Melawan
Perubahan Iklim
Ivan Hadar ; Koordinator
Nasional Target MDGs, 2007-2010
|
KOMPAS,
17 Februari 2015
DALAM Living Planet Report 2006, organisasi konservasi global World Wild Fund for Nature
menyebutkan bahwa ekosistem alam Planet Bumi sedang mengalami degradasi
hingga pada kondisi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah manusia,
sedang mendekati tipping point
sebagai point of no return (Schellenhuber, 2006).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (2014) mengingatkan bahwa apa
yang dilakukan saat ini terkait perubahan iklim akan berkonsekuensi
meninggalkan bekas sepanjang abad ini atau bahkan lebih jauh lagi. Tanpa
solidaritas kemanusiaan, keselamatan Bumi sebagai ”kapal bersama umat
manusia” akan tenggelam.
Setidaknya, terdapat lima ”key transmission mechanisms” yang dipengaruhi oleh perubahan
iklim dan berpengaruh buruk pada pembangunan manusia.
Pertama, produksi pertanian dan ketahanan pangan.
Perubahan iklim memengaruhi curah hujan, suhu udara, dan ketersediaan air
bagi pertanian di kawasan yang rentan. Secara global, jumlah mereka yang
kekurangan gizi mencapai 600 juta jiwa pada 2080.
Kedua, kebanjiran dan kekurangan air. Pada 2080, sekitar
1,8 miliar penduduk di negara-negara Asia Tengah, Tiongkok Utara, serta
sebagian Asia Tengara dan Asia Selatan akan ”kebanjiran” akibat mencairnya es
Himalaya.
Sistem irigasi akan amburadul karena sungai-sungai meluap.
Pada saat sama, beberapa kawasan, seperti Timur Tengah, mengalami kelangkaan
air yang parah.
Kenaikan muka laut
Ketiga, meningkatnya permukaan laut sebagai penyebab
berbagai bencana iklim. Mencairnya permukaan es di kawasan Kutub adalah
penyebabnya. Peningkatan suhu udara sebesar 3-4 derajat celsius bisa
menyebabkan banjir dan rob sehingga 330 juta penduduk dunia menjadi pengungsi
sementara atau permanen, masing-masing lebih dari 70 juta di Banglades, 6
juta di dataran rendah Mesir, 22 juta di Vietnam, dan ratusan ribu atau lebih
di Pantura Jawa. Pulau-pulau kecil di kawasan Pasifik dan Karibik, termasuk
di Indonesia, akan mengalami ”catastrophic
damage”.
Keempat, gonjang-ganjing sistem ekologi dan punahnya
keragaman hayati. Perubahan iklim telah mengubah sistem ekologi. Separuh
sistem terumbu karang dunia dengan Indonesia sebagai pemilik terbesar rusak
(bleaching) akibat pemanasan laut.
Begitu pula kerusakan di berbagai ekosistem, seperti
ekologi berbasis es di kawasan Kutub dan ekosistem kelautan. Bagi kebanyakan
binatang, perubahan iklim ini terlalu pesat. Dengan kenaikan suhu sebesar 3
derajat celsius, 20-30 persen spesies daratan bisa punah.
Kelima, ancaman bagi kesehatan manusia. Negara-negara kaya
telah lama bersiap dengan sistem kesehatan publik terkait ”climate shocks” ke
depan, seperti saat menghadapi gelombang panas yang ”menyerang” Eropa pada
2003.
Tidak demikian dengan negara-negara miskin. Sebanyak
220-400 juta jiwa diperkirakan akan tertular malaria, yang saat ini saja
telah mencapai 1 juta orang per tahun. Begitu pula dengan demam berdarah yang
diperkirakan akan semakin memburuk akibat perubahan iklim, khususnya di
Amerika Selatan dan sebagian Asia Tenggara.
Untuk menghindari berbagai dampak tersebut, diperlukan
upaya bersama secara internasional. Negosiasi terkait pembatasan emisi karbon
pasca kesepakatan Kyoto Protokol 2012 perlu dan harus menjadi kerangka
”global carbon budget”. Hanya saja, hal tersebut akan efektif apabila
diterjemahkan dalam kerangka strategi nasional.
Perubahan iklim menempatkan kemanusiaan pada pilihan
prioritas yang harus diputuskan secepatnya. Namun, pemerintahan kelihatannya
belum tahu bagaimana membangun ekonomi tanpa gas, minyak bumi, dan batubara,
apalagi ditambah lobi perusahaan besar yang mendominasi sumber energi fosil
ini.
Peran Indonesia
Sebagai negara kepulauan dengan 65 persen penduduk tinggal
di wilayah pesisir, pemanasan global yang berdampak pada naiknya permukaan
laut harus dilihat sebagai ancaman serius bagi Indonesia. Sementara itu,
sebagai negara agraris, produktivitas pertanian negeri ini pun terancam
gangguan dampak perubahan iklim.
Untuk periode 2000-2005, Indonesia dinobatkan sebagai
juara dunia perusak hutan karena dalam kurun tersebut hutan kita yang rusak
mencapai angka 2 persen atau sekitar 1,87 juta hektar per tahun. Angka
tersebut, sama dengan 51 kilometer per hari atau 300 lapangan bola setiap jam.
Akibatnya, bencana lingkungan merebak di mana-mana. Banjir bandang dan
longsor, misalnya, banyak menelan korban. Begitu pula kerugian akibat
rusaknya lingkungan dan pancaroba cuaca.
Perusakan hutan di negara-negara berkembang, termasuk di
Indonesia, tak jarang masih dianggap sebagai biaya yang harus ditanggung demi
pertumbuhan industri. Kini, setelah hutan hujan tropis Kalimantan rusak
berat, perusakan hutan berpindah ke Papua dan daerah lain.
Terdapat 50 perusahaan yang secara kolektif menguasai 11,8
juta hektar hutan Papua. Apabila tidak ada perubahan kebijakan secara
drastis, apa yang terjadi di Kalimantan dipastikan akan terulang di Papua dan
daerah lainnya.
Yang seharusnya dilakukan Indonesia sebagai penghasil
karbondioksida terbesar ketiga dunia serta pemilik hutan besar adalah
mengidentifikasi sektor-sektor yang berperan dalam penurunan emisi dan
mekanisme pembangunan bersih serta mengembangkan isu-isu prioritas untuk
bernegosiasi dengan negara lain. Harus dihindari bahwa dana bantuan,
khususnya dalam mekanisme perdagangan karbon, tidak boleh menjadi justifikasi
negara maju untuk terus menghasilkan emisi gas rumah kaca yang merusak
atmosfer. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar