Satu Dasawarsa
Tsunami Aceh
Rasyid Indra Pratama ; Mahasiswa
Teknik Sipil Kyoto University Jepang,
Aktif di Kyoto University
Disaster Prevention School
|
JAWA POS, 26 Desember 2014
PAGI, 26 Desember 2004, Aceh dan kawasan sekitarnya menjadi saksi bisu
dahsyatnya terjangan gelombang tsunami yang merenggut ratusan ribu nyawa dan
mengakibatkan ribuan orang lainnya kehilangan tempat tinggal. Tidak berselang
lama, berita mengenai tsunami tersebut sudah tersebar ke berbagai penjuru
dunia dan mengundang simpati masyarakat internasional. Berbagai keran bantuan
kemanusiaan pun dibuka dan mengalir tidak henti-hentinya menuju Aceh.
Sekarang, sepuluh tahun sudah berlalu. Aceh sudah tersenyum lagi.
Rumah, jalan, dan jembatan sudah dibangun kembali. Pepohonan sudah tumbuh
menghijau. Namun, kita tidak boleh lupa untuk berkaca pada kondisi sekarang,
apakah kejadian satu dasawarsa yang lalu sudah menjadi pelajaran berharga
untuk bangsa ini? Apakah sistem manajemen bencana untuk mencegah korban jiwa
atau kerugian yang mungkin ditimbulkan untuk berbagai potensi bencana pada
masa mendatang mulai terbangun secara terpadu dan menyeluruh? Masing-masing
di antara kita punya jawabannya.
Kiranya, kita perlu sedikit belajar dari Jepang mengenai sistem
manajemen bencana ini. Jepang terletak di sabuk Sirkum-Pasifik sehingga
rentan dengan gempa bumi dan tsunami, sama dengan Indonesia. Pada 1995,
Jepang mengalami gempa yang sangat besar di wilayah Prefektur Hyogo (biasa
disebut The Great Hanshin Earthquake).
Akibat yang ditimbulkan cukup masif. Ribuan orang meninggal, ratusan
ribu bangunan rusak, hingga jalan layang sepanjang satu kilometer runtuh.
Kejadian tersebut cukup menjadi tamparan keras bagi pemerintah Jepang.
Setelah The Great Hanshin Earthquake, pemerintah Jepang mengevaluasi dan
secara besar-besaran memperbaiki sistem manajemen bencana.
Pada 2011, 56 tahun setelah The
Great Hanshin Earthquake, gempa bumi besar kembali terjadi di Jepang,
tepatnya di kawasan Tohoku di bagian utara Jepang. Kali ini diikuti tsunami
sehingga kerusakan semakin parah hingga berujung pada bocornya reaktor nuklir
di Fukushima. Sistem manajemen bencana yang telah dibuat sedemikian rupa
ternyata belum sepenuhnya efektif mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh
gempa bumi dan tsunami.
Namun, di luar semua celah kekurangan tersebut, setidaknya ada satu hal
positif yang bisa kita ambil dari sistem manajemen bencana di Jepang. Hal itu
bisa kita perhatikan langsung pada sebuah kota kecil di Jepang bernama
Kamaishi yang juga rusak parah diterjang tsunami pada 2011.
Kota Kamaishi yang hancur lebur itu ternyata menyisakan sebuah
keajaiban karena hampir seluruh siswa sekolah dasar dan menengahnya selamat
dari terjangan tsunami. Di antara 3.000 siswa, ’’hanya’’ lima orang yang
dikabarkan meninggal.
Pendidikan siap siaga bencana yang diberikan secara rutin di sekolah
menjadi kunci tingginya jumlah siswa sekolah dasar dan menengah yang lolos
dari terjangan tsunami di Kota Kamaishi. Mereka diajari cara melindungi serta
menyelamatkan diri ketika gempa dan tsunami terjadi. Kegiatan tersebut
dilakukan secara rutin dan berulang-ulang sehingga para siswa paham dan
tangkas ketika penyelamatan diri yang sebenarnya perlu dilakukan.
Pendidikan siap siaga bencana seperti itulah yang saya rasa perlu
diterapkan pula di Indonesia. Generasi muda bangsa ini adalah Indonesia masa
depan. Jika dibandingkan dengan orang dewasa, mereka relatif lebih mudah
menerima informasi yang disampaikan secara rutin dan berulang.
Dua hal itulah yang mendasari perlunya siswa di sekolah dijadikan
prioritas dalam pendidikan siap siaga bencana. Sepulang sekolah, para siswa
juga bisa menceritakan siap siaga bencana kepada orang tua mereka di rumah.
Dengan demikian, akan lebih banyak yang tahu pentingnya pendidikan siap siaga
bencana.
Peran bapak dan ibu guru tentu sangat diharapkan untuk mengajarkan
pendidikan siaga bencana di sekolah. Menjadi sangat komplet apabila mahasiswa
juga turut membantu guru di sekolah. Saat ini, hampir di setiap kota, atau
setidaknya di kota yang lumayan besar, terdapat setidaknya satu universitas.
Apabila dari tiap universitas tersebut ada satu grup mahasiswa saja yang
tergerak untuk membantu sosialisasi pendidikan siaga bencana di
sekolah-sekolah, saya membayangkan betapa cepatnya pendidikan siaga bencana
tersebut tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia, tanpa menunggu instruksi
tentang kurikulum siaga bencana dari pemerintah.
Serta, tentu saja, model pengajaran pendidikan siaga bencana kepada anak
sekolah dasar dan menengah tidak bisa disamakan dengan pengajaran kepada
orang dewasa. Perlu disajikan dengan cara-cara yang menarik seperti melalui
drama dengan tokoh-tokoh kartun, dengan menggambar bersama, dan sebagainya.
Pendidikan siaga bencana merupakan salah satu bagian dari sistem
manajemen bencana yang relatif paling ’’murah’’, namun sudah terbukti
berhasil diterapkan di Kota Kamaishi. Tentu, pendidikan siaga bencana saja
tidak cukup. Perlu berbagai tindakan lain, baik melalui infrastruktur atau
sosial, untuk bisa secara efektif mengurangi risiko karena gempa dan tsunami.
Terakhir, tentu kita semua tidak pernah berharap tsunami sepuluh tahun
yang lalu akan terulang. Namun, kita semua pun tahu bahwa bumi ini dinamis
dan bersiklus. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan diri
kita untuk semua kemungkinan. Membangun sistem manajemen bencana yang baik
adalah investasi kita dan lingkungan kita pada masa depan.
Dengan sistem manajemen bencana yang baik, diharapkan ketika
sewaktu-waktu bencana tiba, dampak yang ditimbulkan bisa ditekan
seminimal-minimalnya. Hal tersebut dapat dimulai dari hal yang sederhana
dengan cara mengajarkan pendidikan siaga bencana kepada adik-adik atau
anak-anak kita di sekolah dasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar