Reintegrasi Bukan
Solusi
Agus Widjojo ; Mantan Kepala
Staf Teritorial TNI
|
KOMPAS, 30 Desember 2014
SETELAH peristiwa tembak-menembak antara prajurit TNI dan anggota Polri
di Batam, 19 November 2014, mengemuka aspirasi dari berbagai kalangan untuk
mencari solusi permanen. Di antara berita yang muncul tersua gagasan
mengintegrasikan kembali pendidikan bagi perwira TNI dan perwira Polri tahun
pertama dari tiga akademi angkatan dan akademi kepolisian (teks mengalir Metro TV, 24 November 2014).
Memang sudah lama muncul ketidakpuasan atas langkah reformasi pemisahan
Polri dan TNI. Kebetulan sejak pemisahan itu banyak terjadi perselisihan
antara anggota TNI dan Polri, bahkan timbul korban jiwa pada kedua pihak.
Berdasarkan data Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran,
dalam tahun 2014 telah terjadi delapan kali konflik TNI-Polri. Jika dihitung
sejak reformasi dalam kurun 1999-2014, jumlah insiden hampir 200 kasus dengan
korban tewas 20 orang.
Peristiwa yang terjadi pada 19 November 2014 itu berawal dari
penggerebekan oleh petugas kepolisian setempat terhadap gudang penyimpanan
BBM ilegal. Insiden ini berlanjut di Markas Brimob setempat setelah anggota
TNI mendatangi Markas Brimob itu. Pada saat inilah ada tembakan anggota
Brimob yang melukai dua anggota TNI. Mengenai kegiatan itu dinyatakan oleh
Mayor Jenderal TNI Fuad Basya bahwa tindakan anggota TNI itu tidak diketahui
komandan atau pemimpin di atasnya (jumpa pers di Kantor Menko Polhukam, 14
November). Hasil penyelidikan tim investigasi TNI-Polri atas insiden
bentrokan anggota TNI dan polisi di Batam, Kepulauan Riau, menyimpulkan ada
anggota TNI yang menyalahi aturan dengan terlibat penjagaan BBM ilegal.
Sejumlah analisis pakar menyebutkan kasus penembakan anggota TNI di
Batam terkait dengan konflik ekonomi di antara anggota TNI dan Polri.
Menanggapi seringnya terjadi konflik antara anggota TNI dan Polri, Ketua
Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi menyatakan
aparat keamanan kerap mengelola bisnis ilegal karena kurangnya anggaran untuk
kedua instansi itu.
Karena frekuensi kejadian konflik antara anggota TNI dan Polri tak
dikenal dalam era ketika Polri masih merupakan bagian dari struktur Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), tidak mengherankan jika berdasarkan
perbandingan di atas, ada sebagian kalangan berpendapat bahwa penyebab
konflik antara TNI dan Polri adalah pemisahan Polri dari ABRI.
Berdasarkan itu dapat kita catat bahwa pertama, untuk TNI, terlibatnya
anggota TNI terjadi tanpa sepengetahuan komandan atau atasannya. Kedua,
anggota TNI yang terlibat itu tengah melakukan kegiatan yang melanggar
aturan: menjaga BBM ilegal. Ketiga, kelakuan anggota TNI adalah dalam
kapasitas perseorangan yang tidak mewakili satuan.
Dapat kita tarik kesimpulan bahwa konflik antara anggota TNI dan Polri
tidak berkaitan dengan pemisahan Polri secara struktural dari ABRI. Tentu
ketika Polri masih terintegrasi dengan ABRI, konflik antara Polri dan TNI
bisa dikatakan tidak mungkin terjadi karena kedua institusi terintegrasi
dalam satu institusi: ABRI. Alasan ini dapat memperkuat pendapat mereka yang
berpikir bahwa agar TNI tak bentrok dengan Polri, mengapa tak diintegrasikan
saja kembali kedua institusi itu?
Pertimbangan
legalistik
Ada satu pertimbangan lain yang lebih kuat untuk tidak mengintegrasikan
kembali Polri dengan TNI, yaitu pertimbangan legalistik yang diwadahi oleh
undang-undang, dan pertimbangan kompetensi fungsional. TNI mempunyai peran konstitusional
dalam fungsi pertahanan nasional. Peran pertahanan nasional pada dasarnya
adalah kemampuan menyelenggarakan operasi militer perang menghadapi ancaman
militer dari luar negeri. Fungsi organik sebuah kekuatan militer adalah melaksanakan tugas perang.
Institusi militer tak dirancang untuk berperan sebagai aparat penegak hukum.
Kompetensi fungsional institusi militer adalah penyelenggaraan perang.
Sebaliknya, fungsi konstitusional organik Polri adalah keamanan dan ketertiban masyarakat serta
penegakan hukum.
Dua kompetensi fungsional milik TNI dan Polri tidak dapat
diintegrasikan karena perbedaan karakteristik yang mendasar. Ini dapat kita
lihat dari pelatihan dalam pembinaan satuan TNI dan Polri. Latihan awal
anggota TNI akan diawali dengan keterampilan menembak dalam hubungan satuan,
berlanjut dengan pengembangan taktik tingkat satuan. Latihan untuk anggota
Polri akan berpusat kepada kompetensi yang diperlukan dalam peran aparat
penegak hukum, seperti penguasaan hukum, penyelidikan, dan penyidikan serta
menembak tepat secara perseorangan. Kalau ada keterampilan lapangan, seperti
menembak atau taktik lawan teror, tentu dilihat dalam perspektif penegakan
hukum.
Integrasi Polri ke dalam struktur ABRI merupakan implementasi dari
doktrin Dwifungsi di masa lalu. Praktik ini bersifat kontekstual dan tidak
merujuk kepada kaidah perbedaan fungsi pertahanan dan penegakan hukum dalam
sebuah kehidupan bernegara. Dalam mencari solusi permanen atas masalah
konflik TNI dan Polri, kita harus menempatkan amanat konstitusi serta peran
tiap institusi TNI dan Polri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara sebagai prioritas tertinggi dalam pertimbangan kita. Mengambil
solusi untuk mengadakan reintegrasi antara TNI dan Polri hanya akan
mengingkari hakikat permasalahan, memperlambat masa transisi demokrasi, dan
kembali kepada tatanan masa lalu.
Integrasi Polri dengan TNI, walaupun terbatas dalam bidang pendidikan
dan latihan, hanya akan memberi justifikasi bahwa TNI masih punya peran dalam
fungsi penegakan hukum dan keamanan dalam negeri. Sebaliknya,
mengintegrasikan pendidikan dan latihan Polri dengan TNI hanya akan
memperpanjang pengaruh dan mempertebal kultur militer pada anggota Polri.
Kondisi ini akan berpengaruh memperpanjang masa transisi Polri jadi polisi
sipil, sekaligus memperpanjang waktu yang diperlukan untuk melewati masa
transisi demokrasi.
Perilaku individu yang terbukti dalam berbagai konflik terjadi antara
anggota TNI dan Polri menunjukkan penyebab masalah ini ada pada fungsi
kontrol. Kontrol untuk tingkat perseorangan menjadi tanggung jawab peran
kepemimpinan di satuan masing-masing. Kontrol untuk tingkat kelembagaan
berada pada prosedur dan mekanisme checks
and balances serta kontrol demokratis tiap lembaga. Secara umum kekuasaan
eksekutif dikontrol oleh lembaga kekuasaan legislatif. Secara kelembagaan,
TNI dan Polri perlu dikontrol secara demokratis oleh otoritas sipil. Memang
terjadi ketidakseimbangan dalam fungsi kontrol demokratis antara TNI dan
Polri. Kalau TNI memiliki menteri pertahanan yang memegang akuntabilitas
politik atas TNI, Polri yang diposisikan langsung di bawah presiden
sepenuhnya tak memiliki pejabat politik yang memegang akuntabilitas politik
atas Polri. Secara operasional juga harus jelas Polri melaksanakan kebijakan
siapa. Karena keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi tanggung jawab
pemerintah sipil di daerah, seharusnya dalam peran operasional keamanan dan
ketertiban masyarakat, Polri melaksanakan kebijakan politik otoritas sipil di
daerah.
Keefektifan
pengawasan
Solusi konkret untuk mengatasi konflik antara TNI dan Polri adalah
meningkatkan keefektifan pengawasan dalam peran kepemimpinan satuan
masing-masing, baik TNI maupun Polri. Pemimpin TNI dan Polri harus meyakini
peran dan wewenangnya sesuai dengan amanat konstitusi, serta menekankannya
kepada anggota masing-masing. Kalau peran dan kewenangan TNI dan Polri
masing-masing telah berubah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, perubahan peran dan kewenangan itu harus diyakini
pemimpin TNI dan Polri, dan tak lagi menengok peran masa lalu.
Kontrol kelembagaan dalam sebuah demokrasi juga harus diyakini pemimpin
TNI dan Polri, bahwa untuk sebuah lembaga profesional dan operasional seperti
TNI dan Polri, masing-masing harus ditempatkan di bawah kontrol demokratis.
Perbaikan tingkat kesejahteraan bagi anggota TNI dan Polri agar tidak
melakukan tindakan ilegal bagi perbaikan kesejahteraan mungkin dapat mencegah
atau mengurangi kemungkinan konflik antara anggota TNI dan Polri.
Pada akhirnya tingkat kesejahteraan apa pun, apabila tidak diletakkan
atas dasar pengawasan serta penegakan aturan dan hukum melalui kepemimpinan
yang efektif, tak akan mengurangi konflik antara anggota TNI dan Polri
seperti di masa lalu. Konflik antara anggota TNI dan Polri dapat dikurangi
dan dicegah dengan meningkatkan fungsi pengawasan. Pengawasan atas
perseorangan melalui kepemimpinan yang efektif, sedangkan pengawasan atas
lembaga melalui fungsi checks and
balances serta kontrol demokratis.
Konflik antara anggota TNI dan Polri tidak disebabkan pemisahan Polri
dan TNI. Pemisahan Polri dan TNI merupakan keniscayaan berdasarkan lazimnya
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang memisahkan fungsi pertahanan dari
fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum, serta juga
kaidah demokrasi. Reintegrasi TNI dan Polri bukan merupakan solusi permanen
mengatasi konflik TNI dan Polri yang terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar