“Quo
Vadis” Kesehatan di Papua
Achmad Sujudi ; Menteri
Kesehatan RI 1999-2004
|
KOMPAS,
17 Februari 2015
”Mari kita mendirikan fakultas
kedokteran di Papua karena putra-putri Papua itulah yang nantinya akan
berbakti di wilayahnya.”
Pernyataan di atas adalah reaksi spontan dan tulus saya
sebagai Menteri Kesehatan pada Kabinet Gotong Royong (1999-2004) ketika
menjawab pertanyaan sejumlah pihak, khususnya anggota DPRD Papua.
Pertanyaan mereka sederhana: mengapa pemerintah pusat
tidak menyetujui adanya fakultas kedokteran (FK) di Papua? Pertanyaan ini
muncul berdasarkan pengalaman mereka bahwa para dokter yang datang ke Papua
hanya bertugas sebentar, kemudian pergi meninggalkan Papua.
Dalam pandangan saya saat itu, putra-putri Indonesia
timur, termasuk Papua, sudah selayaknya dapat kesempatan mengenyam pendidikan
kedokteran yang lebih mudah dan terjangkau ketimbang harus menempuh
pendidikan di tempat yang jauh, yang mungkin tak terjangkau. Mendengar
jawaban saya di hadapan DPRD Papua tersebut di atas, reaksi dari Dewan sangat
mengejutkan. Mereka, para anggota Dewan dan sebagian tokoh, hampir tidak
memercayainya. Mereka ragu karena selama ini Jakarta hanya berjanji dan
bahkan tak menyetujui hal tersebut.
Selang beberapa waktu kemudian, melalui sejumlah lobi dan
upaya lainnya, jurusan program pendidikan kedokteran pun dibentuk di
Universitas Cenderawasih (Uncen) dengan dibantu oleh sejumlah universitas
terdekat, seperti Universitas Hasanuddin dan Universitas Samratulangi, serta
Universitas Gadjah Mada. Program ini sepenuhnya dibantu dan didukung oleh
Departemen Kesehatan. Walaupun tertatih-tatih, program pendidikan kedokteran
ini pun berkembang menjadi FK dan bahkan ada jurusan pendukung, yakni
keperawatan.
Kondisi tersebut jadi berubah setidaknya dalam dua tahun
terakhir. Liputan Kompas edisi 18Januari 2015 menggugah saya khususnya dan
(sebagian besar) mereka yang concern
pada pembangunan kesehatan di Indonesia. Pada liputan tersebut, Kompas
melaporkan kondisi yang sangat ironis dialami oleh FK Uncen. Baik disebabkan
kondisi internal universitas dan fakultas, fasilitas yang minim, tenaga
pengajar terbatas, maupun sejumlah penyebab lain, yang pada ujungnya
menjadikan niat tulus untuk melahirkan tenaga profesional yang bisa mengabdi
pada daerahnya boleh jadi hanya akan menjadi sebuah angan-angan.
Janji Jokowi-JK
Jika merujuk 9 Program Nyata Jokowi-JK yang dijanjikan
saat kampanye, pada butir ketujuh (bidang kesehatan) dinyatakan: ”akan
memberikan layanan kesehatan gratis rawat inap/rawat jalan dengan Kartu
Indonesia Sehat. Membangun 6.000 puskesmas dengan fasilitas rawat inap serta
air bersih untuk seluruh rakyat.” Sementara janji pada butir kesembilan:
”mewujudkan pendidikan seluruh warga negara, termasuk anak petani, nelayan,
buruh, termasuk difabel dan elemen masyarakat lain melalui Kartu Indonesia
Pintar.”
Kampanye Jokowi-JK yang menekankan pada konsep paradigma
sehat, yakni mengedepankan promotif dan preventif, perlu diapresiasi. Sebab,
konsep ini menjadi lebih efisien dan ekonomis. Contoh sederhana: penyakit
malaria, tidak mungkin hanya diobati, tetapi juga dilakukan pencegahan
penularannya dengan memusnahkan sarang nyamuk, penggunaan kelambu, dan
lain-lain yang sifatnya preventif.
Bandingkan dengan ”paradigma sakit” yang lebih concern
pada kuratif dan rehabilitatif. Dengan demikian, upaya kesehatan primer
melalui pembangunan puskesmas (bukan rumah sakit) sebanyak-banyaknya yang
dijanjikan Jokowi-JK harus diapresiasi. Hanya saja, pertanyaan besarnya,
siapa yang akan mengisi dan menjalankan peran puskesmas tersebut, khususnya
di wilayah terpencil dan pedalaman.
Pada era Orde Lama ada aturan berupa UU No 8/1961 (sebagai
revisi aturan sebelumnya, yakni UU No 8/1951) yang kemudian dikenal dengan
wajib kerja sarjana (WKS). Intinya menyatakan penempatan dokter dan dokter
gigi diatur oleh pemerintah dengan sanksi penangguhan pemberian surat izin
untuk praktik.
Pada era Orde Baru, aturan WKS untuk dokter dan paramedis
diperkuat Keputusan Presiden RI No 37/1991 tentang Pengangkatan Dokter
sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti. Ini dimaksudkan bahwa yang
mengikuti WKS telah diangkat sebagai pegawai negeri tidak tetap. Setelah masa
bakti berakhir, ia dapat melanjutkan dengan diangkat jadi pegawai negeri
sipil (PNS). Di samping menjelaskan tentang pengembangan karier, keppres ini
menjelaskan juga tentang sanksi atas pelanggaran. Anggaran untuk penempatan
tenaga WKS dialokasikan melalui dana Inpres. Seperti kita ketahui, pada era
Orde Baru ada banyak skema Inpres, termasuk di dalamnya Inpres dokter.
Pada era reformasi terjadi perubahan dalam skema Inpres
yang juga berimbas pada Inpres dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Di
samping itu, diterapkannya desentralisasi dan sejumlah pemekaran wilayah
menyebabkan terjadinya perubahan birokrasi di sejumlah wilayah. Sejumlah
kebijakan pun berubah, menyebabkan para sarjana serta dokter dan tenaga
kesehatan mempunyai haknya sendiri untuk melakukan pengabdian atau pencarian
hidupnya.
Lahirnya UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menjadikan
aturan WKS tak berlaku lagi. Maka, otomatis semua sarjana—termasuk sarjana
kesehatan, dokter, dan dokter gigi—tidak terikat lagi dengan aturan wajib
kerja pada pemerintah. Kalau tidak ada kewajiban dokter bertugas di Papua dan
lembaga yang mencetak dokter juga tak dilindungi, lantas bagaimana nasib
kesehatan di Papua? Inilah yang menjadi quo vadis. Padahal, kita tahu,
kondisi kesehatan Papua dari berbagai sisi berada pada posisi yang sangat
memprihatinkan dan harus segera ditangani.
Selamatkan FK Uncen
Tak dapat dimungkiri, kondisi FK Uncen memang jauh dari
ideal, khususnya dalam melahirkan profesi dokter yang tugasnya sangat berat.
Namun, usulan membubarkan FK Uncen adalah langkah sangat tidak logis. Bagi
generasi saya—bahkan sebelumnya—yang menempuh pendidikan kedokteran di sejumlah
universitas pada era 1960-an, kondisi, fasilitas, suasana, dan sejumlah
variabel lain bisa jadi mirip dengan yang dialami FK Uncen saat ini. Namun,
semangat, kemauan, dan political will pemerintah saat itu memberikan semangat
pada kami untuk tidak hanya berpangku tangan menghadapi nasib. Semua pemangku
kepentingan bekerja keras. Ternyata, hasilnya, alumnus kedokteran era
tersebut memberikan peran yang besar terhadap perubahan bangsa ini.
Pemerintahan (pusat) saat ini, pemerintah daerah di Papua,
dukungan civil society, lembaga lokal, nasional, dan internasional, serta
kontribusi sejumlah perusahaan yang melakukan kegiatan di Papua harus bisa
bergandengan tangan menyelamatkan lembaga pendidikan yang akan memberikan
kontribusi bagi pembangunan (kesehatan) di Papua dan Indonesia timur
khususnya serta pada Indonesia pada umumnya.
Saya yakin, semua elemen, mulai dari FK di wilayah lain di
luar Papua, institusi kesehatan, hingga lembaga profesi dan asosiasi akan
dengan senang hati terlibat memberikan kontribusi terhadap niat penyelamatan
pada FK Uncen. Jika semua tak lagi peduli dengan problem ini, sungguh sebuah
ironi besar bagi bangsa ini di tengah wacana tentang globalisasi, emansipasi,
hak asasi, dan wacana lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar