Jurnalisme
Bre Redana ; Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
08 Februari 2015
Saya mengamini apa yang diucapkan oleh Gabriel Garcia
Marquez, pengarang penerima Nobel, bahwa jurnalisme adalah pekerjaan terbaik
di dunia. Setidaknya saya mengalami masa lebih dari 30 tahun lampau, ketika
para editor, meski sebagian tidak lulus kuliah, tetapi lebih cemerlang
dibandingkan para doktor dan profesor. Modal yang membawa saya bisa bergabung
dengan mereka juga bukan kurikulum kuliah, melainkan pengalaman pers kampus.
Waktu itu pers kampus tidak menulis lomba menyanyi dan komunitas bersepeda
ria, tetapi bagaimana menyubversi penguasa.
Di ruang redaksi yang tidak ada sekat, banyak asap rokok,
gelas sisa kopi di meja, kami wartawan muda belajar berbagai hal. Produk
tulisan dan berita yang muncul tiap pagi adalah hasil percakapan informal,
dilakukan dengan santai kadang disertai debat keras, ada yang duduk di kursi,
di meja, berdiri sembari memegang gelas kopi, dan lain-lain. Perusahaan surat
kabar sebagai pabrik gagasan menjadi produktif karena semangat egaliter.
Kami tidak kenal waktu. Ngobrol sore hari, setelah
bertugas di lapangan, berpanas-panas dengan mengendarai Vespa. Bisa pula
tengah malam, usai editor membereskan tugas penyuntingan. Diskusi kadang
berlarut-larut, sampai tengah malam, lewat tengah malam, dini hari: dan kami
pun tidur di kantor. Ada yang di atas meja, di kolong meja, atau mes di
seberang jalan. Mereka yang tidak berada dalam atmosfer itu, malas
bercakap-cakap soal jurnalisme melulu, adalah mereka yang mengira diri
wartawan, padahal sebenarnya bukan.
Sebagian besar dari kami selalu runtang-runtung
bersama-sama. Malah juga tinggal bersama-sama di mes di bilangan Kwitang,
Jakarta Pusat. Dari bangun tidur sampai terkantuk-kantuk hendak jatuh
tertidur lagi, percakapan hanya soal jurnalisme. Kami tidak menyebutnya
pekerjaan: ini inklinasi hidup kami. Bersyukur, bahkan sekadar mengembangkan
inklinasi hidup, kami dibayar. Kehidupan yang guyub dalam pertemanan dan
persahabatan itu menyisakan ruang sangat minim bagi kehidupan pribadi. Banyak
yang telat nikah, padahal kami tidak jelek-jelek amat.
Akurasi berita, kebutuhan atas perspektif, kehendak untuk
ikut memberikan arah perkembangan, dengan sendirinya menumbuhkan keinginan
kami untuk memiliki fondasi kebudayaan. Secara otomatis, membaca menjadi
kebutuhan. Di mana pun, para otodidak cenderung lebih bersungguh-sungguh.
Para senior saya adalah orang-orang hebat. JB Kristanto, Valens Doy,
Parakitri, Raymond Toruan—untuk menyebut beberapa nama.
Sepanjang berkarier sebagai wartawan saya tidak pernah
punya tape recorder. Itu gara-gara penekanan pemimpin dan penanggung jawab
kami: kalian bukan ember. Tape recorder mendengar tetapi tidak menyimak,
memiliki kemampuan mengulang tetapi tidak berpikir, setia dan akurat tetapi
tanpa hati. Wawancara adalah konfrontasi gagasan, tegas pemimpin.
Maka, kami hanya terbiasa dengan buku kecil disebut notes.
Modal kami menghadapi sumber berita adalah notes, telinga, dan kesadaran
termasuk kesadaran etis. Yang terakhir itu tak bisa ditawar-tawar. Ketika
persoalan kian kompleks, hitam dan putih sulit dibedakan, semua di wilayah
abu-abu, pada kesadaran etis itulah kami kembali.
Kini, jurnalisme berkembang sedemikian rupa. Wartawan kian
banyak, hierarki diutamakan. Teknologi komunikasi makin canggih. Banyak yang
terus mempertinggi keterampilan untuk menguasai teknologi. Bagus juga, siapa
tahu nanti mesin dan robot bisa mengatasi inefisiensi.
Pendidikan juga berkembang. Jurnalisme disebut dengan nama
ilmu komunikasi. Saya pernah diminta untuk memberi ceramah mengenai
komunikasi dan industri media.
Saya tidak sanggup, takut menjadi tertawaan. Soalnya saya
tidak tahu komunikasi. Yang saya tahu jurnalisme. Industri media saya juga
tidak paham. Apalagi rincian, bagaimana memuaskan pelanggan. Yang saya tahu,
kebenaran, truthfulness, tidak selalu menyenangkan semua orang. Apa peduli
saya.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar