Berkubang Lama di
Dalam Urusan Remeh
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang,
Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 28 Desember 2014
TIDAK ada hal yang bisa diperdebatkan tentang iman seseorang kecuali
kita berniat membuat kericuhan. Setiap pemeluk agama akan meyakini bahwa
ajaran agamanya yang paling benar. Kita tahu akan hal itu. Namun, apa boleh
buat, kita hidup di bumi yang sama dengan orang-orang yang berbeda keyakinan.
Kita bertetangga dan bersahabat baik dengan mereka. Mestinya ada hal-hal yang
bisa dibicarakan, dengan cara lebih rileks, tentang bagaimana hidup di dunia
–dan mendiami satu wilayah geografis tertentu– bersama orang-orang lain yang
memiliki keyakinan berbeda dari keyakinan kita.
Anda akan merasa pedih bahwa untuk masalah yang remeh, contoh paling
aktual adalah ucapan selamat Natal, kita harus ribut berkepanjangan. Pada
setiap akhir tahun, ada saja yang menyeret kita ke pusaran perdebatan
mengenai haram-halal bagi seorang muslim untuk menyampaikan ucapan selamat
Natal kepada teman-teman Nasraninya. Anda bisa menyebut itu sebagai
perdebatan yang mubazir, terutama karena kita tidak pernah bisa membuat keputusan
tegas berkenaan dengan topik tersebut.
Di tempat-tempat lain orang-orang sibuk memainkan sepak bola dengan
cara yang bagus, menulis cerita-cerita yang bagus, membuat film yang bagus,
menciptakan musik yang bagus, mengeluarkan pemikiran-pemikiran cemerlang,
mengembangkan pengetahuan dan sains serta teknologi melampaui apa-apa yang
sudah dicapai sebelumnya. Di sini kita masih memberikan waktu yang terlampau
panjang untuk urusan selamat Natal dan terus berkutat dengan urusan tersebut
tanpa tahu kapan bisa berhenti.
Anda memiliki teman-teman sekantor yang beragama Nasrani, teman dekat
yang beragama Hindu, Buddha, dan lain-lain. Yang terbanyak tentu saja Islam
karena negara ini dihuni oleh mayoritas penduduk beragama Islam. Saya juga
demikian. Kebanyakan teman saya beragama Islam, kemudian Nasrani. Jika nasib
saya baik, saya akan bisa menambah teman dari kalangan Hindu, Buddha,
Konghucu, Yahudi, dan aliran kepercayaan apa pun.
Di negara ini teman-teman yang beragama Nasrani dan lain-lain akan
menyampaikan selamat menjalankan ibadah puasa setiap menjelang Ramadan dan
mengucapkan selamat Idul Fitri saat Ramadan berakhir. Dan karena hidup adalah
saling memberi dan menerima, pada hari Natal orang menyampaikan ucapan
selamat merayakan hari Natal kepada teman-teman Nasrani. Sebetulnya, selain
Lebaran, hanya perayaan Natal yang disambut sangat meriah oleh para pedagang.
Mereka menghias toko dengan pohon terang serta menghadirkan Sinterklas di
pusat-pusat perbelanjaan dan tempat-tempat hiburan. Mereka juga menggantung
hiasan ketupat di mana-mana pada hari raya Idul Fitri. Ada satu lagi yang
disambut meriah oleh para pedagang di luar dua hari raya tersebut, yakni
tahun baru Imlek.
Para pedagang itu tidak sedang melakukan islamisasi ketika mereka
menggantung ketupat hiasan menjelang hari raya Idul Fitri. Mereka juga tidak
sedang melakukan kristenisasi dengan menampilkan pohon terang dan
menghadirkan Sinterklas. Dan ketika mereka menghias toko saat menyambut tahun
baru Imlek, itu tidak berarti mereka sedang berupaya mengubah orang-orang
dari berbagai suku lain menjadi orang Tionghoa. Anda tahu, memutihkan kulit
dan menyipitkan mata adalah hal yang sulit –terutama bagi orang-orang melarat
yang tidak punya uang untuk membayar jasa pemutihan kulit dan penyipitan
mata.
Setiap umat beragama memiliki iman yang membenarkan bahwa hanya
kalangan mereka yang akan diselamatkan dan berhak mendapatkan tempat terbaik
di akhirat nanti. Orang Islam meyakini bahwa hanya kaum muslim yang akan
masuk surga. Orang Nasrani meyakini bahwa hanya pengikut Kristus yang akan
masuk surga. Orang-orang dari agama lain mungkin juga begitu.
Dalam The Divine Comedy karya
monumental Dante Alighieri, yang menceritakan perjalanannya dari jurang yang
sangat dalam bernama neraka, lalu ke tempat penyucian, dan kemudian naik ke
surga, dia menceritakan pemandangan yang dijumpai dan siapa saja yang dilihat
di tempat-tempat itu. Dipandu oleh penyair Virgil, mula-mula dia tiba di
sebuah Limbo, sebuah perbatasan antara neraka dan surga, atau kurang lebih
semacam asrama bagi bayi-bayi yang meninggal sebelum dibaptis. Mereka tidak
berdosa sehingga tidak mungkin dibuang ke neraka, tetapi belum resmi menjadi
pengikut Kristus. Limbo juga merupakan tempat bagi orang-orang baik, para
pemikir, dan para pahlawan yang hidup sebelum Kristus sehingga mereka tidak
sempat diselamatkan. Ia juga merupakan tempat orang-orang baik dari agama
lain.
Di dalam Limbo itu Dante melihat, antara lain, para filsuf Yunani.
Misalnya, Socrates, Aristoteles, Plato, Bapak Kedokteran Hippocrates, dan
orang yang dianggap Bapak Kedokteran Modern Ibnu Sina. Para pendahulu
Kristus, yakni Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, Jakob dan istrinya, Rachel, serta 12
anaknya, juga berada di tempat tersebut. Tetapi, mereka diangkat dari tempat
gelap ke tempat terang. Dan kelak mereka akan diselamatkan oleh Yesus.
Selain mereka, Dante melihat Sultan Salahuddin al-Ayyubi, khalifah yang
memimpin pasukan Islam dalam Perang Salib ketiga, panglima perang yang lembut
hati dan melindungi 100.000 orang Kristen untuk merayakan Natal dengan damai
di Jerusalem, kota suci yang berhasil direbutnya setelah 88 tahun berada di
bawah kekuasaan Kristen. Salahuddin juga menolong Raja Richard Berhati Singa
ketika musuh besarnya itu dalam situasi sulit karena kudanya terbunuh dalam
pertempuran. Ketika Richard sakit, Salahuddin mengirim dokter-dokternya dan
dia sendiri menyamar sebagai dokter untuk bisa menjenguk dan mengetahui
perkembangannya.
Nama Salahuddin sangat terkenal di dunia Barat dan dihormati karena
sikap kesatria yang dia tunjukkan. Dua ratus tahun kemudian Dante menyebut
namanya, dengan rasa hormat, dalam karya besarnya ini. Salahuddin orang baik,
namun dia beragama lain. Karena itu, dia ditempatkan di Limbo.
Gambaran Dante tentang neraka (inferno) dan tempat penyucian
(purgatorio) dan surga (paradiso) adalah sebuah imajinasi yang mewakili
pandangan dunia tentang kehidupan setelah kematian sebagaimana diyakini oleh
gereja abad pertengahan. Saya pikir Mahatma Gandhi, Gus Dur, Sunan Kalijaga,
dan Siddharta Gautama juga merupakan para penghuni Limbo jika kita mengikuti
imajinasi Dante. Tidak apa-apa.
Apa yang bakal terjadi setelah kematian adalah hal yang tidak bisa kita
perdebatkan dan hanya membutuhkan sedikit kesabaran bagi kita untuk
membuktikan. Kita semua akan meninggal dunia pada saatnya dan di hari itulah
kita akan membuktikan seperti apa sesungguhnya yang bakal terjadi. Mungkin
kita hanya butuh waktu 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun, atau 50 tahun lagi untuk
menemui kematian. Tidak terlalu lama.
Masalah kita hari ini adalah bagaimana mengupayakan kehidupan di muka
bumi sebaik mungkin. Jika mengucapkan selamat Natal adalah haram bagi umat
Islam, umumkan saja haram. Jika boleh, umumkan boleh. Anda bisa mengikuti
keputusan tersebut atau tidak mengikuti; itu sikap pribadi. Anda boleh diam
saja pada hari Natal meski menteri agama menyatakan boleh mengucapkan itu.
Tidak ada yang akan menyalahkan sikap pribadi Anda. Teman Nasrani Anda tidak
akan menagih ucapan selamat jika Anda tidak mengucapkannya. Mereka akan tetap
merayakan Natal dengan rasa bahagia dan itu rasa bahagia yang tidak ada
hubungannya dengan kepercayaan orang lain di luar agama mereka.
Satu urusan menjadi beres jika ada ketegasan semacam itu. Tapi, siapa
atau institusi apa yang otoritatif untuk membuat keputusan? Kita nyaris tidak
bisa memercayai institusi apa pun di negeri ini kecuali pemerintah
membuktikan diri bahwa ia bisa menjalankan urusan-urusannya secara baik dan
mampu meningkatkan kualitas hidup seluruh warga negara.
Kita bisa menghargai keputusan orang untuk tidak mengucapkan selamat
Natal –karena alasan keimanan atau apa pun. Namun, saya merasa sedih kepada
orang-orang yang bisa dengan enteng sekali menyerukan kepada publik bahwa
mengucapkan selamat Natal adalah haram, seolah-olah mereka tidak tersentuh
oleh rasa belas kasih dan tidak memiliki sedikit saja empati kepada
orang-orang lain di luar diri mereka. Menyampaikan ucapan selamat adalah
ekspresi persahabatan. Ia merupakan salah satu wujud riil dari toleransi dan
paling mudah dijalankan, namun itu pun diharamkan.
Dalam situasi hari ini, kita tidak akan pernah tahu kapan perdebatan
sepele macam itu berakhir. Namun, saya percaya bahwa ketika mutu kehidupan di
negeri ini meningkat dan pemerintah benar-benar dirasakan manfaatnya bagi
seluruh warga negara, kita akan jemu sendiri memperdebatkan hal-hal remeh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar