Mala
Prohibita Abraham Samad
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 07 Februari 2015
Krisis hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dan Polri ditingkahi berita bahwa Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka
kasus pidana karena perbuatan yang dilakukannya sekitar delapan tahun yang
lalu.
Kesan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Samad
digiring ke kasus pidana sebagai balasan Polri atas tindakan KPK yang telah
menjadikan Budi Gunawan sebagai tersangka tindak pidana korupsi sehingga
pencalonannya sebagai kapolri menjadi terganjal. Belum jelas dan masih
simpang siur, apa kasus tersebut dan bagaimana posisi Samad di dalamnya.
Wakapolri Badrodin Haiti mengakui Polri telah mengeluarkan
surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Abraham Samad, tetapi yang
bersangkutan belum menjadi tersangka. Namun sumber Polri juga menyebutkan
bahwa Abraham Samad resmi menjadi tersangka karena pemalsuan dokumen di
Sulawesi.
Kasus yang disangkakan adalah memalsukan dokumen
kependudukan seseorang untuk mendapatkan paspor dengan cara memasukkannya ke
dalam kartu keluarga. Kisahnya, seperti yang termuat dalam pemberitaan pers,
ada seseorang ingin memiliki paspor yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi
Makassar, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kartu tanda penduduk
Makassar karena bertempat tinggal di provinsi lain.
Oleh Abraham Samad diusahakan agar yang bersangkutan dapat
memiliki bukti kependudukan dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga
tanpa ada dokumen perpindahan yang sah dari daerah asalnya. Dengan itu
pencantuman di dalam KK itulah yang bersangkutan bisa mengurus dan mendapatkan
paspor.
Perbuatan yang dilakukan Samad pada tahun 2007 itu
sekarang diangkat sebagai kasus pemalsuan dokumen dan, konon, Samad sudah
dijadikan tersangka dalam kasus ini. Kalau cerita yang saya tangkap dari
pemberitaan pers itu benar, sekali lagi kalau itu benar, maka dijadikannya
Samad sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen itu sangatlah
berlebihan.
Tak mengherankan jika kemudian dikatakan, dalam istilah
yang banyak dipakai oleh umum meski tak sepenuhnya tepat, Samad menjadi
sasaran kriminalisasi karena konflik antara KPK dan Polri. Perbuatan Samad
menolong orang itu memang melanggar aturan, tetapi tidak merugikan siapa pun,
tidak mengandung niat jahat dan sampai sekarang paspor itu tidak juga
dipergunakan untuk suatu kejahatan.
Di dalam hukum apa yang dilakukan Samad itu bisa tergolong
mala prohibita, yaitu melakukan
perbuatan yang melanggar hukum karena diatur demikian oleh hukum, tetapi
belum tentu ada yang dirugikan. Selain mala
prohibita, di dalam hukum ada juga mala
in se, yakni suatu perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan disebut
jahat di dalam undang-undang, tetapi perbuatan itu memang merusak karena
menabrak kewajaran, bertentangan dengan moral, dan melanggar prinsip umum
kehidupan masyarakat yang beradab.
Membunuh atau merampok, misalnya, merupakan mala in se, sebab selain diatur di
dalam undang-undang, perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat. Tapi kalau
kita menerobos lampu merah di tengah malam yang sepi, hal itu merupakan mala prohibita, jelas melanggar aturan,
tetapi tidak ada yang dirugikan. Kalau kita lupa membawa SIM saat menyopir di
jalan umum, maka itu juga merupakan mala
prohibita yang tidak mengandung mala
in se karena meski melanggar aturan sebenarnya tidak ada yang dirugikan
atau dirusak di tengah-tengah masyarakat.
Apakah melakukan mala
prohibita itu salah? Ya, tentu salah karena melanggar aturan. Tapi, dalam
praktiknya, hal-hal seperti itu tidak dibesar-besarkan sebagai kasus
kriminal, bahkan banyak yang dibiarkan begitu saja. Di Jakarta ini, misalnya,
bisa ribuan pejabat yang selain memiliki KTP Jakarta juga masih memiliki KTP
dari daerah asalnya. Ada hakim yang memiliki KTP aktif sampai enam karena
sering berpindah tugas, tetapi tidak sempat mengurus dokumen-dokumen
kepindahannya.
Ada yang membuat SIM, tetapi kertas ujiannya diantar ke
rumah untuk ditandatangani dengan jawaban yang sudah lengkap. Sebenarnya
pelaksanaan hukum kita selama ini memang cenderung menerapkan permakluman
untuk tidak terlalu mempersoalkan mala
prohibita yang tidak disertai dengan mala
in se. Polri bukannya tak tahu ini.
Pada 2012 oleh Kabareskrim Sutarman saya diundang dalam
satu pertemuan Reskrim Polri se-Indonesia untuk memberi ceramah tentang restorative justice.
Saat itu saya mengatakan bahwa ide restorative justice yang menghendaki penyelesaian masalah hukum
tertentu secara harmoni dan tak membawa kasus ke pengadilan kecuali
mengandung mala in se adalah ide
hukum yang bersumber dan berakar dalam budaya hukum Indonesia.
Mahkamah Agung pun membuat kebijakan agar kasus-kasus
pidana tertentu yang tidak mengandung mala
in se bisa diselesaikan tanpa ribut-ribut ke pengadilan dengan mengenakan
denda maksimal di lapangan. Ternyata, kawan-kawan Polri mengatakan, sudah
lama Polri menerapkan restorative justice.
Banyak kasus pelanggaran hukum yang tidak dibawa ke pengadilan karena hanya
mengandung mala prohibita tanpa
mengandung malainse yangberarti.
Polri mengambil penyelesaian damai, tidak
membesar-besarkan, dan menjaga harmoni. “Kalau
tidak demikian, berapa ratus ribu kasus pelanggaran hukum yang harus kami
bawa ke pengadilan. Polri justru menyelesaikan secara baik di luar
pengadilan,” kata Bekto Suprapto, mantan Kapolda Papua yang saat itu juga
menjadi pembicara bersama saya dan Prof Achmad Ali. Kita berharap agar kasus
Samad soal pencantuman nama seseorang di dalam kartu keluarga untuk mengurus
paspor itu dianggap sebagai mala
prohibita yang tidak disertai mala
in se ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar