Rabu, 04 Februari 2015

Ancaman Kegagalan Diversifikasi Pangan

Ancaman Kegagalan Diversifikasi Pangan

Ali Khomsan  ;  Guru Besar, Ketua Program S3 Ilmu Gizi FEMA IPB
MEDIA INDONESIA, 03 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PANGAN adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sehingga pengabaian hak atas pangan dapat dikategorikan pelanggaran HAM. Oleh sebab itu, negara wajib menyediakan pangan bagi rakyatnya dengan harga terjangkau sehingga tujuan akhir berupa terbentuknya masyarakat yang sehat dapat terwujud.
Pemerintah telah sejak lama mendistribusikan raskin (beras untuk keluarga miskin) bagi golongan masyarakat yang ku rang beruntung dari segi ekonomi. Dengan harga hanya Rp2.000 per kg, raskin telah menyelamatkan jutaan rakyat dari kemungkinan kurang pangan akibat harga beras normal yang tinggi.

Di lain pihak, pemerintah menghendaki agar diversifikasi pangan sukses dengan menekan konsumsi beras di tingkat masyarakat. Itu bagaikan buah simalakama. Ingin konsumsi beras turun dan digantikan pangan lain, tetapi distribusi raskin mendorong masyarakat untuk tetap setia mengonsumsi beras. Memang kalau harus memilih apakah menyukseskan diversifikasi pangan secara menyeluruh atau membantu masyarakat miskin mengakses beras murah, pilihan yang lebih utama ialah menolong rakyat miskin.

Jika becermin pada negara-negara lain yang juga merupakan konsumen beras, kita memang layak untuk mengatakan diversifikasi pangan pokok telah gagal. Mengapa? Rakyat Malaysia dan Jepang ialah pemakan nasi seperti halnya kita, tetapi mereka hanya mengonsumsi beras sekitar 60 kg/ kapita/tahun, sementara rakyat kita makan beras 139 kg/kapita/ tahun. Kalau toh kurang dari angka tersebut, masih tetap lebih dari 100 kg/kapita/tahun.

Semangat berdiversifikasi sebaiknya dibebankan pada rakyat golongan menengah ke atas, bukan untuk rakyat miskin. Orang-orang dengan tingkat ekonomi tinggi dapat mengurangi konsumsi beras dan mereka mampu menggeser pola konsumsi pangannya.Sarapan tidak lagi harus dengan nasi, tetapi diganti dengan sereal. Golongan masyarakat yang hidup makmur bisa mengonsumsi lauk pauk hewani yang akan menekan konsumsi beras. Mereka bisa makan buah lebih banyak yang membuat perut kenyang tanpa harus makan nasi.

Pangan lain nonberas dengan harga yang mahal lebih sulit diakses orang miskin. Mereka hanya mampu membeli raskin kemudian makan dengan lauk seadanya. Sulit bagi orang miskin untuk berdiversifikasi mengonsumsi pangan lain nonberas. Jadi, biarlah rakyat miskin tetap bisa menikmati raskin dengan harga murah.

Menata pola konsumsi

Selama ini masyarakat memandang beras dengan citra superior sehingga preferensi terhadap beras jauh mengungguli preferensi akan jagung, singkong, sagu, dan sebagainya.Selain itu, ketersediaan beras sepanjang waktu di berbagai wilayah ternyata lebih baik jika dibandingkan dengan keterse diaan komoditas pangan lainnya. Teknologi pengolahan beras menjadi nasi sangat simpel dan menghasilkan cita rasa netral yang tidak membosankan.

Gaung diversifikasi pangan harus selalu disuarakan agar masyarakat (baca: orang kaya) tidak lagi berlomba-lomba makan nasi. Keberagaman konsumsi pangan telah masuk Pedoman Gizi Seimbang yang dicanangkan sejak 1996 oleh Departemen Kesehatan. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan pemerintah ialah perlu terus-menerus menyosialisasikan pentingnya diversifikasi pangan.

Menata pola konsumsi pangan masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan. Kurikulum di PAUD (pendidikan anak usia dini), TK, SD, dan seterusnya harus menekankan tentang diversifikasi sebagai pangkal hidup sehat. Dengan demikian, pola konsumsi pangan beragam dapat terinternalisasi dalam benak setiap anak Indonesia, dan ketika mereka dewasa kelak akan makin mudah bagi seluruh lapisan masyarakat untuk bersamasama mengurangi konsumsi beras.

Pendekatan dari celah birokrasi telah dimulai Wali Kota Depok yang meluncurkan program One Day No Rice. Dalam satu minggu dipilih satu hari tertentu, pada hari tersebut seluruh masyarakat diimbau untuk tidak makan nasi. Kantinkantin di perkantoran menjual pangan pokok nonberas agar pegawai atau PNS di siang hari tetap makan, tetapi tanpa nasi. Dampak kebijakan semacam itu akan cukup signifikan bila munculnya One Day No Rice berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang kemudian digaungkan ke seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia.Jadi, diversifikasi pangan bukan melulu urusannya Kementerian Pertanian atau Kementerian Kesehatan, melainkan kementerian lain juga bisa menelurkan kebijakan yang prodiversikasi pangan.

Pola konsumsi pangan yang bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya diversifikasi pangan dalam menu sehari-hari. Pangan yang beraneka ragam sangat penting karena tidak ada satu jenis pangan pun yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap. Dengan konsumsi yang beraneka ragam, kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi gizi dari pangan lainnya. Pada sisi lain, kesadaran akan pentingnya konsumsi pangan beraneka ragam menyebabkan ketergantungan terhadap satu jenis pangan dapat dicegah sehingga akan memantapkan ketahanan pangan rumah tangga.

Praktik diversifikasi

Masyarakat Gunung Kidul telah sejak lama mempraktikkan pola makan yang tidak sepenuhnya bergantung pada beras. Di 1950-an mereka mengonsumsi tiwul yang terbuat dari singkong dan umbi-umbian lainnya sebagai makanan pokok. Itu dilakukan sebagai akibat kelangkaan beras dan kemiskinan. Pada awal 1960-an keadaan semakin parah karena serangan hama tikus yang luar biasa. Hewan pengerat yang menjijikkan itu menyerbu ladang dan rumah-rumah penduduk sehingga kasus HO (honger oedema) merebak sebagai wujud terjadinya masalah gizi berat (kelaparan).

Bagaimana kehidupan di Gunung Kidul saat ini? Keadaan sudah semakin membaik meskipun kemiskinan masih merupakan masalah yang harus diatasi. Selain kemiskinan, masyarakat Gunung Kidul akrab dengan kekeringan. Orang men juluki wilayah Gunung Kidul sebagai batu bertanah untuk menggambarkan tandusnya daerah tersebut.

Pada bulan-bulan panen padi dan selama masyarakat masih mempunyai persediaan beras, mereka makan nasi seperti penduduk Indonesia lainnya. Di kala persediaan beras menipis dan memasuki musim kemarau, penduduk Gunung Kidul mulai mempersiapkan gaplek. Gaplek yang diolah menjadi tiwul kemudian dicampur dengan nasi menjadi sega uleng. Inilah makanan pokok masyarakat Gunung Kidul di musim paceklik. Untuk menghindari gaplek dari serangan kutu, masyarakat membuat gogik atau tiwul yang dikeringkan dan tahan berbulan-bulan.

Apakah rakyat Gunung Kidul sedang mempraktikkan diversifikasi pangan pokok? Apakah mereka menanggapi seruan pemerintah tentang perlunya mengurangi tekanan terhadap beras melalui penganekaragaman konsumsi? Kalau penduduk Gunung Kidul berdiversifikasi pangan pokok, jelas bahwa hal itu dilakukan bukan dalam rangka menyukseskan program pemerintah. Mereka mengonsumsi campuran nasi dan tiwul karena dipaksa keadaan. Kemiskinan dan tantangan alam yang keras telah menggembleng rakyat Gunung Kidul untuk mau makan tiwul dan mengurangi konsumsi beras.

Isu kesejahteraan masyarakat selayaknya menjadi perhatian kita semua. Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat banyak. Bila mereka mampu berdiversifikasi pangan pokok, inilah berkah karena kemiskinan mereka terpaksa tidak makan beras.

Namun, yang lebih penting ialah kesadaran masyarakat berpunya atau golongan the have, mereka punya kesempatan lebih besar untuk berdiversikasi dalam konsumsi pangannya sehari-hari.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar