Ancaman
Kegagalan Diversifikasi Pangan
Ali Khomsan ; Guru
Besar, Ketua Program S3 Ilmu Gizi FEMA IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Februari 2015
PANGAN adalah kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi sehingga pengabaian hak atas pangan dapat dikategorikan pelanggaran
HAM. Oleh sebab itu, negara wajib menyediakan pangan bagi rakyatnya dengan
harga terjangkau sehingga tujuan akhir berupa terbentuknya masyarakat yang
sehat dapat terwujud.
Pemerintah telah sejak lama
mendistribusikan raskin (beras untuk keluarga miskin) bagi golongan
masyarakat yang ku rang beruntung dari segi ekonomi. Dengan harga hanya
Rp2.000 per kg, raskin telah menyelamatkan jutaan rakyat dari kemungkinan
kurang pangan akibat harga beras normal yang tinggi.
Di lain pihak, pemerintah menghendaki
agar diversifikasi pangan sukses dengan menekan konsumsi beras di tingkat
masyarakat. Itu bagaikan buah simalakama. Ingin konsumsi beras turun dan
digantikan pangan lain, tetapi distribusi raskin mendorong masyarakat untuk
tetap setia mengonsumsi beras. Memang kalau harus memilih apakah menyukseskan
diversifikasi pangan secara menyeluruh atau membantu masyarakat miskin
mengakses beras murah, pilihan yang lebih utama ialah menolong rakyat miskin.
Jika becermin pada negara-negara
lain yang juga merupakan konsumen beras, kita memang layak untuk mengatakan
diversifikasi pangan pokok telah gagal. Mengapa? Rakyat Malaysia dan Jepang
ialah pemakan nasi seperti halnya kita, tetapi mereka hanya mengonsumsi beras
sekitar 60 kg/ kapita/tahun, sementara rakyat kita makan beras 139 kg/kapita/
tahun. Kalau toh kurang dari angka tersebut, masih tetap lebih dari 100
kg/kapita/tahun.
Semangat berdiversifikasi
sebaiknya dibebankan pada rakyat golongan menengah ke atas, bukan untuk
rakyat miskin. Orang-orang dengan tingkat ekonomi tinggi dapat mengurangi
konsumsi beras dan mereka mampu menggeser pola konsumsi pangannya.Sarapan
tidak lagi harus dengan nasi, tetapi diganti dengan sereal. Golongan
masyarakat yang hidup makmur bisa mengonsumsi lauk pauk hewani yang akan
menekan konsumsi beras. Mereka bisa makan buah lebih banyak yang membuat
perut kenyang tanpa harus makan nasi.
Pangan lain nonberas dengan harga
yang mahal lebih sulit diakses orang miskin. Mereka hanya mampu membeli
raskin kemudian makan dengan lauk seadanya. Sulit bagi orang miskin untuk
berdiversifikasi mengonsumsi pangan lain nonberas. Jadi, biarlah rakyat
miskin tetap bisa menikmati raskin dengan harga murah.
Menata pola konsumsi
Selama ini masyarakat memandang
beras dengan citra superior sehingga preferensi terhadap beras jauh
mengungguli preferensi akan jagung, singkong, sagu, dan sebagainya.Selain
itu, ketersediaan beras sepanjang waktu di berbagai wilayah ternyata lebih
baik jika dibandingkan dengan keterse diaan komoditas pangan lainnya.
Teknologi pengolahan beras menjadi nasi sangat simpel dan menghasilkan cita
rasa netral yang tidak membosankan.
Gaung diversifikasi pangan harus
selalu disuarakan agar masyarakat (baca: orang kaya) tidak lagi
berlomba-lomba makan nasi. Keberagaman konsumsi pangan telah masuk Pedoman
Gizi Seimbang yang dicanangkan sejak 1996 oleh Departemen Kesehatan. Oleh
sebab itu, yang harus dilakukan pemerintah ialah perlu terus-menerus
menyosialisasikan pentingnya diversifikasi pangan.
Menata pola konsumsi pangan
masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan. Kurikulum di PAUD (pendidikan
anak usia dini), TK, SD, dan seterusnya harus menekankan tentang
diversifikasi sebagai pangkal hidup sehat. Dengan demikian, pola konsumsi
pangan beragam dapat terinternalisasi dalam benak setiap anak Indonesia, dan
ketika mereka dewasa kelak akan makin mudah bagi seluruh lapisan masyarakat
untuk bersamasama mengurangi konsumsi beras.
Pendekatan dari celah birokrasi
telah dimulai Wali Kota Depok yang meluncurkan program One Day No Rice. Dalam satu minggu dipilih satu hari tertentu,
pada hari tersebut seluruh masyarakat diimbau untuk tidak makan nasi.
Kantinkantin di perkantoran menjual pangan pokok nonberas agar pegawai atau
PNS di siang hari tetap makan, tetapi tanpa nasi. Dampak kebijakan semacam
itu akan cukup signifikan bila munculnya One
Day No Rice berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang kemudian
digaungkan ke seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia.Jadi, diversifikasi
pangan bukan melulu urusannya Kementerian Pertanian atau Kementerian
Kesehatan, melainkan kementerian lain juga bisa menelurkan kebijakan yang
prodiversikasi pangan.
Pola konsumsi pangan yang bermutu
gizi seimbang mensyaratkan perlunya diversifikasi pangan dalam menu
sehari-hari. Pangan yang beraneka ragam sangat penting karena tidak ada satu
jenis pangan pun yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap.
Dengan konsumsi yang beraneka ragam, kekurangan zat gizi dari satu jenis
pangan akan dilengkapi gizi dari pangan lainnya. Pada sisi lain, kesadaran
akan pentingnya konsumsi pangan beraneka ragam menyebabkan ketergantungan
terhadap satu jenis pangan dapat dicegah sehingga akan memantapkan ketahanan
pangan rumah tangga.
Praktik diversifikasi
Masyarakat Gunung Kidul telah
sejak lama mempraktikkan pola makan yang tidak sepenuhnya bergantung pada
beras. Di 1950-an mereka mengonsumsi tiwul yang terbuat dari singkong dan
umbi-umbian lainnya sebagai makanan pokok. Itu dilakukan sebagai akibat
kelangkaan beras dan kemiskinan. Pada awal 1960-an keadaan semakin parah
karena serangan hama tikus yang luar biasa. Hewan pengerat yang menjijikkan
itu menyerbu ladang dan rumah-rumah penduduk sehingga kasus HO (honger oedema) merebak sebagai wujud
terjadinya masalah gizi berat (kelaparan).
Bagaimana kehidupan di Gunung
Kidul saat ini? Keadaan sudah semakin membaik meskipun kemiskinan masih
merupakan masalah yang harus diatasi. Selain kemiskinan, masyarakat Gunung
Kidul akrab dengan kekeringan. Orang men juluki wilayah Gunung Kidul sebagai
batu bertanah untuk menggambarkan tandusnya daerah tersebut.
Pada bulan-bulan panen padi dan
selama masyarakat masih mempunyai persediaan beras, mereka makan nasi seperti
penduduk Indonesia lainnya. Di kala persediaan beras menipis dan memasuki
musim kemarau, penduduk Gunung Kidul mulai mempersiapkan gaplek. Gaplek yang
diolah menjadi tiwul kemudian dicampur dengan nasi menjadi sega uleng. Inilah makanan pokok masyarakat
Gunung Kidul di musim paceklik. Untuk menghindari gaplek dari serangan kutu,
masyarakat membuat gogik atau tiwul
yang dikeringkan dan tahan berbulan-bulan.
Apakah rakyat Gunung Kidul sedang
mempraktikkan diversifikasi pangan pokok? Apakah mereka menanggapi seruan
pemerintah tentang perlunya mengurangi tekanan terhadap beras melalui
penganekaragaman konsumsi? Kalau penduduk Gunung Kidul berdiversifikasi
pangan pokok, jelas bahwa hal itu dilakukan bukan dalam rangka menyukseskan
program pemerintah. Mereka mengonsumsi campuran nasi dan tiwul karena dipaksa
keadaan. Kemiskinan dan tantangan alam yang keras telah menggembleng rakyat
Gunung Kidul untuk mau makan tiwul dan mengurangi konsumsi beras.
Isu kesejahteraan masyarakat
selayaknya menjadi perhatian kita semua. Jumlah penduduk miskin di Indonesia
masih sangat banyak. Bila mereka mampu berdiversifikasi pangan pokok, inilah
berkah karena kemiskinan mereka terpaksa tidak makan beras.
Namun, yang lebih penting ialah
kesadaran masyarakat berpunya atau golongan the have, mereka punya kesempatan
lebih besar untuk berdiversikasi dalam konsumsi pangannya sehari-hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar