Memanfaatkan
Penurunan Harga Minyak
Sandy Harianto ; Kepala
Program Akuntansi, Prasetiya Mulya Business School
|
KOMPAS,
03 Februari 2015
PADA masa kampanye pemilihan umum
presiden, salah satu topik yang menjadi ”bola panas” bagi calon presiden
adalah isu subsidi BBM. Subsidi BBM yang begitu besar dalam APBN ini disoroti
Bank Dunia dalam laporan Indonesia:
Avoiding The Trap (Mei 2014). Bank Dunia menyarankan penghapusan subsidi
BBM secara bertahap karena beban subsidi BBM Rp 285 triliun pada APBN-P 2014
atau 15 persen dari total belanja negara tahun 2014 dinilai tidak sehat.
Satu bulan setelah dilantik
menjadi Presiden RI, Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi
sehingga harga premium menjadi Rp 8.500 per liter dan solar menjadi Rp 7.500
per liter. Pada 1 Januari 2015, pemerintah memutuskan mencabut subsidi untuk
BBM jenis premium dan membatasi subsidi Rp 1.000 per liter untuk solar, harga
premium turun menjadi Rp 7.600 per liter dan harga solar menjadi Rp 7.250 per
liter. Tidak sampai sebulan, mulai 19 Januari 2015 pemerintah kembali
menurunkan harga premium menjadi Rp 6.600 per liter dan solar Rp 6.400 per
liter.
Ada beberapa faktor yang
melemahkan harga minyak dunia sejak September 2014. Faktor utamanya, menurut
Badan Energi Internasional (IEA), adalah kelebihan pasokan minyak akibat
tingginya tingkat produksi shale oil (minyak serpih) di wilayah Amerika Utara
(AS dan Kanada) sehingga Amerika Serikat selaku pengguna terbesar minyak
dunia mengurangi nilai impor minyak mereka secara signifikan.
Faktor kedua adalah kembali
normalnya tingkat produksi minyak di wilayah konflik/bekas konflik, seperti
Libya, Suriah, dan Irak. Produksi minyak Irak pada 2014 tertinggi di negara
tersebut dalam 35 tahun terakhir.
Faktor ketiga adalah kelesuan
ekonomi dunia akibat belum berakhirnya krisis di Eropa dan Amerika, serta
perlambatan ekonomi Tiongkok.
Faktor keempat adalah keengganan
negara-negara yang tergabung di dalam OPEC, terutama Arab Saudi selaku
produsen terbesar, untuk mengurangi produksi mereka. Dalam pertemuan OPEC
tanggal 27 November 2014, negara-negara OPEC memutuskan untuk tidak
mengurangi jumlah produksi minyak mereka.
Keengganan itu berdasar pengalaman
masa lalu yang menyakitkan. Pada periode 1980-an, saat harga minyak dunia
turun drastis, Arab Saudi setuju untuk mengurangi produksi minyak mereka
hingga 75 persen (dari 10 juta barrel tahun 1980 hingga 2,5 juta barrel tahun
1985). Namun, yang terjadi adalah negara lain meningkatkan produksi sehingga
harga minyak dunia tetap turun, sementara Arab Saudi kehilangan pangsa pasar.
Arab Saudi lalu melancarkan perang harga dengan menjual minyak di bawah 10
dollar AS per barrel.
Segera manfaatkan
Tren rendahnya harga minyak dunia
harus dimanfaatkan Indonesia karena kita tidak pernah tahu kapan tren
pelemahan harga ini akan berakhir. Penghapusan subsidi BBM jenis premium
telah dilakukan pemerintah tanpa gejolak berarti karena tidak terjadi peningkatan
harga BBM saat subsidi tersebut dicabut. Maka, defisit neraca migas selama
tiga tahun terakhir akibat tingginya konsumsi BBM bersubsidi jenis premium
dapat diakhiri.
Dana yang dalam APBN 2015
sebelumnya dialokasikan untuk subsidi dapat dialihkan ke sektor yang lebih
produktif, seperti pembangunan infrastruktur, sebagaimana tercantum dalam
Nawa Cita pemerintahan Jokowi-JK. Nota Keuangan APBN-P 2015 yang diajukan
pemerintah ke DPR juga sudah menunjukkan penurunan defisit transaksi berjalan
dan penambahan alokasi belanja modal pemerintah di sektor produktif, utamanya
untuk meningkatkan kedaulatan pangan, pengembangan energi dan
ketenagalistrikan, kemaritiman dan pariwisata, serta industri.
Rendahnya harga minyak dunia harus
digunakan pemerintah untuk meningkatkan ekspor dari bidang manufaktur dan
mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap ekspor sumber daya mineral dan
komoditas karena penurunan harga minyak dunia cenderung akan diikuti
penurunan harga batubara dan komoditas pertanian, seperti kelapa sawit.
Menurut laporan perekonomian
Indonesia tahun 2013 yang dirilis Bank Indonesia, subsektor transportasi,
peralatan, dan mesin mempunyai ekspor yang relatif tinggi dibandingkan
subsektor lain.
Meskipun demikian, subsektor
tersebut juga mengimpor dengan nilai lebih besar dari nilai ekspornya. Untuk
mengatasinya, kandungan lokal di ketiga subsektor ini harus ditingkatkan
supaya nilai ekspornya melebihi nilai impor.
Subsektor lain yang memiliki
kandungan impor tinggi adalah subsektor industri kimia yang sebagian besar
berujung pada tanaman bahan pangan (pupuk). Guna meningkatkan dan memelihara
kedaulatan pangan, selain membangun dan memperbaiki saluran irigasi, sudah
saatnya pemerintahan Jokowi-JK mengurangi ketergantungan petani terhadap
pupuk kimia yang sebagian besar bahan bakunya diimpor.
Pemerintah juga harus menggunakan
momentum rendahnya harga minyak dunia untuk mempersiapkan sarana guna
mengurangi ketergantungan Indonesia dari impor minyak mentah.
Hal yang dapat dilakukan adalah
mempercepat pembangunan kilang minyak baru, pengembangan energi alternatif
yang potensinya berlimpah di Indonesia, seperti tenaga angin dan tenaga air,
ataupun pengembangan tanaman-tanaman penghasil biofuel, seperti jarak, biji
nyamplung, dan kemiri sunan. Hal ini perlu dilakukan supaya, saat harga
minyak dunia kembali tinggi, Indonesia tidak lagi tersandera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar