Mega
Putu Setia ; Pengarang,
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
01 Februari 2015
Semesta sedang bergerak mencari
keseimbangan baru. Alam berada dalam posisi pancaroba, tak mudah untuk
ditebak. Mentari bisa terik, tapi tiba-tiba saja sinar surya tertutup oleh
mega. Baik itu megamendung yang akan membawa hujan ataupun meghanada -- ini bahasa Jawa Kuno -- yang
berarti guntur menggelegar. Tak selalu guntur mengirim hujan, harus pandai
membaca alam untuk sebuah rencana. Seorang jaka -- joko kalau diucapkan dalam
keseharian -- bisa bingung oleh fenomena alam seperti ini. Dia harus meminta
saran-saran dari para tetua, apa yang akan dilakukan agar bisa tenteram.
Romo Imam sedang memberikan
ceramah di paguyubannya sebelum arisan dibuka. Saya menyimak dengan tekun.
Tapi, terus terang, saya tak paham, kenapa Romo mengulas soal alam. Memang,
gerimis sejak tadi. Ah, meski tak paham, saya tetap menyimak.
Tiga kata ini banyak disebut
sekarang: mega, surya, dan joko. Mega dan surya sudah masuk
dalam kamus bahasa kita, tapi joko tidak. Yang ada cuma jaka. Artinya, lelaki
dewasa, tapi belum berumah tangga. Ini adalah batas kemampuan seseorang untuk
mencerna alam. Atau, dengan bahasa yang mudah, seorang joko belum matang
pengalamannya dalam kehidupan di jagat ini. Ia masih perlu banyak belajar.
Berumah tangga hanyalah simbol dari kedewasaan yang dalam buku-buku lama
disebut grahasta, tak harus
diartikan perkawinan. Seorang joko bisa saja sudah kawin dan beranak. Tapi,
sebagai simbol, ia belum punya pengalaman besar terjun ke masyarakat. Ia
belum teruji benar. Ia tak mudah membaca alam, apalagi kalau di atasnya ada
mega dan surya yang pengaruhnya sangat besar.
Waduh, ampun, ampun. Saya betul-betul tak paham. Tapi anggota paguyuban Romo
semua menyimak dengan tenang. Tak seorang pun berani menoleh ke arah lain,
semua menatap Romo. Tak ada yang bergerak, batuk pun tidak. Saya, yang bukan
anggota paguyuban, merasa terjebak dan terpaksa mendengarkan.
Namun, seorang joko yang mau
menerima nasihat dari berbagai kalangan, sudah jelas orang yang bijak dan
punya harapan besar membawa ketenteraman jika ia berlanjut menjadi pemimpin.
Itu berarti ia rendah hati untuk mendapatkan masukan dan bukan memaksakan
kehendaknya yang belum tentu benar, lebih-lebih dalam bayangan mega dan surya
yang tak jelas maunya di tengah tiupan angin. Apalagi joko bisa mengumpulkan sembilan tetua untuk dimintai
pertimbangan, lalu menemui orang yang masih dianggapnya punya wibowo, itu adalah pertanda ia mau
mendengar semua suara.
Alam sedang bergerak mencari keseimbangan
dan seorang joko yang rendah hati dan tidak meledak-ledak dengan nafsu
serakahnya akan selamat dalam masa yang sulit ini. Mari kita dukung orang
seperti itu, jangan biarkan dia sendiri.
Romo berhenti bicara dan
orang-orang yang mendengarkan pada mengusap wajahnya dengan tangan. Wajah
mereka cerah. Tapi, sekali lagi, saya tak paham isi ceramah pendek Romo Imam
itu. Ketika Romo menyendiri, saya pun mendekati. “Sampeyan ikut mendengarkan, ya?”
Romo kaget melihat saya.
Saya menyalami Romo dan berujar, “Saya mengikuti dari tadi, tapi tak paham
Romo ngomong apa. Di kepala saya, saat Romo mengucapkan mega, surya, joko,
wibowo, dan entah apa lagi, saya seperti mendengar Megawati, Surya Paloh,
Joko Widodo, Prabowo...”
“Ah, sampeyan...”Romo memotong saya. “Otak
sampeyan ada virus politik, seperti otak kebanyakan orang. Apa-apa dibawa ke
ranah politik. Hukum dipolitisasi, silaturahmi dipolitisasi, blusukan pun
dipolitisasi....” Romo tertawa. Saya ikut tertawa. Saya tetap menduga
Romo sedang berpolitik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar