Pak
Jokowi, (Maaf), Tolong Hormati Birokrasi!
Tito Sulistio ; Founder
Charta Politica
|
KORAN
SINDO, 05 Februari 2015
Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia ketujuh
yang sangat saya hormati. Selamat! Saat ini Bapak telah lebih dari 100 hari
me-manage republik ini. Negara
dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Negara dengan jumlah pegawai
negeri sipil yang mencapai 4,5 juta orang ditambah dengan lebih dari sejuta
tentara, paramiliter, dan cadangan. Jumlah yang besar. Bapak Jokowi yang baru
jadi presiden, memimpin jajaran birokrat dalam suatu organisasi yang berbasis
birokrasi bukan pekerjaan mudah.
Birokrasi, asal kata bureaucracy, pada dasarnya adalah
suatu jenis organisasi yang lazim dipergunakan dalam suatu pemerintahan
modern, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat administratif. Organisasi
yang Bapak pimpin ini biasanya bersifat komando dengan bentuk piramida. Dalam
operasionalnya, piramida ini mengerucut tajam ke atas untuk pengambilan
keputusan dan tanggung jawab.
Organisasi semacam ini biasanya tidak mempunyai
fleksibilitas dalam beroperasi, bahkan cenderung kaku, karena tugasnya
mengoperasikan secara terpadu alur kerja organisasi pemerintahan yang besar
dan kompleks. Output utama dari para birokrat biasanya adalah kebijakan.
Bapak Presiden yang pernah jadi Wali Kota Solo, dari pengalaman saya
mendaftar di birokrasi, menjadi seorang birokrat murni di Indonesia sangat
tidak mudah.
Butuh kerja keras, pendidikan dan waktu yang panjang,
serta persaingan yang ketat untuk mencapai puncak karier. Bapak, nuwun sewu
mengingatkan, sampai masa Orde Baru, selama hampir 45 tahun usia republik
ini, tidak pernah ada jalan pintas untuk naik keatas dipemerintahan. Semua
ada jalur jabatan, jalur pendidikan formal dan terstruktur, ada urut kacangnya.
Syarat utamanya adalah lulusan S-1 yang diakui negara,
lalu si calon mengikuti ujian bersama puluhan ribu orang. Ujian yang tidak
mudah, karena seorang putri presiden pun bisa tidak lulus. Jika lulus,
interviu akan dilakukan oleh pejabat tinggi di departemen yang dia minati.
Semua memakan waktu hampir enam bulan penantian. Lulus sebagai calon pegawai
negeri, penempatan dan pendidikan di departemen sudah menunggu.
Setiap departemen dan kedirjenan sudah mempunyai struktur
pendidikan yang baik. Setahun pertama selain kadang menunggu waktu jatah
tempat untuk pendidikan internal, si calon pegawai negeri sipil (PNS) itu
akan ikut bekerja seperti layaknya seorang trainee. Secara kasatmata perlu belasan tahun bagi seorang
pegawai negeri untuk mencapai tingkatan eselon1/dirjen, menjadipanglima
perang lapangan.
Seorang eselon 1 dari pegawai negeri sipil, secara
pendidikan biasanya bergelar S3/doktor, mempunyai pengetahuan yang nyaris
sempurna tentang pekerjaan yang dia geluti, mempunyai network yang pastinya baik, serta teruji loyalitas terhadap
negara dengan belasan tahun pengabdian yang sudah dilakukan. Yang penting
juga adalah mengerti tata kerja pola memanajemen dan berhubungan dengan
birokrasi.
Karena itu, secara logika tidak ada yang lebih pantas menjadi
pimpinan departemen, menjadi menteri dibandingkan para birokrat itu. Inilah
yang selama 45 tahun merdeka dipraktikkan, terutama untuk departemen teknis
oleh para pemimpin negara terdahulu. Semua menteri yang sukses berlatar
belakang birokrat karier, dari jajaran eselon 1.
Pak Sumarlin, Pak Hartarto, Pak Marie Muhammad adalah
beberapa nama yang kiprahnya masih terdengar sampai sekarang. Bapak Jokowi
yang baru saja menunjuk para pembantunya, reformasi sepertinya mengubah
pandangan tentang kemampuan para birokrat.
Entah pengertian tentang Reformasi yang ngawur atau pemimpin negaranya yang ngawur, tapi menjadi pimpinan
birokrasi pemerintahan termasuk menjadi menteri sepertinya lebih mementingkan
kepopuleran, ketokohan bahkan saat terakhir kedekatan dengan pimpinan negara
atau pimpinan partai.
Menjadi menteri sepertinya dianggap bukan sesuatu yang
penting untuk kelancaran jalannya pemerintahan. Secara bodoh bahkan dengan
enteng ada tokoh pemerintahan yang mengatakan bahwa menteri itu jabatan
politik. Lah, kalau menteri jabatan politik, presiden serta wapres juga
jabatan politik, lalu siapa yang menjadi direktur mengelola negara ini? Ingat
bahwa karena autopilot pesawat bisa kecelakaan.
Bapak Jokowi, yang Presiden Indonesia, beberapa tahun ini,
maaf mengatakan, dengan seenaknya, memanfaatkan kekuatan politik yang
dimiliki, ditunjuklah oleh Presiden para menteri yang bukan hanya tidak
berasal dari birokrasi, tidak mempunyai latar belakang mumpuni, bahkan ada
yang tidak dikenal oleh Presiden! Menjadi menteri seperti pertunjukan mencari
idola di televisi.
Kepopuleran serta keberanian berkoar-koar dengan seenaknya
sepertinya menjadi syarat utama selain kedekatan dengan tokoh politik.
Dilantiklah dengan upacara yang lagi-lagi seperti show pertunjukan di media para menteri itu. Bapak Jokowi yang
sedang menilai para menteri, menteri pilihan Bapak atau yang diusulkan
partai, sepetinya memang hebat!
Para menteri itu hanya butuh waktu beberapa minggu bahkan
ada yang beberapa hari untuk menganggap dirinya telah mengerti dan bisa
memecahkan masalah pemerintahan. Mereka langsungmengambilkeputusan,
mengeluarkan kebijaksanaan, bahkan juga mencabut beberapa kebijaksanaan yang
sebelumnya telah dibuat dengan pemikiran yang mendalam dari semua segi
danmelibatkandepartemen yang terkait.
Pertanyaan memang, apakah para menteri itu memang para
jenius, yang bisa langsung memecahkan problema yang sudah dihadapi para
birokrat selama puluhan tahun atau sebenarnya hanyalah badut politik yang sok
tahu yang ingin memanfaatkan kesempatan jabatan yang dimiliki untuk mengambil
posisi politik lebih tinggi? Bapak Presiden Jokowi yang diharapkan membela
birokrasi, banyak kebijakan sebagai output kerja menteri Bapak yang lebih
berupa keputusan bisnis semata.
Beberapa peraturan, bukan kebijakan publik, yang dibuat
para menteri itu seperti keputusan para direktur dalam mengelola perseroan.
Pelarangan- pelarangan tanpa perhitungan, peraturan-peraturan yang lebih
berbau publisitas sesaat, bahkan bergaya blusukan secara serampangan, sebagai
suatu pemborosan banyak dipertontonkan para pembantu Bapak.
Para menteri berebut mempertontonkan pelecehan hasil olah
pikir para birokrasi yang telah teruji itu. Pelarangan yang dibuat bahkan
sudah menyentuh area pribadi para birokrat. Penunjukan para staf khusus
sepertinya meremehkan kemampuan para dirjen atau direktur. Pertanyaan memang,
apakah 4,5 juta PNS itu dianggap demikian bodohnya oleh para pembantu Bapak
sehingga mereka dengan mudah mengubah kebijakan dalam sekejap dan harus
mengambil tenaga khusus dari luar dengan mengabaikan birokrasi.
Apakah mencari keuntungan itu tugas departemen, tugas
menteri? Apakah berhemat itu lebih penting dari tugas negara menjadi
lokomotif stimulus pembangunan dengan menciptakan multiplier effect untuk kesejahteraan masyarakat. Apakah pegawai
pemerintahan itu harus terlihat miskin?
Bapak Presiden yang telah bersumpah sesuai konstitusi
untuk memegang teguh konstitusi, menjalankan segala undang-undang, sesuai UU
No 5 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, fungsi PNS terutama adalah melayani
publik dan menjadi unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Fungsi ini
wajib hukumnya dikoordinasi oleh para menteri, yang walaupun bukan PNS,
walaupun hanya pembantu kontrakan presiden, walaupun jenius, harus
mengutamakan fungsi pelayanan dan perekat kesatuan bangsa.
Bukan tugas menteri menghitung-hitung keuntungan seperti
fungsi seorang direktur di perseroan. Bukan fungsi semua menteri blusukan,
memboroskan uang rakyat bergaya seperti Presiden mencari popularitas semu.
Tugas menteri kerja melayani publik, memastikan negara jadi lokomotif
pembangunan, dan yang wajib tidak meremehkan birokrasi yang suatu saat akan
mereka tinggalkan.
Bapak Presiden Jokowi yang didukung mayoritas rakyat,
semoga Bapak tetap sehat, tetap eling. Bagi sebagian menteri Bapak, mungkin
ini masa kampanye mereka, buat jajaran birokrasi ini adalah hidup mereka
sebagai ujung tombak pemerintahan, tapi buat bapak Presiden, punten Pak, this is governing, not campaigning! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar