Malu
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 01 Februari 2015
Gara-gara tak dibelikan sepeda motor, seorang siswa SMPN
43 Purworejo, Jawa Tengah, Mukhammad Ikhsan, 15, nekat mengakhiri hidupnya
dengan cara terjun ke sungai (11/04/2013).
Melihat aksi nekat anaknya tersebut, kedua orang tua
korban langsung shock. Berdasarkan
berita sebuah situs berita, korban ditemukan tewas tenggelam setelah
melakukan terjun bebas ke dalam Sungai Bogowonto. Menurut sejumlah saksi,
tindakan nekat pelajar SMP ini berawal dari keluhan korban karena tidak
dibelikan motor oleh orang tuanya.
Sebelum peristiwa itu terjadi, korban dan anggota
keluarganya menengok neneknya Rokhimah di Desa Panungkulan, Purworejo. Selang
tidak berapa lama, korban keluar rumah dan teriak akan bunuh diri karena
tidak dibelikan motor. Berita-berita tragis seperti itu bukan sekali-dua kali
saja terjadi di Indonesia. Dalam kasus lain, remaja yang keinginannya tak
terpenuhi malah membunuh orang tua atau nenek sendiri yang sejak kecil
mengasuhnya.
Atau mereka memalak temannya, merampas motor orang lain,
atau merampok ”ApaMart” atau ”IndiaMart”. Pokoknya: nekat! Nenek-nenek juga
disikat! Banyak teori yang mencoba menjelaskan kelakuan remaja yang
serbadestruktif (termasuk tawuran antarmahasiswa atau antarsuporter bola,
demo anarkistis, dll), tetapi kebanyakan teori itu melupakan satu faktor
penyebab yang sangat penting, yaitu faktor ”malu”.
Berani taruhan, kalau kita bisa membangunkan kembali
Mukhamad Ikhsan dari kuburnya dan kita tanya almarhum kenapa dia nekat bunuh
diri, jawabannya pasti, ”Aku malu sama teman-teman. Semuanya sudah punya
motor, hanya aku yang belum. Teman-teman akan meninggalkanku karena aku nggak
punya motor.
Kan nggak mungkinlah, mereka ngebut ke mana-mana naik
motor, secara aku ngikutin naik becak bapakku!” Nah, rasa malu itulah yang
menyebabkan para anak muda bertawuran. Malu karena Arema kalah dari Persib,
malu karena nggak punya duit untuk jajanin pacarnya, malu sama teman-teman
kalau nggak ikutan merokok atau ngegele , bahkan baru-baru ini ada anak yang
tewas karena bertaruh Rp15.000 buat siapa yang berani berenang nyeberang kali
yang arusnya sedang deras.
Maka tiga anak berumur 10 tahunan spontan nyemplung ke kali
(malu kalau nggak berani), 2 orang selamat, yang 1 lagi hanyut dan tewas.
Tapi kebiasaan nggak mau malu ini bukan hanya monopoli anak-anak. Orang
dewasa pun sama. Seorang ibu dilapori oleh guru bahwa anaknya tidak naik
kelas. Ibu itu tidak kehilangan akal.
Dia minta ibu guru wali kelas untuk membuatkan rapor aspal
(asli-tapi-palsu) dari sekolah, tetapi dengan nilai yang sudah dikatrol
sehingga rapornya jadi bagus (tentu dengan gratifikasi). Maka dengan rapor
aspal itu si ibu memindahkan anaknya ke sekolah lain dan naik kelas! Yang
penting orang tua nggak malu. Salah, melanggar hukum, melanggar agama, gapapa
, yang penting gak malumaluin !
Menurut Ruth Benedict dalam bukunya The Chrysanthemum and the Sword (1946), ada dua cara masyarakat
mengendalikan perilaku anggota masyarakatnya agar berjalan sesuai dengan
norma-norma. Cara yang pertama adalah dengan menerapkan ”budaya salah” (guilt culture). Orang Amerika (Barat)
dan agama-agama menggunakan pendekatan ini. Caranya adalah dengan menerapkan
aturan (undang-undang, kode etik, hukum agama) dan menetapkan sanksinya
(penjara, denda, neraka/surga, dll).
Setelah beberapa generasi, aturan itu merasuk ke dalam
hati individu sehingga pengemudi orang Amerika otomatis akan berhenti jika
lampu merah menyala walaupun lalu-lintas sedang sepi di tengah malam.
Pengemudi di Amerika otomatis akan merasa bersalah kalau menyerobot lampu
merah.
Demikian pula mereka otomatis akan mengantre dengan tertib
dan tidak pernah ”jam karet” kalau berjanji dengan orang lain, mengembalikan
buku ke perpustakaan atau membayar pajak dengan tertib, karena mereka merasa
bersalah kalau tidak melakukannya. Cara yang kedua, menurut Benedict, adalah
seperti yang berlaku di Jepang (Timur) yang memberlakukan ”budaya malu” (shame culture).
Ketika Kaisar Jepang, Tenno Heika, menyerah kepada Sekutu
di akhir Perang Dunia II (1945), ratusan pria berbaju putih-putih (tidak ada
hubungannya dengan FPI di Jakarta) berbondong-bondong datang ke Istana Kaisar
dan secara spontan bersama-sama melakukan hara kiri (bunuh diri dengan
menusuk perut sendiri dengan sebilah samurai pendek). Alasannya mereka malu
bahwa Jepang menyerah walaupun lebih dari 2 juta penduduk Hiroshima dan
Nagasaki tewas kena bom atom Amerika.
Di sisi lain, budaya malu ini juga, yang dasarnya adalah
gengsi, yang mendorong perekonomian Jepang hanya membutuhkan waktu lima tahun
untuk bangkit kembali dan dalam waktu 30 tahun sudah menjadi produser
barang-barang elektronik dan automotif terbesar dan terbaik di dunia. Budaya
orang Indonesia sama dengan Jepang, sama-sama dari Timur, dan sama-sama
mengandalkan gengsi atau budaya malu.
Tapi budaya malu di Indonesia mendorong perilaku bangsa
ini ke arah yang salah. Orang korupsi nggak apa-apa karena semuanya juga
korupsi, jadi nggak malu-maluin . Naik motor melawan arus atau angkot
berhenti seenaknya atau menyerobot antrean nggak apa-apa juga karena nggak
malu-maluin. Tapi kalau disuruh diskusi di kelas atau duduk paling depan
kalau ada pertemuan, banyak yang tidak mau, soalnya malu, takut dianggap sok
tahu. Padahal justru itulah yang seharusnya dilakukan.
Agama pun gagal mendorong orang berprestasi karena
walaupun agama mengajarkan amar makruf nahi munkar, perilaku umatnya masih
terkait terus di antara gengsi dan malu-maluin . Di era Reformasi sekarang
ini, kebiasaan orang Indonesia yang berasal dari budaya malu harus diubah ke
mentalitas budaya salah. Itulah sebabnya sekarang harus ada KPK, kapal
pencuri ikan dibom beneran, dan PT KAI (Kereta Api Indonesia) menggantikan
Perumka (Penumpang Ngerumpi di atas Kereta Api). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar