Perlu
Rebranding Perguruan Tinggi Agama
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel;
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
|
JAWA
POS, 04 Februari 2015
MASYARAKAT umumnya mengenal perguruan tinggi agama Islam
(PTAI) negeri dan swasta sebagai institusi pendidikan yang secara spesifik
mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Kesan itu jelas tidak salah. Kesan tersebut
muncul karena disiplin ilmu yang dikembangkan PTAI pada mulanya hanya
Alquran, hadis, tafsir, teologi, filsafat, fikih, tasawuf, sejarah, dakwah,
dan pendidikan.
Tetapi, sejak awal 2000-an, beberapa PTAI membuka program
studi (prodi) umum. Misalnya, bahasa Inggris, komunikasi, psikologi,
sosiologi, ekonomi, politik, matematika, sains, teknik, bahkan kedokteran.
Diversifikasi prodi itu bertujuan merespons persaingan antar perguruan tinggi
yang kian kompetitif.
Strategi itu ternyata mampu mendongkrak minat masyarakat
untuk belajar di PTAI. Seiring dengan pembukaan prodi-prodi umum itulah,
sejumlah PTAI beralih status menjadi universitas. Alih status dari institut
menjadi universitas juga bertujuan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu,
khususnya integrasi ilmu agama dan ilmu umum.
Hingga kini, kajian ilmu agama dan ilmu umum dilakukan
secara terpisah (separated).
Penyelenggara pendidikan nasional juga terbelah menjadi dua, yaitu
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama
(Kemenag). Dampaknya, terjadi ketimpangan mutu pendidikan karena perbedaan
sumber daya dan penganggaran.
Bukan hanya itu, disiplin ilmu yang dikembangkan dua
kementerian tersebut juga jarang ’’bertegur sapa’’. Produk keilmuan yang
dihasilkan pun bersifat parsial.Dengan menjadikan kajian ilmu agama dan ilmu
umum dalam satu institusi, diharapkan terwujud pendekatan yang saling
terintegrasi (integrated approach).
Pendekatan integratif itu penting agar produk keilmuan memiliki basis nilai
moral keagamaan.
Harus diakui bahwa perubahan kelembagaan dari institut
menjadi universitas menyisakan persoalan. Mereka yang mendukung lebih melihat
pada tantangan yang dihadapi PTAI dalam konteks kekinian. Apalagi, realitas
menunjukkan bahwa peminat prodi ilmu agama terus menurun. Karena itulah,
perubahan kelembagaan dari institut ke universitas menjadi pilihan.
Sementara itu, mereka yang menolak menyatakan bahwa perubahan
tersebut pada saatnya mengakibatkan marginalisasi prodi ilmu agama yang sudah
menjadi core of competence PTAI. Jika prodi ilmu agama terpinggirkan,
pertanyaannya, institusi pendidikan mana yang akan memproduksi ulama?
Pertanyaan itulah yang mendasari keinginan agar PTAI tetap berkomitmen
mengembangkan ilmu agama.
Seiring dengan adanya pergeseran minat masyarakat, PTAI
harus berbenah. Salah satu yang harus dilakukan adalah rebranding
(memperbarui merek atau label) prodi ilmu agama. Dalam ilmu pemasaran,rebranding
sangat penting. Dikatakan bahwa jika suatu produk, termasuk pendidikan, ingin
diminati pelanggan, yang harus dilakukan ialah memperjelas branding.
Pemberian labelitu sangat erat berkaitan dengan profil
lulusan. Karena itu, harus ditentukan profil lulusan yang diimpikan PTAI.
Misalnya, lulusan PTAI adalah ahli ilmu agama, berakhlak mulia, terampil
berbahasa internasional, serta mampu membaca dan memahami Alquran. Jika
lulusan yang dihasilkan seperti itu, rasanya tidak ada yang perlu diragukan.
Lulusan PTAI pasti individu yang bermutu sehingga berdaya saing.
Selain itu, PTAI harus menjadi pusat kajian ilmu-ilmu
keislaman (center of Islamic studies).
Itu berarti PTAI harus menjadikan prodi ilmu agama sebagai yang terutama.
Kondisi bangsa yang dirundung masalah moralitas dan integritas jelas
membutuhkan sumbangsih civitas academica PTAI. Sebut saja, misalnya,
persoalan korupsi yang kian marak. Begitu juga, persoalan radikalisme
bernuansa agama yang terus bermetamorfosis. Dalam kaitan itu, penting
ditanyakan, apa kontribusi civitas academica PTAI untuk mengatasi persoalan
tersebut?
Selain menentukan branding,
PTAI harus jeli melihat pelanggan (customer)
dan pengguna lulusan (user). Secara konvensional dapat dikatakan bahwa
peminat PTAI adalah lulusan lembaga pendidikan Islam, misalnya madrasah dan
pesantren. Itu berarti harus ada kerja sama yang sinergis PTAI dengan
madrasah dan pesantren. Tetapi, harus diakui, kini lebih banyak lulusan
madrasah dan pesantren mengambil prodi ilmu umum bila dibandingkan dengan
prodi ilmu agama.
Mengenai pengguna lulusan, memang sulit dijawab. Itu
terjadi PTAI belummempersiapkan lulusannyasecara serius. Akibatnya, lulusan
PTAI tidak memiliki kecakapan minimal yang dibutuhkan agar dapat bersaing.
Itulah tantangan terbesar PTAI. Pimpinan PTAI harus menyadari bahwa
pendidikan itu tidak sekadar transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga berkaitan
dengan usaha menyiapkan generasi yang siap menghadapi problem dalam
kehidupan.
Karena itu, penting direnungkan pernyataan guru marketing dunia, Hermawan Kartajaya.
Menurut dia, setiap penjual produk harus memahami hubungan positioning, differentiation, dan branding (PDB). Hubungan PDB itu
berarti bahwa posisi tawar suatu produk akan baik jika memiliki keunggulan
yang berbeda dari yang lain. Menentukan keunggulan yang berbeda itulah yang
disebut diferensiasi.
Dengan menggunakan hukum PDB dalam marketing, PTAI harus
menentukan branding yang benar-benar berbeda. Penentuan branding itu penting agar lulusan PTAI mampu menunjukkan
keunggulan yang berbeda dari lulusan prodi ilmu umum. Selain memperhatikan
kebutuhan user, PTAI harus jeli melihat perguruan tinggi pesaing (competitor).
Kejelian menangkap kebutuhan user dan keunggulan competitor
penting untuk menentukan kegiatan rebranding
PTAI. Konsekuensinya, PTAI tidak boleh dikelola asal-asalan. PTAI harus
dikelola secara profesional. Hanya dengan cara itulah, PTAI dapat terus eksis
di tengah persaingan di antara pendidikan tinggi yang kian ketat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar