Berakhirnya
Bank (Yang Kita Kenal)
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 05 Februari 2015
Ucapan Bill Gates yang saya kutip minggu lalu dalam kolom
ini rupanya tak bisa dianggap enteng. Katanya, ”Banking is necessary, banks are not.
”Ya, kita perlu perbankan, tapi banknya tidak. Aduh,
gimana dong kita yang bekerja di bank? Gates tidak main-main. Selain PayPal,
Google Wallet, dan Apple Pay, kini ada Zopa, Square, dan Amazon Payments.
Semuanya bukan bank, melainkan para inovator dalam dunia digital. Semuanya
menjalankan fungsi perbankan yang jauh lebih efisien dan efektif. Kini
bank-bank lokal kita pun mulai melirik M-Pesa (mobile money) yang populer di
Kenya.
Sekadar diketahui, satu dari tiga pemakai mobile money
dunia yang dua tahun lalu baru mencapai 60 juta pelanggan, adalah orang
Kenya. Pasalnya, 80% dari semua ponsel (yang jumlahnya sudah melebihi
populasi Kenya) telah bertransaksi melalui M-Pesa. Menurut kajian US News
& World Report, dalam 30 tahun ke depan, uang kertas, kartu kredit, dan
kartu debit akan menjadi sejarah.
Dalam 20 tahun, bahkan pekerjaan para teller yang menjadi
ujung tombak pelayanan bank akan berakhir, hanya ada petugas yang menangani
loan dan investasi yang jumlahnya terbatas. Uang akan digantikan oleh signal
ponsel yang memudahkan jutaan transaksi antarumat manusia. Tak mengherankan
bila lapangan pekerjaan sektor perbankan di banyak negara mulai menyusut.
Bayangkan kalau konsep branchless bank yang tengah digadang-gadangkan di sini
menjadi masif.
Change and Crisis
Semua itu tentu akan memicu ledakan dunia kerja di sektor
keuangan. Kita harus siap memasuki evolusi ini yang akan melahirkan krisis
kedua yang levelnya sedikit di bawah ledakan multidimensi yang kita alami
pada 1998. Kalaupun kejutannya agak ringan, mungkin karena ia lebih bersifat
evolutif saja sehingga tak terjadi seketika dan merata.
Saya kutipkan Anda dengan dua kalimat yang sangat
provokatif. Dari paparan Jo Caudron, pendiri dan CEO DearMedia, perusahaan
konsultan media digital. Bunyinya begini. Pertama, “The future is about permanently dealing with change and going in and
out of moments of crisis.” Kedua, “Are
you ready to deal with this in your business context? “ Sebagai penulis
buku cHaNgE!, sejatinya saya cukup
familier dengan ungkapan tersebut.
Saya sudah mengumandangkannya sejak lama, bahkan ketika
istilah “perubahan” masih belum begitu akrab di telinga sebagian besar
masyarakat kita. Kini, saya ingin menantang Anda. Siapkah Anda untuk senantiasa
menghadapi perubahan evolutif maupun revolutif? Siapkah Anda untuk senantiasa
berada dalam situasi krisis? Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi ini yang
kerap saya jumpai.
Sebagian kita menganggap perubahan sebagai sesuatu yang
menakutkan. Mengapa? Sebab perubahan jelas menuntut kita untuk juga berubah,
beradaptasi dan mempersiapkannya selagi kita bisa membaca dan
mengantisipasinya. Sekali lagi, bukan menakutnakuti, tapi kita semua harus
dibekali dengan prinsip-prinsip Agility,
agar tangguh keluar dari segala zona yang melenakan. zona nyaman.
Dan, ini bagian yang paling menakutkan, kapan kita
mestinya berubah? Jawabannya adalah kemarin! Itu sebabnya di Rumah Perubahan,
saya tengah menyiapkan sebuah game
yang kelak akan saya namakan agility
experience yang dapat Anda gunakan untuk melatih diri. Jadi, kita selalu
terlambat untuk berubah. Itulah yang menyebabkan perubahan menjadi sangat
menakutkan.
Perubahan Konsumen
Pada kolom minggu lalu, saya sudah menulis tentang kelak
di dunia kita hanya akan ada dua warga negara: digital native dan digital
immigrant. Siapa mereka? Digital native adalah anak-anak kita sekarang
ini. Mereka sejak lahir sudah akrab dengan berbagai produk teknologi, tanpa
perlu bersusah payah mempelajarinya terlebih dahulu.
Sementara kita adalah digital
immigrant. Untuk bisa memakai berbagai produk teknologi, kita harus
belajar habis-habisan. Kita harus membaca buku manualnya. Bahkan bertanya
kirikanan. Juga kepada anak-anak kita yang bahkan mungkin belum pernah
memakainya, tetapi ketika diberi kesempatan sebentar saja untuk mencoba,
mereka langsung paham dan bisa menggurui kita.
Saya ingin menambahkan data survei tentang konsumen baru.
Pertama, dari sisi alokasi waktu. Dari 18 jam yang mereka miliki per hari
(enam jam untuk tidur), tiga jam lebih mereka alokasikan untuk browsing di internet berselancar di
dunia digital berkamera sosial seperti yang saya ulas dalam buku Camera Branding. Di dunia maya
tersebut mereka mencari segala hal yang dianggap perlu. Lalu, selama tiga jam
lebih juga mereka habiskan untuk aktif melakukan social networking.
Mereka masih menonton televisi, tapi mungkin hanya sekitar
dua jam. Selebihnya rata-rata sekitar satu-dua jam mereka habiskan untuk
bermain video games, nonton film di bioskop, mendengarkan radio, menjawab e-mail,
SMS, atau aplikasi lainnya, ngobrol tentang berita atau produk-produk
terbaru. Hanya sekitar setengah jam yang mereka habiskan untuk membaca koran
atau majalah.
Kedua, adanya berbagai produk teknologi betul-betul
mengubah cara-cara pelanggan bank berinteraksi dengan perbankan. Ini datanya.
Hampir 60% pelanggan bank berinteraksi dengan perangkat mobile-nya. Mereka bisa bertransaksi 20-30 kali per bulan.
Bagaimana dengan pengguna tablet?
Jumlahnya berkisar 17%.
Mereka bertransaksi 7-10 kali per bulan. Pemakai ATM hanya
sekitar 8% dari seluruh pelanggan, dan bertransaksi hanya 3-5 kali per bulan.
Phone banking, jumlah penggunanya mungkin lebih banyak, berkisar 12%. Namun,
pengguna phone banking hanya bertransaksi 5-10 kali per tahun. Sekali lagi,
per tahun. Bukan per bulan. Lalu, berapa banyak di antara para pelanggan yang
masih bertransaksi secara tradisional dengan datang langsung ke bank? Mungkin
hanya tinggal sekitar 3%.
Di sana mereka hanya bertransaksi 1-2 kali per tahun.
Lagi, per tahun. Bahkan, bukan hanya customer
yang berubah perilakunya akibat hadirnya teknologi digital. Perilaku
korporasi pun berubah. Contohnya Amazon, mereka mengubah harga jual produknya
hingga 2,5 juta kali per hari. Sebagai perbandingan, Walmart dan Best Buy
hanya mengubah harganya 50.000 kali per bulan.
Dua Survei
Itulah perubahan yang terjadi di kalangan customer dan korporasi. Lalu,
bagaimana bank mesti menyikapi perubahan tersebut? Kalau perbankan menganggap
customer adalah segala-galanya, berikut saya kutipkan beberapa riset yang
memaparkan apa saja sebenarnya yang mereka harapkan dari perbankan.
Pertama, saya kutip dari The Financial Brand dalam survei yang mereka lakukan pada 2014.
Gambarannya begini. Sebanyak 81% pelanggan selalu bertanya-tanya, apa reward yang saya peroleh dari bank?
Jadi buat bank di sini, silakan mulai dipikirkan, apa kira-kira reward yang bakal kalian berikan untuk
para pelanggan. Lalu, 61% pelanggan juga ingin kemudahan dalam mengakses
layanan perbankan.
Intinya, mereka ingin bisa mengakses layanan, terutama
rekeningmereka, dimanasaja, kapan saja. Kemudian yang menarik, 58% pelanggan
ingin diperlakukan secara personal. Silakan Anda pikirkan kira-kira seperti
apa bentuk layanan yang personal. Masih ada lagi. Sebanyak 55% pelanggan
ingin perbankan memberikan masukan atau saran tentang bagaimana mereka bisa
meningkatkan kekayaannya. Ini saya lihat belum banyak dilakukan oleh
perbankan kita.
Mungkin banyak bank yang sudah menyediakan layanan wealth management, tapi belum
berdampak signifikan bagi peningkatan kekayaan nasabahnya. Sisanya, sekitar
52% pelanggan ingin perbankan memberikan masukan tentang kapan mereka mesti
membelanjakan uangnya dan kapan mesti menabung. Well, semakin tidak mudah
bukan untuk menjadi seorang bankir. Bukan seperti masa lalu, di mana Anda
tinggal menerima dana dari pihak ketiga dan menyalurkannya dalam bentuk kredit.
Keinginan customer
berubah, bank pun mesti berubah. Saya akan melengkapinya sedikit lagi dengan
survei lain yang dilakukan Accenture,
2014. Sebagian agak mirip dengan survei The
Financial Brand. Potretnya begini. Sebanyak 51% pelanggan ingin pihak bank
proaktif memberikan rekomendasi tentang produk dan jasa perbankan yang sesuai
dengan kebutuhan finansial mereka.
Kemudian, 48% pelanggan ingin pihak bank memberikan
analisis yang real time, bahkan forward looking, tentang aktivitas
belanja pelanggan. Masih ada dua lagi. Sebanyak 71% pelanggan ternyata lebih
suka hubungan yang bersifat transaksional dengan pihak perbankan.
Kemudian 27%, pelanggan lebih suka branchless digital
bank. Jadi cabang-cabang bank cukup digital saja, tak perlu memiliki berupa
gedung atau kantor yang berupa fisik. Itulah perubahan aspirasi dari para
pelanggan bank akibat hadirnya teknologi digital.
Awalnya terjadi tidak merata, tapi lambat laun semua kena
dampaknya, dari sebuah gelombang besar kejutan teknologi dari satu negara ke
negara lainnya. Siapkah Anda, para bankir, untuk berubah? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar