Produksi
Padi Berkelanjutan
Siwi Nugraheni ; Kepala
Pusat Studi Ilmu Ekonomi
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
|
KOMPAS,
06 Februari 2015
SALAH satu tugas Menteri Pertanian Kabinet Kerja yang
diamanatkan Presiden Joko Widodo adalah mewujudkan swasembada pangan (baca:
beras) dalam waktu tiga tahun. Tercapainya swasembada pangan dianggap sebagai
jawaban atas persoalan ketahanan pangan. Salah satu kunci mencapai ketahanan
pangan adalah kedaulatan (petani tanaman) pangan. Selama ini petani tak punya
kendali atas harga, hasil dan sarana produksi serta yang sering terjadi
adalah penghasilan petani (beras) tak sepadan dibanding biaya untuk membeli
sarana produksi (benih, pupuk, dan pestisida). Petani padi identik dengan
kemiskinan sehingga menjadi petani bukanlah cita-cita sebagian besar generasi
muda Indonesia (Ngadi, ”Pangan dan
Regenerasi Petani”, Kompas, 27 November 20014).
Pertanian organik menjanjikan tercapainya kedaulatan
petani atas sarana produksi karena sistem ini memungkinkan pelakunya
menghasilkan pupuk dan pestisida (alami) secara mandiri. Lalu, mengapa
pertanian padi organik tak banyak dipraktikkan di Indonesia?
Produktivitas sawah
Pendapat masyarakat umumnya adalah produktivitas sawah
organik lebih rendah ketimbang produktivitas sawah konvensional yang
menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Data BPS menunjukkan hasil produksi
rata-rata sawah di Indonesia baik organik maupun konvensional adalah 4,4 ton
per hektar pada 2000. Kemudian cenderung meningkat dari tahun ke tahun, mencapai
5,15 ton per hektar pada 2013.
Hasil kajian awal kami terhadap beberapa petani padi
organik di lima kabupaten di Jawa Barat (Bandung, Bandung Barat,
Tasikmalaya, Indramayu dan Sumedang)
menunjukkan, produktivitas sawah mereka 7-10 ton per hektar, bahkan ada salah
satu petani yang mampu mencapai 12 ton per hektar dalam satu musim tanam di
tahun 2014.
Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya yang membandingkan
tingkat produktivitas antara sawah konvensional dan sawah organis sejak 2005
juga menunjukkan data senada. Produktivitas sawah konvensional tak pernah
lebih tinggi dibandingkan dengan sawah organik. Tahun 2012 sawah konvensional
di Tasikmalaya rata-rata menghasilkan 6,6 ton padi per hektar, sementara
sawah organik 7,8 ton padi per hektar.
Produktivitas sawah organik yang lebih tinggi dibandingkan
sawah konvensional memang tidak selalu berbanding lurus dengan penghasilan
petani karena bisa saja harga hasil produksi lebih rendah dan/atau biaya
produksi (lebih) tinggi. Petani padi organik di Indonesia sebetulnya tak
mengalami kedua hal ini atau minimal dapat menghindarinya. Harga beras
organik di kota-kota besar hingga saat ini masih lebih mahal dan cenderung
stabil dibandingkan dengan harga beras hasil pertanian konvensional.
Permintaan pada beras organik di kota besar, seperti Jakarta dan Bandung,
juga cenderung meningkat sehingga pendapatan kotor petani padi organik dapat
dipastikan lebih tinggi dibanding dengan petani padi secara konvensional.
Perbedaan biaya produksi padi organik dan padi konvensional
terletak pada komposisinya. Sawah konvensional menggunakan benih, pupuk dan
pestisida kimia yang harus dibeli, tetapi karena tak perlu memproduksi
sendiri, pemakaian sarana produksi pertanian kimia ini akan menghemat biaya
tenaga kerja. Sementara, sawah organik menggunakan benih, pupuk dan pestisida
yang dapat dibuat sendiri oleh petani sehingga biaya bahan baku lebih rendah,
tetapi akan menambah biaya tenaga kerja untuk mempersiapkannya. Menanam padi
secara organik biasanya juga disertai penerapan System of Rice
Intensification (SRI) yang sangat menghemat biaya benih.
Tantangan
Penerapan pertanian organik menghadapi beberapa tantangan.
Pertama, ketersediaan pupuk kompos untuk mencukupi kebutuhan di awal
penerapan sistem organik. Sawah yang semula ditanami dengan sistem
konvensional, ketika dikonversi ke sistem organik membutuhkan pupuk kompos
dalam jumlah besar sebagai proses ’detoksifikasi’. Masa transisi yakni
konversi dari sistem konvensional ke sistem organik ini biasanya dua tahun
atau empat musim tanam.
Kedua, menjadi petani organik dianggap lebih merepotkan:
pupuk yang biasanya sudah tersedia meski membeli dari luar, kini harus dibuat
dan dipersiapkan secara mandiri, begitu pula halnya dengan pestisida.
Pertanian organik membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga. Ketiga, seperti
disebutkan sebelumnya, konversi dari sistem konvensional ke sistem organik
biasanya akan melalui masa transisi selama dua tahun, dan sepanjang masa
transisi tersebut tak jarang produksi akan menurun drastis jika asupan pupuk
kompos kurang. Keberadaan masa transisi menjadi disinsentif bagi petani untuk
beralih ke sistem organik.
Salah satu keunggulan pertanian padi organik saat ini
adalah harga beras organik yang lebih mahal ketimbang harga beras dari sawah
konvensional. Untuk mendapatkan harga premium ini, sertifikasi menjadi
penting. Biaya sertifikasi yang relatif mahal masih jadi tantangan
berikutnya.
Produktivitas sawah organik terbukti lebih tinggi
dibanding sawah konvensional. Sistem pertanian organik juga berpotensi
meningkatkan pendapatan petani karena produksi rata-rata yang lebih tinggi
dapat diimbangi dengan biaya produksi yang lebih rendah, jika sarana produksi
(benih, pupuk dan pestisida) dibuat secara mandiri. Pertanian organik juga
meningkatkan kedaulatan petani pelakunya dalam rantai pasokan sarana produksi
(benih, pupuk dan pestisida).
Keunggulan lainnya, beras organik yang bebas pestisida
kimia dianggap lebih baik bagi kesehatan. Dari sisi kelestarian lingkungan,
dalam jangka panjang sistem pertanian padi organik tak hanya mengembalikan
kesuburan lahan sawah, tetapi juga memperbaiki kualitas ekosistem. Pertanian
organik identik dengan meningkatnya keanekaragaman hayati. Dari aspek budaya,
sistem bertani organik ternyata juga dapat menjadi ajang menggali kearifan
lokal. Resep membuat pestisida alami untuk menanggulangi serangga yang sama
bisa berbeda antara satu lokasi dan lokasi lain. Keunggulan-keunggulan ini
menjanjikan potensi pertanian padi organik dalam mewujudkan ketahanan pangan
yang sesuai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), konsep
pembangunan yang berlandaskan tiga pilar: pertumbuhan ekonomi, kelestarian
lingkungan dan keadilan sosial.
Tugas kita sekarang mengatasi tantangan-tantangan di atas.
Ketersediaan sarana produksi terutama pupuk kompos, di awal penerapan sistem
organik harus dapat dijamin, dengan harga terjangkau. Penurunan produksi juga
menyertai masa transisi. Untuk melewati masa transisi petani perlu mendapat
bantuan finansial tanpa membuat mereka memiliki ketergantungan berkelanjutan.
Setelah masa transisi terlewati, produktivitas mulai meningkat dan penyediaan pupuk dapat dilakukan secara
mandiri oleh petani. Meski demikian, bimbingan/pendampingan masih tetap
dibutuhkan. Jika bimbingan di lapangan dilakukan secara berkesinambungan,
maka secara otomatis sudah ada jaminan bahwa hasil produksinya adalah beras
organik. Jika jaminan ini kredibel di mata konsumen, sertifikasi yang berbiaya
mahal dapat dipangkas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar