Memperkuat
Kesetaraan PTN-PTS
A Ilyas Ismail ; Dosen
UIN Syarif Hidayatullah, Dekan FAI-UIA
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Februari 2015
DALAM pertemuan Asosiasi Perguruan
Tinggi Swasta Se-Indonesia (Aptisi) dengan Menristek Dikti Muhammad Nasir di Semarang,
beberapa waktu lalu, kalangan PTS menyampaikan banyak keluhan (curhat) kepada
Pak Menteri, soal kebijakan dan perlakuan pemerintah yang selama ini dinilai
kurang adil, bahkan diskriminatif.Keluhan itu dinilai wajar karena pihak
swasta dianggap memiliki peran penting dalam ikut serta mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tanpa peran swasta (PTS), APK (angka partisipasi kasar)
dalam pendidikan akan sangat rendah. Lantas, mengapa pemerintah bersifat
diskriminatif, memberikan dukungan dan layanan secara berbeda, alias
dikotomik, antara PTN dan PTS?
Perbedaan itu bisa dilihat dalam
banyak kasus. Pertama, soal bantuan atau hibah. Sekadar contoh, untuk PTN
hibah penelitian diberikan dalam bentuk block
grant, sedangkan untuk PTS diberikan secara kompetitif melalui usulan
proyek proposal. Bantuan atau hibah kepada PTN diberikan dalam jumlah sangat
besar. Untuk satu PTN, bantuan bisa mencapai angka miliaran rupiah, bahkan
triliunan rupiah, sedangkan untuk PTS tidak lebih dari Rp200-an juta saja.
Kedua, soal bantuan beasiswa.
Beasiswa Bidik Misi (beasiswa pendidikan untuk mahasiswa miskin berprestasi)
hanya diberikan dan dinikmati PTN. Beasiswa jenis itu tidak diberikan kepada
PTS. Jumlah dana Bidik Misi terus dinaikkan dari tahun ke tahun. Untuk 2013,
dana Bidik Misi mencapai angka Rp1,67 triliun yang diberikan kepada sekitar
156 ribu mahasiswa. Bayangkan, seandainya jumlah dana yang sama juga
diberikan kepada PTS, akses dan kesempatan anak negeri untuk mengenyam
pendidik tinggi akan semakin besar.
Ketiga, soal layanan. Untuk PTN,
layanan diakomodasi secara langsung melalui Dikti (Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi), sedangkan untuk PTS, diakomodasi Kopertis (Koordinasi
Perguruan Tinggi Swasta) yang tersebar dari Kopertis I di Medan hingga
Kopertis XII di Ambon dengan wilayah kerja meliputi Ambon, Maluku, Maluku
Utara, Papua, dan Irian Jaya. Pelayanan dua atap itu, selain kurang efisien,
ikut andil dalam melestarikan dikotomi PTN-PTS.
Kesetaraan PTN-PTS
Dalam berbagai kesempatan,
Menristek Dikti berjanji akan menghilangkan dikotomi PTN-PTS dan meningkatkan
kesetaraan. Salah satu langkah kebijakan yang diambil ialah membubarkan
Kopertis dan menggantinya de ngan L2PT (Lembaga Layanan Perguruan Tinggi).
L2PT merupakan lembaga (satu atap) yang memberikan layanan secara bersama
baik untuk PTN dan PTS. Langkah itu dinilai tepat dan diapresiasi kalangan
PTS.
Namun, untuk benar-benar
menghilangkan dikotomi PTNPTS, langkah itu belumlah cukup. Perlu ada
kebijakan dan langkah-langkah lain yang lebih strategis. Menurut penulis, ada
empat langkah paling tidak.
Pertama, melihat kembali peraturan
dan perundang-undangan yang ada mengenai dikti mulai UU No 12/2012 tentang
Perguruan Tinggi, PP No 4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan
Pengelolaan Perguruan Tinggi, termasuk ketentuan dan aturan di bawahnya dalam
bentuk kepmen dan permen, serta keputusan dan edaran Dirjen Dikti
Kemendikbud.
Menurut Marzuki Alie, mantan Ketua
DPR dan juga praktisi pendidikan, UU No 12/2012 tentang Perguruan Tinggi
telah membangun kesetaraan PTN-PTS. Namun, peraturan di bawahnya, PP,
permendikbud, dan seterusnya, boleh jadi masih mengandung bibit-bibit
dikotomik, secara eksplisit dan implisit. Untuk itu, Kemenristek Dikti
disarankan agar me-review dan
melakukan audit terhadap semua kebijakan sebelumnya.
Kedua, membangun sistem
penganggaran baru yang lebih setara untuk PTN-PTS.APBN kita terus mengalami
kenaikan dari tahun ke tahun. APBN Perubahan 2013 mencapai angka Rp1.726,2
triliun. APBN 2014 naik 5% menjadi Rp1.816,7 triliun. APBN 2015, pada tahun
pertama masa kepemimpinan Joko WidodoJusuf Kalla, naik lagi menjadi Rp2.039,5
triliun. Jika dihitung secara kasar, 20% dari total APBN, anggaran pendidikan
mencapai angka Rp400 triliun lebih. Itu jumlah yang sangat besar. Jika
alokasi dan penggunaan tidak merata, selain dinilai kurang adil, hal itu akan
terus men jadi sumber kekisruhan seperti yang selama ini terjadi.
Ketiga, memperbesar bantuan dosen
untuk PTS. Selama ini bantuan dosen PNS untuk PTS (dikenal dengan sebutan
dosen dipekerjakan, DPK) sudah dilakukan, tetapi dalam jumlah yang sangat
kecil, dan itu pun umumnya terdiri dari PNS yang sudah masuk `usia senja'
alias hampir pensiun. Padahal, disadari, soal SDM merupakan masalah paling
krusial di lingkungan PTS.
Keempat, hal yang tidak kalah
pentingnya, yaitu memecahkan problem besar pendidikan kita, yaitu problem
akses dan kualitas. Seperti diketahui, problem akses terkait dengan
kesempatan semua anak negeri untuk mengenyam pendidikan tinggi, dengan
bertanya: “Who get higher education?“
John Brennan melihat soal akses ini sebagai masalah sangat fundamental,
khususnya bagi masyarakat yang masih memandang ijazah dan sertifikat sebagai
kunci legitimasi bagi peran orang dewasa, status sosial, kepakaran dalam satu
disiplin ilmu, kemajuan, bahkan dalam demokrasi (The Role of Universities, 2004, p 14).
Selain akses, problem yang lain
ialah kualitas. Itu masalah yang lebih mendasar lagi. Problem itu tidak hanya
berkaitan dengan sedikitnya perguruan tinggi kita yang masuk daftar 500 World Rank University, tetapi juga
terkait dengan makin menjauhnya pendidikan dari tujuan [pendidikan] yang diamanatkan
UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, yaitu `mewujudkan manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab'.
Gagasan Menristek untuk menghilangkan
dikotomi PTN-PTS dapat memberikan harapan dan membuka jalan baru untuk bisa
memecahkan kedua problem besar di atas.Hal itu penting mengingat perguruan
tinggi saat ini menghadapi tantangan berat. Selain harus menunaikan tugas
pokoknya, yaitu menciptakan ilmu pengetahuan (knowledge creation), setiap perguruan tinggi, baik negeri maupun
swasta, diminta untuk ikut menjaga dan mengawal moral bangsa, sebagai bagian
integral dari moral akademik, yaitu menemukan, menyampaikan, dan
mempertahankan kebenaran.
Perguruan tinggi juga diminta
untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan
ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge
based economy). Bahkan John Brennan dan Roger King memasukkan satu peran
lain lagi yang harus ditunaikan perguruan tinggi, yaitu mengisi apa yang
dinamakan protected space (berupa
sumbangan pemikiran, waktu, tenaga, dan high
politic) yang memungkinkan orang lain bisa berbuat to think unthinkable, to
push the limits of possible, to reflect and re-assess sehingga lahir
transformasi sosial dan kultural seperti diharapkan.
Secara internal, menurut penulis,
sebagai sesama pengelola, pemimpin atau akademisi di perguruan tinggi,
PTN-PTS, PTU atau PTA, kita harus membangun sinergi dan kebersamaan. Musyarakah la mughalabah. Bersanding bukan bertanding. Sementara
itu secara eksternal, dengan kekuatan bersama yang dimiliki, kita harus
berani berkompetisi dengan pihak-pihak mana pun baik secara regional maupun
global, dengan mengamalkan prinsip: engage
lokally compete globally. Wallahualam!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar