“Jokowinomics”
dan Pangan
Fachry Ali ; Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan Etika Usaha
|
KOMPAS,
23 Januari 2015
JAUH di luar tradisi kerja teknokratik, Presiden Joko
Widodo memerintahkan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo
menyukseskan program ketahanan pangan. Perintah ini, sebagaimana dilaporkan
The Jakarta Post (9/1/2015), direalisasikan dengan sebuah kesepakatan bersama
(MOU) antara TNI Angkatan Darat (AD) dan Kementerian Pertanian. Dalam
pelaksanaannya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan, AD akan
menerjunkan 50.000 prajurit dan 50.000 anggota Babinsa untuk mendukung
program ini.
Apa alasan pelibatan AD dalam program ini? KSAD Jenderal
Nurmantyo menjawab, ”Kecukupan pangan sangat penting bagi negeri ini dan bisa
memperkuat daya tahan nasional.” Walau dalam konteks kerja ”teknokratis”
jawaban tersebut bersifat retorika, penelaahan sejarah memperlihatkan jejak
aspek ”ideologis” dan politik-ekonomi ketahanan pangan.
Eksploitasi sumber daya pertanian
Logika ini tegak pada asumsi bahwa rencana menciptakan
ketahanan pangan akan menjadi usaha sistematis mengeksploitasi sumber daya
pertanian secara besar-besaran. Pada titik ini, mau tak mau kita teringat
pada ”revolusi perkebunan” di bawah program Sistem Tanam Paksa Pemerintah
Hindia Belanda kurun 1830-1970. Tinjauan lebih lanjut menunjukkan aspek
”ideologis” dan ekonomi-politik program ini, yaitu krisis fiskal daerah
koloni Belanda (Jawa) warisan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels
(1808-1811) dan Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stanford Raffless
(1811-1814) yang mencapai puncaknya 1824. Ini mendorong Gubernur Jenderal ven
der Capellen (1818-1824) menjadikan Jawa agunan guna memperoleh utang kepada
Palmer and Co, sebuah perusahaan Inggris berpusat di Calcuta, India.
Usaha ini, seperti ditulis Chr LM Penders dalam pengantar
suntingan dan terjemahannya Indonesia: Selected Documents on Colonialism and
Nationalism 1830-1942 (1977), mendorong negara induk (Belanda) dengan
terburu-buru memberikan talangan finansial koloninya ini pada 1826 dan 1828.
Akan tetapi, usaha ini bersifat tambal sulam. Karena itu, krisis fiskal
pemerintah koloni tetap membayangi. Inilah yang menyebabkan program Sistem
Tanam Paksa yang melahirkan ”revolusi perkebunan” ajuan Jenderal van den
Bosch diterima Raja Belanda. Seperti tertera dalam laporan aktivitasnya
sepanjang 1830-1833, van den Bosch menyatakan bahwa memiliki Jawa adalah
sebuah kehormatan (tribute), tetapi
mengalami salah urus yang parah hingga menimbulkan krisis fiskal berkepanjangan.
Ini terjadi lebih karena persoalan politik daripada
teknikal ekonomi, yaitu renggangnya hubungan penguasa Eropa-rakyat pribumi
dibandingkan dengan masa VOC yang dibubarkan 1799. Dengan mengambil Perang
Diponegoro (1825-1830) sebagai latar belakang, van den Bosch menyatakan
kerenggangan itu dipicu hasutan ulama-ulama Islam fanatik sehingga Sultan
Sepuh Yogyakarta memperlakukan orang-orang Eropa dengan cara menghina
(disdain). Karena itu, van den Bosch menyatakan supremasi Eropa harus ditegakkan
dengan cara lain: menghormati eksistensi penguasa-penguasa lokal. Sebuah
keyakinan bahwa rakyat tak akan patuh kepada penguasa asing, kecuali atas
persetujuan elite lokal.
Kebijakan bersifat indirect rule (memerintah secara tak
langsung) ini akan menguntungkan, seperti dinyatakan van den Bosch: ”to make
this relationship beneficial to us” (membuat hubungan ini menguntungkan
kita). Dimensi ”ideologis” dan politik-ekonomi Sistem Tanam Paksa yang
melahirkan ”revolusi perkebunan” ini terletak di sini, yaitu pengawetan
gagasan supremasi wangsa kulit putih yang terejawantah dalam bentuk
kolonialisme dan usaha menghindari kebangkrutan ekonomi dan politik bagi
negara induk yang terancam kehilangan koloninya.
Dan dalam praktiknya, eksploitasi sumber daya pertanian
memang bermuara ke arah itu. Walau secara teknikal pelaksanaan Sistem Tanam
Paksa ini bisa ditafsirkan usaha pionir mengeksploitasi sistem pertanian
Indonesia melalui asupan modal, teknologi, dan manajerial, ujungnya
melahirkan bangunan kekuasaan politik-ekonomi dalam skala tak berpreseden.
Yaitu konsolidasi kekayaan di atas mana an effective modern colonial state
(sebuah negara kolonial modern yang efektif) untuk pertama kalinya berdiri.
Bersamaan dengan itu, ”keabsahan” kolonialisme kembali ditegakkan. Dalam arti
kata lain, negara kolonial modern yang efektif itu berdiri di atas basis
material yang kokoh.
Ini dibuktikan oleh fakta berikut. Dalam laporan kegiatan
1930-1933, van den Bosch menyatakan hanya dalam dua tahun usia Sistem Tanam
Paksa, defisit fiskal (budget deficit) yang membebani negara induk (the
mother country) selama setengah abad terakhir telah berganti dengan
keuntungan. Pada 1832 ”lebih dari lima juta gulden dan pada 1833 lebih dari
10 juta gulden (keuntungan) telah dikirim ke Belanda.” Dan, lanjutnya, ”akhir
1834 diperkirakan sejumlah 28 juta gulden atau 30 juta gulden akan bisa
dikirim (ke Belanda).”
Di luar perkiraan van den Bosch, kurang dari 30 tahun
kemudian, Sistem Tanam Paksa ciptaannya ini telah melahirkan keuntungan
raksasa melebihi khayalannya. Dalam tulisan ”Building the Network of Railways
and Tramline”, yang dimuat dalam For
Profit and Prosperity: The Contributions Made by the Dutch Engineers to
Public Works in Indonesia, 1800-2000 [2008], Augustus J Veenendaal Jr
menyatakan melalui Sistem Tanam Paksa itu ”Jawa segera menjadi pelampung
(cork) di atas mana Belanda mengapung sehingga tak lama kemudian utang-utang
negara itu dapat dibayar melalui keuntungan-keuntungan positif Hindia Belanda.”
Bahkan, lanjutnya, ”keuntungan itu cukup besar untuk mendanai proyek-proyek
utama seperti penciptaan jaringan Rel Kereta Api Negara Belanda pasca 1860-an
dan proyek-proyek yang memfokuskan pada transportasi yang menghubungkan
Amsterdam dan Rotterdam melalui laut.”
Tak mengherankan jika Belanda tak pernah bermaksud
menjadikan Indonesia merdeka. Membahas karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana,
Gazali Dunia (2008) mengutip pernyataan Menteri Jajahan Belanda Hindrikus
Colijn (1933-37) pada 1930-an: ”Selama Gunung Mount Blanc berdiri, selama itu
Hindia Belanda tak pernah merdeka.” Ucapan Colijn ini bersifat ”ideologis”.
Sejarawan M C Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1981) menyebutnya
sebagai a bitter opponent of Ethical ideas (seorang penentang sengit
gagasan-gagasan Politik Etis). Dan, karena pernah menjabat direktur
perusahaan minyak Shell Belanda, Colijn tentu sangat paham arti ekonomi bagi
negerinya dengan menjajah Indonesia.
Bagi bangsa ini, Sistem Tanam Paksa pengalaman keperihan
kolektif kemanusiaan. Dalam catatan Ricklefs, sistem ini telah melibatkan
rakyat dengan angka mencengangkan. Pada 1840, sebesar 57 persen dan pada 1850
sebesar 46 persen penduduk Jawa dimobilisasi untuk tujuan itu. Unsur ”paksa”
dalam sistem ini menimbulkan kesengsaraan tak terperikan. Rakyat yang
dilibatkan, seperti dilaporkan Inspektur Sistem Tanam Paksa Vitalis
(1833-1838) pada 1851, tak lagi berbentuk manusia, melainkan, walking
skeletons (kerangka-kerangka berjalan). Mereka, ”dengan bersusah payah,
menyeret-nyeret diri dari satu ke tempat lain yang dalam proses itu kerap
dalam keadaan sekarat.”
Dalam laporan itu, Vitalis berterus terang mengakui: ”Jika tak menyaksikan sendiri, tentu saya
enggan melaporkannya.... Bahkan, korban-korban ini dapat dipergoki di jalan-jalan
ke arah Tasikmalaya, Garut, Arjawinangun dan Galo. Orang bahkan tak
mengacuhkannya!” Yang lebih menyakitkan adalah sikap anti-kemanusiaan di
dalamnya. Ketika Vitalis bertanya kepada bupati setempat, mengapa ia tidak
meminta mayat-mayat yang bertumbangan itu dikuburkan. Dengan seenaknya sang
bupati menjawab: ”Tiap malam, tubuh-tubuh itu akan diseret harimau.”
Membalikkan sejarah
Dengan fakta ini, bagaimana kita memahami program
kedaulatan atau ketahanan pangan dalam Jokowinomics dewasa ini? Jawabannya,
program itu usaha politik-ekonomi dan ”ideologi” serius membalikkan sejarah
keterjajahan dan kesengsaraan rakyat pada masa lalu. Ketahanan pangan bukan
saja identik menjaga kedaulatan bangsa, melainkan juga membebaskan rakyat
dari kesengsaraan.
Semangat inilah yang mengaum dalam ucapan Soekarno
(dikutip Ade Fitrianti, mahasiswi bimbingan saya di Pascasarjana UI, dalam
tesisnya ”Politik Impor Beras”, 2015), ketika berpidato di hadapan BPUPKI: ”Apa gunanya grondwet itu kalau tidak
dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi
droits de l’homme et du citoyen itu tidak bisa menghilangkan kelaparan orang
miskin yang hendak mati kelaparan.” Dengan fakta sejarah dan
politik-ekonomi di atas, kita bisa mengerti, mengapa Soekarno melihat
ketahanan pangan (yang menghindari rakyat mati kelaparan) ”sederajat” dengan
UUD (Grondwet) yang berisi hak-hak asasi warga negara (droits de l’homme et du citoyen). Maka tak heran jika Jokowi kini
mengerahkan semua sumber daya, termasuk kaum militer, untuk menyukseskan
program kedaulatan pangan.
Tentu saja, di dalam beberapa hal, usaha ke arah itu telah
dirintis sebelumnya. Harus diakui program-program Kementerian Pertanian dan
otoritas-otoritas lain yang
berhubungan dengan pangan selama satu dekade ini telah mengarahkan usaha
mewujudkan kedaulatan pangan. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan bukan
saja lebih bersifat teknis, melainkan masih ditandai oleh besarnya arus impor
pangan. Data yang diajukan Kompas (23/12/2014) menguatkan sinyalemen ini.
Sejak Januari hingga Oktober 2014, impor pangan telah
menelan devisa 6,6 miliar dollar AS, setara Rp 80 triliun. Di samping impor
beras yang menelan devisa 200 juta dollar AS, impor jagung, gula, kedelai,
daging sapi, tembakau, dan gandum ”pelahap” devisa terbesar, menghabiskan 700
juta dollar AS, 1,2 miliar dollar AS, 700 juta dollar AS, 1 miliar dollar AS,
500 juta dollar AS dan 2,1 miliar dollar AS. Pertumbuhan penduduk dan kelas
menengah beberapa dekade mendatang akan mendorong impor pangan dalam jumlah
lebih besar dan secara struktural mengancam daya tahan fiskal dan neraca
transaksi berjalan.
Arah kecondongan inilah yang harus dicegah. Apakah ada
presedennya? Salah satunya PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), BUMN di
sektor pangan. Di bawah Dirut Ismed Hasan Putro, RNI berusaha melihat
persoalan ini dari segi ”ideologis” dan ”politik” dengan menjadikan
kedaulatan dan ketahanan pangan sebagai ”gerakan”. Seperti tertera dalam
Transformasi RNI Terbang Tinggi (2014), bertekad memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat, termasuk pangan dan air; arus impor pangan dilihat sebagai
pertarungan politik. ”Bagaimana bisa di negeri yang tongkat kayu bisa
dijadikan tanaman, kok, impor begitu banyak. Impor jadi pemburuan rente elite
politik tertentu,” ujarnya.
Ini mendorong RNI menerjemahkan ”gerakan” ketahanan pangan
ke dalam intensifikasi, ekstensifikasi, dan sofistikasi, yang diejawantahkan
pada perluasan areal persawahan, mengembangkan dan memadukan sistem
perkebunan dengan ternak sapi dan pengemasan modern serta pengembangan model
perdagangan produk-produk pertanian dan pangan. Dilihat dari sini, RNI telah
berusaha merealisasikan semangat ideologis ketahanan pangan ke dalam kinerja
praktikal dan teknikal melalui asupan kapital, teknologi dan manajerial.
Namun, usaha semacam ini hanyalah petit model (model kecil) yang tak memadai
mengoreksi struktur sejarah Sistem Tanam Paksa abad ke-19, yaitu membalikkan
arah kekayaan material hasil eksploitasi sumber daya pertanian kepada rakyat
dan bangsa Indonesia.
Kendati demikian, meminjam frasa dari tulisan YB
Kadarusman (The Jakarta Post,
13/10/2014), secara teoretis ”gerakan” ini bisa disebut trickle-up economy, lawan dari trickle-down economy. Hal itu, yakni
kebijakan ekonomi yang secara sengaja didesain punya efek distributif dan
memberdayakan partisipasi rakyat banyak. Karena merupakan lapangan ”maha
luas”, program pengembangan sektor pangan akan mampu mengakomodasikan
partisipasi rakyat banyak tanpa prasyarat keterampilan.
Di sini pula
konteks ”ideologis” dan politik-ekonomi program ketahanan pangan
Jokowinomics. Yaitu kesediaan negara memobilisasi seluruh sumber dayanya
untuk membalikkan arah kebijakan dari trickle-down
kepada trickle-up economy. Dengan
melakukan itu, struktur kekuasaan oligarki ekonomi-politik sektor pangan lama
akan tertransformasikan kepada yang ”baru”, yang bersifat distributif dan
mengakomodasikan partisipasi rakyat banyak. Hanya dengan ini, sumber daya
material hasil eksploitasi sistem pertanian yang dimapankan struktur sejarah
Sistem Tanam Paksa bisa dibalikkan kepada rakyat dan bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar