Politik
Jokowi
Prayitno Ramelan ; Pengamat
Intelijen www.ramalanintelijen.net
|
KORAN
SINDO, 03 Februari 2015
Masyarakat kini lebih menyukai sesuatu yang praktis, semua
disingkat. Misalnya nama-nama tokoh nasional seperti SBY, Jokowi, JK
merupakan singkatan populer.
Kini muncul singkatan populer (BG) yang sebenarnya adalah
nama dari Komjen Polisi Budi Gunawan. BG banyak menyedot perhatian media
karena setelah ia dipilih Presiden sebagai calon tunggal kepala Polri baru
menggantikan Sutarman, namanya diajukan dan disetujui DPR. Tetapi oleh KPK,
justru BG ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi (korupsi).
Masalah BG yang banyak menuai pendapat pro dan kontra
melibatkan beberapa pihak menyangkut masalah citra, korupsi, emosi, harga
diri, keputusan pimpinan nasional dan banyak pernik lain. Semua sebenarnya
wajar, tetapi menjadi sangat penting karena menyangkut ranah politik dan
hukum.
Setelah bergulir lebih dua pekan, masyarakat luas kini menunggu
keputusan Presiden apakah akan melantik atau membatalkan BG sebagai kepala
Polri dan menunjuk yang lain. Dalam keputusannya terdahulu, Presiden Jokowi
menempuh kebijakan jalan tengah, memutuskan menunda pelantikan BG, tetapi
tidak membatalkan. Penulis mencoba mengulas dari sudut pandang intelijen
terhadap masalah ini hingga menemukan di mana bermuaranya. Dalam terminologi
intelijen, analisis serupa disebut sebagai sebuah ramalan intelijen.
Antara Intelstrat, Politisasi, dan Kriminalisasi
Intelijen selalu melihat dan mengukur masalah strategis
dari pakem intelstrat (intelijen strategis) yang terdiri atas sembilan
komponen yaitu Ipoleksosbud-hankam plus komponen biografi, demografi, dan
sejarah. Apabila menghadapi musuh, fokus yang dinilai adalah kekuatan,
kemampuan, kerawanan, dan niat lawan (K3N).
Nah, dalam konteks masalah pencalonan BG sebagai kepala
Polri baru, yang mengemuka diberitakan adalah bidang hukum dan politik.
Konflik mengarah kepada perseteruan antara KPK dan Polri. Dalam perkembangannya,
para ahli dan praktisi hukum menuduh ada upaya politisasi, sementara dari
elite politik menuduh terjadi kriminalisasi.
Tampaknya Presiden juga diarahkan oleh media untuk menilai
kasus pada dua sisi tersebut. Analisis tersebut yang menjadi komoditas utama
media kemudian melibatkan Presiden sebagai decision maker. Di sisi lain intelijen menilai analisis tidak
komprehensif karena ada informasi penting yang tertinggal.
Bisa terlihat dalam beberapa diskusi serta pemberitaan
media, kesimpulan banyak yang tidak tepat, walau mampu membentuk dan
memengaruhi opini publik. Dalam hal ini, menurut penulis, banyak yang tidak
mengetahui bahwa Presiden kemudian mengukur kasus BG yang berkembang ke arah
konflik KPK dan Polri dengan sudut pandang intelijen.
Walau masalah BG tidak memenuhi seluruh aspek sembilan
komponen, apabila diurai, kasus akan valid paling tidak mayoritas dari
komponen intelstrat terpenuhi.
Awalnya setelah pengajuan BG ke DPR untuk mengikuti uji kelayakan,
hingar-bingar yang muncul menempatkan Presiden sebagai pihak yang bukan
antikorupsi. Banyak yang heran, mengapa BG yang namanya di stabilo KPK kok
masih diajukan sebagai calon tunggal kepala Polri?
Mengapa? Hingga di sini banyak yang tidak mendapat
informasi akurat mestinya. Ada komponen intelstrat yang tidak terbaca publik
bila diteliti dari komponen sejarah, ideologi, politik, sosial, biografi
misalnya. Banyak yang meng-underestimate Jokowi dalam masalah ini yang
menuduhnya naif tetap bersikukuh soal BG. Publik mengetahui bahwa BG adalah mantan
ajudan Megawati saat menjadi presiden (tiga tahun).
Tanpa mendapat informasi intelijen, publik bisa
menyimpulkan ada pengaruh psikologis dan politis dari Teuku Umar dengan
masuknya BG sebagai calon utama kepala Polri. Kita lihat saja, beberapa elite
PDIP, parpol koalisi mengeluarkan statement agar Presiden segera melantik BG.
Belum lagi ada yang marah kepada KPK karena menetapkan BG sebagai tersangka.
Para kader PDIP, tokoh Nasdem, dan tokoh besar yang dekat
dengan Megawati bisa diterjemahkan dan semakin menegaskan bahwa BG adalah
benar calon PDIP (baca Mega). Mereka menekan Presiden untuk segera
melantiknya. Plt Sekjen PDIP (Hasto) bahkan menyerang KPK dengan menyudutkan
ketua KPK. Belum lagi ada kader yang menyentuh soal pelengseran.
Rasanya kurang smart
dan kurang cerdik, tetapi inilah dunia politik yang penuh dengan trik.
Pertanyaannya, apakah Jokowi tidak setia kepada ”Ratu Banteng”? Banyak yang keliru
menilai Jokowi di sini. Pemilihan dan pengajuan BG setelah Kompolnas
mengajukan sembilan nama calon kepadanya adalah gambaran kesetiaannya kepada
orang yang menjadikannya pimpinan nasional.
Memang tidak dapat disangkal bahwa BG mempunyai kekuatan lobi
politik serta pendukung yang kuat di kalangan PDIP itu. Intelstrat menilai
semua sudah diperhitungkan oleh Jokowi. Dalam masa kepemimpinannya yang 100
hari, Jokowi banyak belajar dalam menghadapi praktek politik kotor di Tanah
Air pastinya.
Tampaknya memang ada pihak yang mencoba memanfaatkan
konflik dan mencoba menggiring Presiden ke killing ground sebagai titik awal untuk dihabisi. Hal serupa juga
pernah dilakukan terhadap Presiden SBY. Upaya pembaruan dan revolusi mental
ala Jokowi jelas tidak disukai oleh pihak-pihak tertentu. Ini sudah terbaca.
Arah Strategi Presiden
Awalnya timbul pertanyaan penulis, mengapa dalam kasus BG
ini sepertinya Presiden lebih kepada ”solo karier”? Ke mana para
pembantu-pembantunya di kabinet? Pernyataan Pak Tedjo sebagai Menko Polhukam
yang mengoordinasikan bidang politik, hukum, keamanan, intelijen, kejaksaan,
dan lain-lainnya justru mengherankan karena mengundang polemik dan menjadi
kontraproduktif di media dan kalangan netizen dengan bahasa politik
tergelincir.
Dalam perkembangan selanjutnya, semua bagi penulis menjadi
lebih terang, di mana Jokowi sebenarnya memainkan strategi lepas libat. Di
satu sisi melepaskan dan memenuhi semua keinginan BG, parpol, Kompolnas, dan
para pendukung BG, dengan mengajukan BG ke DPR. Selanjutnya Presiden
melibatkan banyak pihak untuk ikut masuk dalam pusaran konflik yang terjadi.
Kini Presiden menunjukkan bahwa walau demikian banyak
pihak yang meributkan masalah BG, masalah penangkapan komisioner KPK,
keputusan akhir ada di tangannya, melantik atau tidak melantik (membatalkan),
serta mengeluarkan keppres pemberhentian komisioner KPK. Itu saja sebenarnya
muara masalah ini. Semua akan selesai apabila keputusannya yang prorakyat dan
antikorupsi keluar.
Jokowi sangat paham bahwa sesuai dengan komitmennya yang
antikorupsi, dia tidak akan mau berhadapan dengan rakyat yang antikorupsi. Di
lain sisi, Presiden mampu menstabilkan kondisi DPR setelah bertemu Prabowo
karena sadar bahwa dari komponen intelstrat sejarah, bahaya pelengseran
dirinya bisa berasal dari DPR atau bisa juga dari rakyat. Jokowi harus
menjaga stabilitas politik, menjaga kesetiaan pendukungnya, serta juga
menjaga hati dan perasaan ”Ibu Ketuanya”.
Presiden Jokowi dengan senyumnya yang khas mengatakan
bahwa dia tidak akan mengintervensi hukum, di mana BG kini mempraperadilankan
KPK. Sidang di Pengadilan Jakarta Selatan yang dimulai Senin (2/2/2015),
diperkirakan pada minggu pertama Februari ini akan selesai. Dalam hal ini
Presiden memahami upaya perlawanan BG atas sangkaan KPK.
Tampaknya masalah usia pencalonan BG sebagai kepala Polri
hanya menunggu waktu. Kunci waktunya adalah sidang praperadilan itu. Solusi
yang diambil dan akan cantik bagi Presiden, penulis perkirakan BG akan
mengundurkan diri sebagai calon setelah praperadilan. Kemudian Presiden akan
meminta Kompolnas kembali mengajukan calon kepala Polri baru.
Kompolnas menunjukkan indikasi akan menyaring calon baru,
kemudian meminta clearance ke PPATK
dan KPK. Kemudian proses akan berjalan sesuai prosedur dan UU yang berlaku.
Indikasi kekuatan politis Presiden yang didasari dukungan ketua umum PDIP
terlihat setelah pertemuan beberapa tokoh KIH di Kebagusan pada Jumat
(30/1/2015).
KIH sudah berpikir bahwa ada kepentingan yang lebih besar
dalam waktu dekat yaitu akan dilangsungkan pilkada, bila bertahan dalam
mendukung BG, mereka akan rugi, mengalami penurunan elektabilitasnya. Mungkin
ini pertimbangannya, di samping jelas pengaruh kuat dari ketua umum PDIP. KIH
tidak ingin disalib KMP pastinya dan melihat Prabowo saat bertemu Presiden
telah memainkan jurus cantik, menyatakan setelah pertemuan dengan Jokowi, ”Saya yakin beliau mengutamakan
kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya dan beliau akan memilih yang
terbaik,” katanya.
Prabowo sebagai tokoh utama KMP memberikan signal agar
dicari saja calon kepala Polri baru. Di samping melaporkan kepada Presiden
bahwa dirinya dipilih sebagai Presiden Federasi Pencak Silat Dunia. Ia meminta
kepada Presiden untuk bersedia diangkat sebagai pendekar pencak silat
Indonesia. Inilah sebuah bentuk dukungan moril kepada Jokowi saat beberapa
kader PDIP melakukan tekanan.
Nah, demikian perkiraan atau ramalan intelijen tentang
kemelut pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Polri. Jokowi berhasil
mendapat kesamaan pandangan tokoh-tokoh, relawan, serta kekuatan nasional
yang mayoritas menghendaki KPK dan Polri sebagai institusi yang perlu
diselamatkan, bukan pribadi-pribadi. Selain itu, dalam proses kita bisa
melihat Jokowi tetap setia dan menghormati Megawati yang telah memilihnya
sebagai capres.
Yang jelas dan tidak tertulis, Jokowi menjadi jauh lebih
kuat dengan dukungan moril Prabowo. Presiden Jokowi kini menemukan bukti
kebenaran peribahasa yang mengatakan ”The
enemy of my enemy is my friend.” Walau perlahan, ia sedang berproses,
tertempa dengan ATHG sebagai pemimpin. Suatu saat ia akan matang dan
berpeluang menjadi pemimpin besar di negeri ini. Kekuasaan itu sudah di
tangannya, tinggal bagaimana mengolahnya secara bijak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar