Gus Dur dan Aceh
Teuku Kemal Fasya ; Dosen
Antropologi Aceh
|
KOMPAS, 30 Desember 2014
TANGGAL 17 September 1999, di halaman depan Masjid Baiturrahman, Banda
Aceh, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dipapah dua pemuda Aceh, Azmi dan
Afdal Yasin, membuka selubung yang menutupi sebuah papan. Isinya dukungan
untuk referendum di Aceh. Gus Dur pun menangis tersedu. Tak jelas kenapa, tetapi ada yang
mengatakan ia merasa sedih karena ditipu.
Afdal Yasin ialah anak tokoh Nahdlatul Ulama Aceh Selatan dan
deklarator Partai Kebangkitan Bangsa di Aceh. Adapun Azmi tokoh pemuda Aceh yang terkenal karena
tinjunya kepada Ibrahim Hasan, mantan Gubernur Aceh. Ibrahim Hasan dianggap
bersalah karena menyetujui proposal daerah operasi militer (1989-1998).
Takdir sejarah menarik mantan Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) tiga kali itu menjadi presiden keempat RI pada 20
Oktober 1999, menggantikan BJ Habibie. Habibie tidak dipilih lagi karena
kebijakan blundernya memberikan referendum untuk Timor Timur (kini Timor
Leste) sehingga lepas dari pangkuan Republik Indonesia.
Dasar Gus Dur bukan seorang yang penakut dan traumatis, ia malah
semakin intensif berkomunikasi dengan masyarakat Aceh. Sejak dilantik sebagai
presiden, ia terus melakukan pendekatan menyelesaikan konflik secara
nonmiliter.
Berpuluh kelompok masyarakat Aceh bertemu dengannya, baik di Ciganjur,
Istana Negara, Hotel Peninsula, maupun di kediaman orang kepercayaan Gus Dur,
H Masnuh. Semua kalangan diterimanya: aktivis mahasiswa, aktivis perempuan,
ulama, politikus, dan juga tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tanpa protokoler
yang ketat. Pertemuan itu bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali!
Dari pelbagai pertemuan itulah, Gus Dur menemukan resep penyelesaian
Aceh melalui pihak ketiga. Masyarakat Aceh telanjur tak percaya kepada
Jakarta. Gus Dur memercayakan kepada Hassan Wirajuda sebagai ketua tim lobi
untuk menggandeng sebuah LSM internasional, Henry Dunant Centre (HDC), di
Davos, Swiss. Pada 2 Juni 2000, hadirlah kesepakatan internasional pertama
dalam sejarah republik ini untuk Aceh, yaitu Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause).
Sosok
empatik
Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang keras, baik di parlemen maupun
di pihak militer. Pihak GAM masih saja melakukan propaganda kemerdekaan
sehingga kekerasan di lapangan terus terjadi.
Jeda Kemanusiaan I hanya bertahan tiga bulan dan direvisi menjadi Jeda
Kemanusiaan II (15 September 2000). Lagi-lagi kesepakatan ini berakhir mungil
pada 15 Januari 2001. Petinggi militer menganggap Gus Dur membawa anomali
dalam penyelesaian konflik separatisme melalui internasionalisasi kasus Aceh.
Baku tempur di lapangan merusak harapan perdamaian.
Meskipun gagal damai, Gus Dur tak malah berbalik arah memilih
pendekatan represif. Dalam sebuah pertemuan dengan kami kelompok aktivis
mahasiswa setelah kegagalan Jeda Kemanusiaan, Gus Dur berucap, selama ia
presidennya, adalah haram mengambil kebijakan operasi militer lagi untuk
Aceh.
Gus Dur menjadi presiden kurang dari dua tahun (20 Oktober 1999–23 Juli
2001). Namun, untuk waktu pendek itu, ia berhasil melakukan puluhan
komunikasi dengan masyarakat sipil Aceh. Belum lagi pendekatannya dengan
masyarakat Papua atau urusan lainnya.
Bagi saya, itulah the real
blusukan, berkomunikasi dan memusyawarahkan pandangan-pandangan berbeda
secara intensif. Dalam sejarah Republik Indonesia, belum ada presiden yang
memiliki daya tahan sedemikian kuat untuk menerima dan mendengarkan semua
kalangan. Ia menghormati semua pandangan.
Setelah pertemuan Kongres Perempuan Aceh (Duek Pakat Inong Aceh), Februari 2000, perwakilan perempuan Aceh
menghadap Gus Dur untuk menyampaikan hasil kongres. Gus Dur telah mendengar
bahwa kegiatan tersebut ditolak oleh GAM dan aktivis mahasiswa Aceh karena
tidak membawa isu merdeka atau referendum. Perempuan Aceh saat itu membawa
pesan perdamaian untuk mengatasi ketegangan antara pilihan referendum,
otonomi khusus, dan merdeka.
Gus Dur bertanya, bagaimana ia tahu pilihan kelompok perempuan itu juga
menjadi tuntunan masyarakat Aceh lainnya. Naimah Hasan, perwakilan perempuan
saat itu, menyatakan bahwa jika substansi yang disampaikan sama dengan
masyarakat sipil lain, berarti kelompok perempuan mendapat dukungan. Namun,
jika disampaikan berbeda, sang Presiden bisa menilai apakah pilihan mereka
benar atau salah. Di ujung perbincangan, Gus Dur mengangguk tanda setuju.
Sosok
misterius
Meski dikenal sebagai pemikir Islam rasional, tindakan Gus Dur tidak
sepenuhnya mudah dinalar. Sebagai tokoh yang dibesarkan di alam pesantren,
aspek magisme dan karismatisme masih mudah merayu pandangannya. Tidak semua
tindakannya berdasarkan ukuran obyektif dan matematis.
Salah satu kegemaran Gus Dur adalah bersilaturahim dengan ulama-ulama
karismatis dari seluruh Nusantara. Di Aceh, salah seorang teman spiritualnya
ialah Tgk Ibrahim Woyla. Pernah suatu kali ia memerintahkan stafnya untuk
menjemput Abu Woyla ke Jakarta. Ternyata selama di istana, keduanya tidak
melakukan komunikasi verbal. Gus Dur sibuk dengan urusan kenegaraan,
sedangkan Abu Woyla sibuk berzikir. Ketika Abu Woyla berpamitan, Gus Dur
memeluk dan mengucapkan terima kasih untuk komunikasi yang sangat bersahabat
itu.
Bahkan, ketika jam-jam menjelang kejatuhannya sebagai presiden, Gus Dur
masih berkeras untuk mempertahankan kekuasaan kepresidenan yang didapatkan
secara konstitusional. Saat itu Abu Woyla berada di Istana Negara. Ia meminta
izin kepada ajudan presiden, Sutarman (Kapolri sekarang), agar bisa menduduki
kursi kepresidenan. Sutarman mendelik kepada pengikut Abu tanda tidak setuju.
Gus Dur mengetahui itu dan mempersilakan Abu Woyla untuk duduk.
Beberapa waktu Abu berdoa dan mengusap-usap kursi kepresidenan tersebut.
Setelah itu ia menyatakan, Gus Dur sudah waktunya turun. Tak tunggu lama, Gus
Dur setuju dan keluar istana dengan celana pendek memberikan salam
perpisahan.
Tanggal 30 Desember tahun ini sudah lima tahun Gus Dur wafat. Terlalu
banyak kisah dan sisi teladannya yang tak habis diulas. Kisahnya bersama Aceh
juga bagian dari sejarah penting bangsa ini. Tak elok dikecilkan atau
disamarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar