tersangka menjadi Kapolri. Kepastian yang
entah akan menguap atau tidak. Dijalankan atau tidak.
Memang, tindakan dalam ranah kenegaraan, sering kali tak
ada yang pasti kecuali telah memiliki beschikking sebagai bentuk formal
keputusan negara akan hal itu. Seperti halnya Tim 9 yang terbentuk, tetapi
tak memiliki keppres, rekomendasinya seperti khotbah di hadapan presiden dan
khalayak. Diikuti atau tidak, terserah pada niat dan pilihan penerima
khotbah.
Akan tetapi, melalui pesan tersebut, sedikit-banyak
seharusnya punya sentimen yang berarti atas pilihan berdiri bersama
pemberantasan korupsi. Setidaknya, Presiden Jokowi telah menegaskan posisi
tidak akan melantik seorang tersangka menjadi kepala penegakan hukum.
Artinya, Presiden telah berjanji berdiri bersama publik menegakkan moralitas
antikorupsi.
Langkah penting
Berikutnya, perlu setidaknya ada tiga langkah lanjutan
yang penting. Pertama, jika BG tak dilantik, muncul pertanyaan lanjutan,
siapa yang akan mengisi pucuk pimpinan kepolisian?
Ini penting karena jika kembali diisi oleh orang yang
bermasalah dan berkeinginan kuat menyelesaikan masalahnya dengan cara
menyerang KPK, serangan terhadap KPK tetaplah bahaya laten. Bahaya potensial
yang bisa muncul setiap saat.
Presiden pada tataran ini harus mau ber-tungkus lumus,
bersungguh-sungguh mencari sosok yang tepat. Orang itu harus tidak tersangkut
berbagai kasus dan dendam lama yang bisa kembali mengaktualkan posisi laten
KPK dan Polri yang berhadap-hadapan.
Presiden harus bersungguh-sungguh membuka rekam jejak
kandidat. Tidak hanya berdasarkan pada satu atau dua lembaga, apalagi lembaga
internal kepolisian yang sangat besar konflik kepentingannya.
Membuka seluas-luasnya ruang masukan adalah sebaik-baiknya
cara untuk mendapatkan orang yang tepat. Hal ini juga demi janji Jokowi saat
kampanye, akan memilih jabatan Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih dan
berintegritas.
Tidak hanya posisi Kapolri. Jabatan-jabatan penting
lain—yang biasanya dan selayaknya sepengetahuan Presiden—juga harus dikontrol
dengan baik. Semisal jabatan Kabareskrim. Presiden tak boleh lagi dikangkangi
dalam pengisian jabatan tersebut. Kebiasaan konstitusional untuk meminta
pandangan dan posisi Presiden untuk jabatan tersebut harus dikedepankan.
Apalagi, Polri langsung di bawah ”ketiak” Presiden.
Kedua, Presiden Jokowi masih berhadapan dengan kebutuhan
untuk menyelesaikan posisi silang kepolisian yang sedang berhadap-hadapan
dengan KPK. Dan dalam posisi itulah kebijakan seorang kepala negara dan
kepala pemerintahan dibutuhkan. Jokowi harus segera membuat peta jalan agar
posisi berhadap-hadapan ini berakhir dan tak perlu menjadi laten
lagi.
Jika pilihan pertama lebih bersifat individual mengganti
orang, yang kedua ini haruslah dalam kerangka yang lebih institusional dan
operasional.
Reformasi di tubuh Polri sudah menjadi keniscayaan. Sekian
lama kata sakti ini didengungkan, tetapi tak kunjung direalisasikan. Telah
ada berbagai dokumen peta jalan dan pemikiran untuk membantu menghela
reformasi di tubuh Polri, tetapi hingga kini masih ditumpuk di meja tidak
dijalankan. Presiden Jokowi harus mulai mendorong kepolisian untuk
memperbaiki peningkatan performa kepolisian.
Pastikan KPK berjalan
Begitu juga terhadap KPK. Presiden selayaknya mengambil
langkah-langkah untuk memastikan kerja KPK tidak terganggu oleh tindakan yang
tak perlu. Meski intervensi Presiden ke KPK terbatas mengingat komisi negara
ini independen, Presiden sangat mungkin membuat perubahan terbatas atas UU
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketiga, dalam hal perubahan terbatas atas UU KPK, Presiden
berkesempatan mengambil langkah penting untuk menyelamatkan KPK dan
pemberantasan korupsi. Gejala semua pimpinan KPK segera dijadikan tersangka
menunjukkan, KPK akan dilumpuhkan. Jelas, tanpa komisioner KPK tak akan bisa
bertindak karena putusan tindakan hukum ada pada komisioner KPK, bukan pada
pegawai lainnya.
KPK yang lumpuh hanya menguntungkan para koruptor. Karena
itu, Presiden dapat bertindak cepat. Ide yang berkembang, misalnya, adalah
mendorong perppu untuk menunjuk pelaksana tugas sementara komisioner KPK. Ide
ini tentu saja akan mendatangkan penolakan besar, seperti zaman Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang ditolak oleh DPR.
Apalagi, ide menunjuk pelaksana tugas tak ada aturannya di
UU KPK. Memberikan wewenang serupa dengan komisioner biasa juga bisa merusak
doktrin pelaksana tugas yang biasanya memiliki keterbatasan wilayah
kewenangan.
Jika pun mendorong perppu, pilihan yang bijak tentu saja
adalah melakukan percepatan seleksi atau dapat juga menunjuk Busyro Muqoddas
dan Robby Arya Brata, kandidat yang telah terseleksi, tetapi masih menunggu
uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Pengangkatan mereka untuk sementara waktu
hingga proses seleksi kelima penggantian kelima komisioner secara bersamaan
di akhir tahun, akan lebih mulus dibandingkan dengan menunjuk orang luar yang
tiba-tiba masuk ke KPK.
Bahkan, jika dalam kondisi mendesak, perppu percepatan
seleksi komisioner KPK masih lebih menarik daripada mendorong model pelaksana
tugas untuk jabatan komisioner KPK.
Masih dalam kerangka mendorong perlindungan atas KPK,
pemikiran untuk menerbitkan aturan perlindungan atas pekerja pemberantasan
korupsi juga menjadi besar. Langkah ini tak menunjukkan pelanggaran atas apa
pun. Secara peraturan perundang-undangan, konsep kewajiban negara untuk
melindungi pekerjaan pemberantasan korupsi ada dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah
diratifikasi Indonesia menjadi Undang-Undang Nomot 7 Tahun 2006.
Konsep perlindungan yang sama juga ada di berbagai UU,
semisal UU Ombudsman untuk melindungi kerja-kerja para komisioner di lembaga
seperti Ombudsman. Hal-hal yang artinya akan menambah daya perlindungan atas
penegakan hukum dan anti korupsi.
Semua itu akan mewujudkan janji Presiden untuk mendukung
dan menguatkan KPK, memberantas korupsi, dan tentu saja untuk berdiri bersama
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Janji yang saat ini menunggu untuk
dilaksanakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar