Risiko
Pusaran Kemakmuran
Bagong Suyanto ; Dosen Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial
di Program Studi Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
23 Januari 2015
PENGUMUMAN siapa saja yang termasuk orang terkaya di
Indonesia dan di dunia, sebagaimana rutin dilakukan Forbes, sesungguhnya
tidak terlalu mengejutkan. Nama-nama yang masuk dalam daftar 50 orang terkaya
di Indonesia pada akhir 2014 niscaya tak jauh beda dengan tahun-tahun
sebelumnya. Yang berubah biasanya urutan dan jumlah akumulasi kekayaan yang
dikumpulkan para konglomerat itu setiap tahunnya.
Untuk tahun 2014, posisi puncak orang terkaya di Indonesia
tetap diduduki dua bersaudara pemilik pabrik rokok Djarum dan BCA, yakni Budi
Hartono dan Michael Hartono, dengan jumlah kekayaan mencapai 16,5 miliar
dollar AS atau Rp 202 triliun. Kedua orang ini juga masuk daftar 40 orang
terkaya di Asia. Di posisi kedua adalah pemilik pabrik rokok Gudang Garam,
Susilo Wonowidjojo, dengan jumlah kekayaan sekitar Rp 98,4 triliun dan posisi
ketiga Anthony Salim dengan kekayaan Rp 72,5 triliun (Kompas, 5 Desember
2014).
Dari laporan Forbes, yang menarik disimak bahwa total
kekayaan 50 konglomerat Indonesia ini dalam setahun terakhir ternyata
meningkat 7,3 persen. Total kekayaan para konglomerat terkaya di Indonesia
tahun ini mencapai Rp 1.250 triliun, naik cukup signifikan jika dibandingkan
dengan tahun 2013 yang ”hanya” Rp 1.143 triliun. Sebagai orang-orang
superkaya, para konglomerat itu benar-benar hidup di pusaran kemakmuran yang
akan terus melambungkan mereka sebagai orang terkaya yang semakin kaya.
Polarisasi sosial
Meningkatnya jumlah kekayaan para konglomerat di Indonesia
di satu sisi tentu harus disambut gembira dan diberi apresiasi. Hal itu
paling tidak mencerminkan kinerja perekonomian dan bisnis yang mereka geluti
kinerjanya membaik. Namun, pertanyaan kemudian, di tengah kondisi
perekonomian yang dibayang-bayangi inflasi dan perkembangan sektor riil yang
terhambat, mengapa orang-orang terkaya di Indonesia itu tetap mampu bertahan,
bahkan dapat memetik keuntungan dari situasi perekonomian yang kurang
menggembirakan? Sementara itu, bagaimana dengan nasib orang-orang miskin yang
ada di pusaran kemelaratan?
Laporan Bank Dunia yang terbaru menyatakan, pada 2002,
rata-rata konsumsi per orang dari 10 persen rumah tangga paling kaya di
Indonesia adalah 6,6 kali lipat dibandingkan dengan 10 persen rumah tangga
yang paling miskin. Sementara itu, pada 2013, perbandingan ini telah
meningkat menjadi 10,3 kali sehingga dapat dipastikan di balik meningkatnya
jumlah kekayaan para konglomerat itu sebetulnya yang terjadi adalah munculnya
polarisasi sosial yang semakin melebar di Indonesia.
Ketika sekelompok kecil konglomerat mampu menambah
pundi-pundi kekayaannya, ternyata sebagian besar penduduk miskin rawan
terancam kolaps karena penghasilan mereka digerus inflasi dan penurunan nilai
tukar produk yang mereka hasilkan. Fenomena kontradiktif dan ironis ini
terjadi karena alih-alih bisa mencuri kesempatan untuk meningkatkan usaha dan
melakukan mobilitas vertikal, dalam struktur sosial yang semakin kaku, posisi
tawar orang-orang miskin justru semakin menurun. Bahkan, margin keuntungan
yang mereka peroleh pun ujung-ujungnya semakin tipis.
Sekadar contoh adalah apa yang dialami para petani
tembakau saat ini. Dalam situasi cuaca yang kerap anomali, di sejumlah daerah
kita bisa melihat tidak sedikit petani tembakau yang jatuh atau bangkrut
lantaran kualitas daun tembakau yang mereka hasilkan anjlok gara-gara hujan
salah mongso. Namun, mengapa daftar orang-orang terkaya di Indonesia umumnya
selalu didominasi pengusaha rokok, yang notabene bahan bakunya adalah daun
tembakau? Mengapa petani tembakau yang menyuplai bahan baku rokok jatuh
miskin, tetapi pengusaha yang mengolah daun tembakau menjadi rokok justru
muncul menjadi orang paling kaya di negeri ini? Di mana letak kesalahan yang
terjadi?
Risiko sosial
Saat ini tidaklah keliru jika dikatakan yang tengah
terjadi dan dialami masyarakat Indonesia adalah sebuah kondisi kemiskinan dan
ketimpangan struktural. Masyarakat disebut mengalami ketimpangan struktural
ketika di sana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat
dan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya.
Masyarakat yang terkategori miskin itu, meski jumlahnya
paling besar, dalam kenyataan tidak punya kekuatan apa-apa untuk mampu
memperbaiki nasib hidupnya. Sementara sebagian kecil konglomerat, akibat
kedekatan mereka dengan patron politik mereka dan akumulasi kekayaan yang
berhasil mereka kumpulkan, biasanya akan mengembangkan monopoli dan
mengontrol berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama
golongan kecil konglomerat yang kaya raya itu masih menguasai berbagai
kehidupan masyarakat, selama itu pula diperkirakan struktur sosial yang
berlaku akan bertahan. Akibatnya, terjadilah apa yang disebut dengan
kemiskinan dan ketimpangan struktural.
Berbeda dengan para konglomerat yang begitu mudah
mendongkrak pundi-pundi kekayaannya karena berbagai privilese dan akses pada
kekuasaan yang mereka miliki, golongan masyarakat miskin biasanya kesulitan
melakukan mobilitas vertikal. Sebab, mereka tak memiliki akses pada
sumber-sumber permodalan dan jaringan kerja serta tidak memiliki kemampuan
menembus batas-batas struktur yang rigid.
Secara teoretis, spektrum antara kekakuan (rigidity) dan
keluwesan (flexibility) suatu sistem sosial merupakan dimensi struktural yang
memengaruhi terjadinya polarisasi sosial dan proses pendalaman kemiskinan.
Semakin kaku suatu sistem sosial dan semakin sulit batasan-batasan sosial yang
ditembus, semakin besar kemungkinan munculnya indeks keparahan kemiskinan
yang semakin kronis dan terjadinya polarisasi sosial yang semakin tajam.
Kaum miskin dan marjinal, seperti para petani yang tidak
memiliki tanah sendiri dan para petani yang tanah miliknya kecil sehingga
hasilnya tidak mencukupi untuk memberi makan dirinya sendiri dan keluarganya,
kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih atau dalam kata asing
disebut unskilled laborers, pekerja di sektor informal, dan lain-lain umumnya
akan selalu hidup dalam kubangan kemiskinan karena posisi tawarnya yang
lemah. Sementara itu, para konglomerat yang memonopoli berbagai bidang usaha
dan memiliki jaringan yang luar biasa luas, baik dalam ranah politik maupun
ekonomi, jangan kaget jika peluang mereka untuk mengakumulasikan kekayaan
dari tahun ke tahun justru semakin besar dan tak tercegah.
Joseph E
Stiglitz dalam bukunya The Price of
Inequality, How Today's Divided Society Endangers Our Future (2012) telah
mengingatkan risiko atau biaya sosial yang harus kita bayar ketika sebuah
negara atau bangsa membiarkan ketimpangan dan ketidaksetaraan membatasi ruang
gerak masyarakat miskin. Kemiskinan yang meluas dan ketimpangan struktural
tidak hanya berisiko mengganggu kerapuhan fondasi pertumbuhan ekonomi kita,
tetapi juga berisiko membawa bangsa ini pada tubir jurang kehancuran.
Bagaimana pendapat Anda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar