Belajar
di Luar Negeri
Mustakim ; Mantan
Diplomat
|
REPUBLIKA,
16 Februari 2015
Keinginan orang Indonesia belajar di luar negeri sangat
besar, baik atas biaya sendiri karena mampu atau mendapat beasiswa, baik dari
Pemerintah Indonesia, pemerintah negara lain atau lembaga-lembaga lain yang
menyediakannya. Menurut Duta Besar Amerika Serikat Robert O Blake dalam
tulisannya di rubrik "Opini" harian Republika (5/2) menyebutkan,
tahun lalu ada 8.000 pelajar Indonesia yang belajar di AS dan diharapkan
meningkat pada 2015 dan tahun-tahun berikutnya.
Pelajar yang dimaksudkan oleh Dubes AS tersebut dalam
tulisannya adalah mahasiswa, baik untuk program diploma, sarjana, maupun
pascasarjana. Mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri tidak hanya di
AS, tetapi juga di negara-negara lain di dunia, misalnya, di Eropa, Kanada,
Australia, Jepang, Singapura, dan lain-lain.
Tidak dapat dimungkiri, lulusan hasil didikan dari luar
negeri tersebut sebagian ada yang berhasil menduduki jabatan-jabatan strategis
di pemerintahan Indonesia dan memengaruhi arah pembangunan Indonesia,
misalnya dalam masa Orde Baru dikenal dengan kelompok Barkeley yang sangat
berpengaruh dalam pembangunan ekonomi.
Dalam menyelesaikan belajarnya di luar negeri, seharusnya
kita harus kritis terutama kalau sudah menyangkut riset mengenai Indonesia
yang terkait masalah poleksosbudhankam. Banyak penyandang dana yang
memberikan beasiswa dari luar negeri tentunya tidak diberikan secara
cuma-cuma alias gratis. Mereka mempunyai keinginan atau kepentingan mendapat
keuntungan dari pemberian beasiswa tersebut, secara langsung maupun tidak
langsung. Tidak ada makan siang yang gratis.
Menarik perhatian membaca buku Catatan Ringan Diplomat Perempuan. Pengalaman Diplomasi di Lima Benua
(2014) oleh Dubes Musma Musa SH mengenai masalah belajar di luar negeri ini,
khususnya di Australia pada waktu yang bersangkutan bertugas sebagai wakil
kepala Perwaklian atau DCM (Deputy
Chief of Mission) di KBRI Canberra. Penulis kutipkan agak panjang untuk
memberikan gambaran yang lengkap dan utuh mengenai mahasiswa Indonesia yang
belajar di Australia.
Dikatakan, "Selama
saya bertugas di Australia kurang lebih 30 mahasiswa S-3 Indonesia mengikuti
pendidikan program doktor yang mendapat beasiswa dari Pemerintah Australia
dan kuliah di Australian National University (ANU). Termasuk juga
perwira-perwira tinggi Indonesia yang mengikuti pendidikan di Joint Staff
College. Pada waktu itu saya berpikir bahwa setiap mahasiswa Indonesia yang
mengambil program doktor di Australia, tesis mereka selalu mengenai
topik-topik yang agak rawan di Indonesia, antara lain masalah Aceh pada waktu
itu dan juga mengenai Timtim."
"Khususnya bagi mahasiswa
Indonesia akan lebih mudah mendapatkan bahan-bahan penelitian karena
dilakukan di Indonesia. Tetapi dari segi kerahasiaan negara, Pemerintah
Australia akan mendapatkan bahan-bahan mutakhir yang kadang kala sangat
rahasia untuk disampaikan kepada Pemerintah Australia. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, ada baiknya Pemerintah Indonesia selalu memberi arahan
kepada mahasiswa yang akan belajar di Australia terutama untuk program doktor
jangan sampai tesis mereka nantinya mengenai masalah-masalah di Indonesia,
dan mereka harus bisa menolak dengan baik." (halaman 89).
Penulis juga mempunyai informasi pada waktu bertugas di
KBRI Den Haag. Seorang mahasiswa program doktor mengambil tesis masalah hutan
tropis dan untuk keperluan tesisnya harus mengadakan riset di hutan
Kalimantan. Ini sama artinya memberikan isi perut kita secara telanjang kepada
pihak Belanda padahal Belanda tidak mempunyai hutan tropis.
Tetapi ada satu mahasiswa program doktor yang menolak
masalah tesis yang diminta oleh promotornya karena dianggap akan membahayakan
Indonesia karena diminta mengadakan riset, yang menurutnya akan menyangkut
kerahasiaan negara. Karena tidak ada titik temu dengan promotor, akhirnya
mahasiswa program doktor tersebut memutuskan lebih baik pulang ke Indonesia
tanpa menyandang gelar doktor daripada akan merugikan Indonesia, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Selain itu penulis pernah melihat naskah tesis mahasiswa
program doktor di mana dicantumkan tulisan copyright untuk menerbitkan maupun
mengimplementasikan tesis tersebut pada universitas yang bersangkutan
menyelesaikan kuliah dan memberikan beasiswanya. Ini berarti pihak Indonesia
tidak dapat atau dilarang untuk mengimplementasikan hasil riset untuk program
doktor tersebut.
Melihat realitas tersebut, penulis berpendapat dan sesuai
dengan harapan Dubes Musa Abbas SH, sudah waktunya Menteri Riset Teknologi
dan Perguruan Tinggi membuat pedoman bagi mahasiswa Indonesia yang akan
belajar di luar negeri dan agar bersifat kritis terhadap penyelesaian
kuliahnya untuk tidak melakukan riset yang dapat merugikan Indonesia, baik
langsung maupun tidak langsung.
Pedoman ini agar disebarluaskan ke seluruh perguruan
tinggi di Indonesia, instansi-instansi pemerintah dan kedubes/konsulat
jenderal/konsulat RI di luar negeri. Kebebasan ilmiah bukan tidak ada
batasnya, apalagi kalau sudah menyangkut kepentingan atau kerahasiaan negara.
Di sini kesadaran mahasiswa bernegara diuji, antara untuk memperoleh gelar
doktor dengan biaya pihak asing atau faktor melindungi kepentingan dan
kerahasiaan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar