Tahun Arogansi
Politik
Sukardi Rinakit ; Chairman
Soegeng Sarjadi Syndicate
|
KOMPAS, 30 Desember 2014
MALAM itu, ketika kami berdiri di depan sebuah hotel, Ketua Umum Partai
Persatuan Pembangunan versi Muktamar Surabaya, Romahurmuziy, berkata bahwa
para senior yang tak mau melepaskan kepemimpinan partai kepada generasi muda,
dalam hal ini kubu Suryadharma Ali, pada akhirnya akan malu di depan publik.
”Menang
ora kondang, kalah ngisin-ngisini (menang tidak terkenal, kalau kalah,
malunya enggak ketolongan),” katanya.
Penulis tertawa mendengar itu. Tidak saja sudah lama tidak mendengar
kata-kata mutiara tersebut, tetapi membenarkan pandangan tokoh muda PPP itu.
Konflik internal di tubuh PPP telah ikut menebarkan pesimisme di tengah
masyarakat bahwa partai politik tidak lebih dari sekadar perusahaan pribadi
para pemimpinnya yang memberikan keuntungan pasti, yaitu hak-hak istimewa
politik dan ekonomi.
Tidak mengherankan jika mereka enggan melepaskan kepemimpinan di tubuh
partai. Mereka abai pada cita-cita bahwa berpartai adalah bekerja dengan hati
untuk mewujudkan mimpi bersama membangun masyarakat adil dan makmur.
Sikap mereka yang ingin terus menguasai partai, jika tak boleh disebut
mengangkangi, membuat karakter mereka terkesan arogan. Mungkin benar
pandangan Daoed Joesoef (Kompas, 26/12)
bahwa mereka telah terserang virus fulus secara akut sehingga nilai-nilai
keutamaan dan kepemimpinannya hancur.
Selain PPP, konflik di tubuh Partai Golkar juga menyiratkan arogansi
politik yang berkembang di partai beringin itu. Terpilihnya Aburizal Bakrie
dalam musyawarah nasional di Bali secara aklamasi memicu keraguan masyarakat
pada keabsahan kepemimpinannya.
Ini berkaitan dengan ”hilangnya” beberapa calon ketua umum, seperti
Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan Agus Gumiwang Kartasasmita, di Munas
Bali. Apa pun alasannya, fakta itu mendelegitimasi hasil munas tersebut, dan
sebaliknya, menggambarkan praktik arogansi politik.
Sehubungan dengan hal itu, apabila berita di media massa dianggap
sebagai representasi masyarakat, Munas Ancol yang diselenggarakan kubu Agung
Laksono lebih mendapatkan dukungan publik. Penyelenggaraannya yang demokratis
menjadi kunci utama bahwa mereka tidak arogan dan melakukan kontestasi secara
terbuka dan akuntabel.
Secara umum, saya ingin mengatakan bahwa 2014 merupakan tahun yang
diwarnai dengan banyaknya perilaku arogansi di ranah politik. Bukan saja
arogansi yang terjadi di tubuh PPP dan Golkar, melainkan juga di parlemen.
Penetapan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) beberapa hari
sebelum pemilu legislatif dan tekanan agar pemilihan umum kepada daerah tidak
dilakukan secara langsung merupakan praksis arogansi politik. Di luar itu,
pernyataan awal Koalisi Merah Putih yang tidak mau menerima hasil pemilu
presiden dan berkehendak melawan terus-menerus juga merupakan anggota
himpunan arogansi politik.
Empat
alasan
Sekurangnya ada empat alasan terjadinya arogansi politik. Pertama,
berkaitan dengan berlakunya konglomerasi politik. Secara umum, partai politik
di Tanah Air saat ini dikuasai para saudagar. Sistem pemilihan langsung yang
membutuhkan banyak biaya membuat partai kehilangan ruang gerak idealismenya
dan terjebak pada pragmatisme.
Dalam situasi seperti itu, para saudagar yang menguasai dana mencukupi
lebih mudah masuk ke dalam lingkaran inti partai, bahkan langsung dipilih
menjadi ketua umum. Ketika situasi tersebut terjadi, partai otomatis
kehilangan nyawa perjuangan dan kemanusiaannya. Dia berubah menjadi sekadar
alat politik yang bekerja demi kepentingan ketua umum dan para letnannya.
Kedua, berkaitan dengan patronase politik. Setelah partai berada di
satu tangan, yaitu pengusaha yang politisi, kultur patronase secara otomatis
berkembang. Ketergantungan pada dana dan restu politik dari ketua umum
membuat kamar kelahiran politisi muda yang visioner terkunci.
Tidak mengherankan jika pada era Indonesia yang demokratis seperti
sekarang belum lahir politisi dan pemimpin sekaliber Bung Karno muda, Bung
Hatta muda, dan Bung Sjahrir muda. Ini disebabkan pendidikan dan pengaderan
politik yang selama ini tidak berjalan.
Faktor ketiga dari terjadinya arogansi politik adalah penguasaan sumber
daya politik. Politisi yang miskin nilai-nilai keutamaan berbangsa-bernegara,
tetapi kaya uang cenderung memandang bahwa setiap kepala ada harganya. Tidak
ada yang tidak bisa dibeli di bawah sinar matahari, baik itu media, jaringan
dukungan, maupun suara rakyat.
Mereka juga mudah terjebak pada keglamoran iklan dan menganggap bahwa
dengan iklan yang masif, semua dukungan politik otomatis sudah di tangan.
Mereka terlalu percaya diri dan arogan.
Terakhir, arogansi politik disebabkan dukungan populi. Perolehan suara
yang meningkat drastis dalam pemilu legislatif, antusiasme partai yang
mengajak koalisi, dan hasil pemilu presiden yang berselisih tipis memicu
darah arogansi bergolak.
Mereka percaya dukungan rakyat begitu dahsyat, apalagi disertai
hiruk-pikuk yel-yel. Mereka tidak pernah berpikir bahwa itu bukanlah dukungan
loyal, melainkan hanya pilihan politik sesaat mengikuti perilaku kerumunan.
Berkaca dari itu semua, arogansi politik memang tidak layak diteruskan.
Karena, seperti kata Romahurmuziy, kalau menang
ora kondang, kalah ngisin-ngisini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar