Jokowi
dan Jebakan Kepentingan
Fathorrahman Ghufron ; Dosen
Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, A’wan
Syuriyah PWNU Yogyakarta
|
KOMPAS,
11 Februari 2015
MASA kepemerintahan Joko Widodo
sudah memasuki 100 hari. Dalam rentang waktu ini, ada titik rentan yang
terkait dengan pos kekuasaan karena diisi oleh orang-orang yang tidak sesuai
dengan harapan publik. Mulai dari komposisi kabinet, penunjukan Budi Gunawan
sebagai calon kepala Polri tunggal, hingga komposisi Dewan Pertimbangan
Presiden.
Puncaknya adalah pengajuan nama
Budi Gunawan sebagai calon tunggal kepala Polri. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang mencoba mengingatkan Jokowi bahwa jejak rekam Budi Gunawan
tersandung masalah korupsi malah berujung pada penangkapan Bambang Widjojanto
dan penuntutan pimpinan KPK dengan pasal-pasal lama yang nyaris di luar nalar
sehat.
Lebih celaka lagi, dalam menyikapi
”perseteruan” yang menggelinding bak bola salju ini, orang-orang di lingkaran
Jokowi menambah runcing keadaan. Misalnya dengan pernyataan pendukung KPK
adalah masyarakat tidak jelas, demagog, politik balas dendam, dan semacamnya.
Jelas emosi masyarakat bergolak
dan mereka mempertanyakan sikap kenegarawanan Jokowi sebagai Presiden yang
sangat diharapkan keberpihakannya kepada suara rakyat (vox populi).
Pertanyaannya, mengapa Jokowi
sedemikian lemah? Bukankah netralitas dan profesionalitas menjadi salah satu
adagium utama Jokowi saat mencalonkan diri sebagai presiden? Di manakah dream
teamJokowi yang dijanjikan sebagai penggerak 9 program Nawa Cita yang
berspiritkan Tri Sakti agar revolusi mental bisa terlaksana?
Apa boleh buat. Saat ini banyak
rakyat kecewa karena postur kekuasaan Jokowi jauh panggang dari api. Namun,
semarah-marahnya rakyat, sebenarnya masih ada harapan bahwa Jokowi akan
merumuskan hak prerogatifnya secara mandiri. Apalagi, banyak partai pendukung
yang memanfaatkan ”keluguan” Jokowi di pentas perpolitikan.
Lalu, seberapa jauh Jokowi mampu
menyadari centang-perenang kekuasaan di masa pemerintahannya? Akankah suasana
balas budi politik selalu menjadi alasan melahirkan postur kekuasaan?
Pada titik inilah refleksi kritis
perlu kami sampaikan agar niat baik Jokowi untuk mengubah keadaan rakyat
Indonesia ke arah lebih maju tidak tersandera oleh partai-partai
pendukungnya.
Jebakan kepentingan
Di awal Jokowi menjadi presiden,
komposisi penghalau kebijakan dan kewenangan pengaturan kekuasaan bisa jadi
hanya berasal dari Koalisi Merah Putih. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa
partai pendukung pun bisa menjadi batu sandungan Jokowi dalam menetapkan
program kepemerintahan ataupun pelaksananya.
Betapa tidak, Jokowi yang sejak
awal belum menunjukkan figur aslinya sebagai pemimpin berparadigma horizontal
selalu dikendalikan petinggi partai Koalisi Indonesia Hebat. Bukan tidak
mungkin berbagai pihak yang sejak awal tidak mendukung Jokowi kian
mempercanggih move politiknya dan memperkeruh suasana.
Bukan tidak mungkin pula, dalam
suasana keruh, kelompok pendukung dan penentang Jokowi akan ”berselingkuh”
dan menerapkan pendekatan ”seolah-olah” yang serba kamuflase. Pada titik ini,
posisi Jokowi akan menjadi musuh bersama yang diharapkan redup agar bisa
digulingkan.
Kepentingan menjadi semacam
realitas sosial yang terbangun dari interaksi berbagai pihak yang memberikan
kesepakatan tentang sebuah keuntungan yang hendak dilakukan. Keuntungan
menjadi interval lanjutan dari sebuah kepentingan yang diperjuangkan. Melalui
rasionalitas instrumental—meminjam istilah Max Weber—kepentingan memperoleh
keuntungan menjadi cara terbaik untuk mencapai tujuan melalui tindakan yang
paling efisien.
Bangkitlah Jokowi
Ketika Tim Independen yang
diketuai Buya Syafii Maarif melansir pernyataan bahwa penunjukan Budi Gunawan
bukan keinginan Jokowi, kecurigaan publik semakin terbukti bahwa pengisian
berbagai elemen kekuasaan di masa pemerintahannya di bawah skenario beberapa
figur kuat partai pendukungnya.
Dalam kaitan ini, apa yang
direkomendasikan Tim Independen agar Jokowi tidak tunduk kepada partai apa
pun, tetapi harus mengutamakan kepentingan rakyat, menjadi peluang besar
Jokowi untuk berbenah.
Setidaknya suasana kisruh selama
100 hari kekuasaannya menjadi pelajaran berharga bahwa manakala
independensinya sebagai presiden tunduk di bawah partai, nama baik Jokowi
yang sudah dikonstruksi sebagai satria piningit, pembawa harapan, akan
tergilas oleh vested interest.
Dengan kata lain, merujuk pada
pemikiran J Kristiadi dalam tulisan ”Kuasa Lingga Merajah Negara” (Kompas,
27/1/2015), apabila Jokowi menyerah kepada kendali patronase politik, ia
adalah presiden yang diperlakukan sebagai boneka politik.
Namun, apabila Jokowi tunduk
kepada konstitusi dan kehendak rakyat, maka Jokowi harus berjuang
habis-habisan bersama rakyat mengukir Indonesia yang maju, adil makmur, dan
berkeadilan.
Maka, gegernya KPK yang
dikriminalisasi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab harus dibaca sebagai
blessing in disguise di pengujung 100 hari kekuasaan Jokowi. Dari peristiwa
ini, Jokowi harus semakin sadar bahwa rakyat tidak rela jika kewenangannya
sebagai presiden dicabik oleh kesewenangan segelintir pengurus partai.
Rakyat masih merindukan
keotentikan sikap Jokowi yang tangkas, lugas, tegas, dan supel dalam
menjalankan tugas kepemerintahannya dalam lima tahun mendatang.
Maka, Waspadalah Jokowi! Intrik
kekuasaan tidak hanya terjadi karena niat pelakunya, tetapi juga karena
adanya kesempatan yang dibiarkan tumbuh menjadi jebakan kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar