Penghematan
Kurikulum 2013
Hemat Dwi Nuryanto ; Lulusan UPS Toulouse, Prancis
|
KORAN
JAKARTA, 15 Desember 2014
Menteri Kebudayaan dan
Pendidikan Dasar dan Menengah (Menbuddikdasmen), Anies Baswedan, menghentikan
Kurikulum 2013 dan memberlakukan kembali Kurikulum 2006.
Banyak ketidakberesan pada awal
penerapan Kurikulum 2013. Persiapannya juga tidak matang dari sekolah dan
guru. Akibatnya, muncul disparitas antara pembuat kebijakan dan pelaksana di
lapangan.
Penerapan Kurikulum 2013 juga
sangat boros anggaran proyek pengadaan buku yang mencapai 5,9 triliun rupiah.
Ini dibagi dua tahap. Tahap pertama, pengadaan buku melibatkan 48 perusahaan
senilai 3,5 triliun. Kedua, mengikutkan 31 perusahaan dengan anggaran 2,4
triliun.
Mestinya anggaran sebesar itu
bisa untuk membeli komputer tablet berisi konten pendidikan dan buku
elektronik. Tablet bisa dibagikan secara gratis kepada para siswa. Penerapan
Kurikulum 2013 mengandung ketidakberesan terkait pengadaan buku dan biaya
pelatihan guru yang terindikasi adanya penggelembungan anggaran.
Sejak awal, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendusnya. Wajarlah KPK mendukung keputusan
karena sarat masalah dan realisasinya banyak yang tidak beres. KPK juga
menyatakan Kurikulum 2013 tidak beres dari segi fasilitas penunjang.
Sudah banyak anggaran terbuang
sejak Kurikulum 2013 diberlakukan. Kurikulum 2013 yang dirancang berbasis
aktivitas itu berimplikasi pada pembengkaan anggaran dan kantong orang tua
siswa. Salah satu pemborosan penggunaan buku cetak sekali pakai setiap siswa
yang berisi konten Kurikulum 2013 berbasis aktivitas siswa.
Ini menyuburkan kembali mafia
perdagangan buku sekolah. Esensinya juga tidak sesuai dengan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi. Apalagi belum disertai sistem pengadaan yang baik
dan bersih dari praktik korupsi.
Sejak awal, Kurikulum 2013
telah terbelenggu berbagai persoalan klasik seperti disparitas mutu sekolah,
kekurangan infrastruktur, mutu guru, hingga dana BOS yang tidak efektif.
Belenggu tersebut semakin kuat karena modus korupsi di lingkungan pendidikan
makin subur.
Usaha pemerintahan Jokowi-JK
untuk membangkitkan generasi emas Indonesia tidak mudah. Harus ada usaha
keras melepas belenggu sistem pendidikan nasional. Dibutuhkan inisiatif jitu
guna menyelenggarakan pendidikan sesuai semangat zaman. Seluruh bangsa di
muka bumi saat ini tengah berusaha menyelenggarakan pendidikan terbaik bagi
rakyatnya.
Maklum, pendidikan menjadi
kunci kemajuan dan cara terbaik meningkatkan martabat. Masalahnya, apakah
usaha tersebut sudah sesuai dengan era sekarang. Dengan demikian,
penyelenggaraan pendidikan benar-benar berkualitas, murah, efektif,
mencerdaskan, dan dalam mengimplementasikan nilai-nilai.
Era kini sangat diwarnai
fenomena globalisasi dengan konvergensi teknologi informasi dan komputerisasi
(TIK). Kaum belia, seperti Sergey Brin dan Larry Page sang perintis Google,
semakin mewarnai era dengan berbagai karya visioner mereka.
Tidak bisa dimungkiri, The Search (mesin pencari) telah
merevolusi dunia, merombak pranata bisnis, menyegarkan kebudayaan, serta
mentransformasikan proses pendidikan begitu cepat. Mesin-mesin pencari
bergerak secepat kilat lalu menyajikan berbagai informasi di depan mata.
Dia seperti menelan jutaan
perpustakaan, lalu “menyemburkan” ketika diminta. Google, Yahoo,Wikipedia,
dan lainlainnya begitu pemurah dan secara sukarela mengunggah karya-karya
warga dunia menjadi aset semesta.
Adaptasi
Di tengah kedahsyatan
konvergensi TIK, ada pertanyaan besar mengganjal. Bisakah sistem pendidikan
negeri ini adaptif dengan semangat zaman. Proses pendidikan mestinya tidak
terjebak dalam rutinitas dan formalitas belaka.
Harus ada terobosan inovatif,
kreatif, dan transformatif sistem pembelajaran.
Dibutuhkan sistem
pembelajaran interaktif yang melibatkan konvergensi TIK secara optimal untuk
menunjang materi ajar, peraga, lembar kerja siswa, kegiatan ekstrakurikuler,
pengembangan profesi guru, dan standardisasi sekolah.
Berbagai terobosan pada
waktunya akan membangkitkan generasi emas. Indikasinya budaya atau komunitas
mengunggah ilmu pengetahuan makin subur terutama yang berbasis lokal. Perlu
strategi transformasi pendidikan nasional yang lebih berkeadilan, murah, yang
berbeda esensi dan praktiknya dengan sistem RSBI/SBI.
Sebenarnya, esensi dasar
pembentukan RSBI/SBI dulu adalah mentransformasi pembelajaran. Namun,
transformasinya semakin menampar rasa keadilan rakyat dan menyuburkan
liberalisme ekonomi pendidikan.
Hal itu merupakan paradoks,
mengingat ada arus besar dunia yang sangat menguntungkan segenap aktivitas
manusia, khusunya proses pendidikan, yakni pesatnya konvergensi TIK, Open
Innovation, Wikinomics dan meluasnya sosial media. Dengan arus itu, mestinya
transformasi bisa lebih murah.
Diperlukan visi membangun
sistem yang mendukung lingkungan pembelajaran generasi baru atau next
generation learning environment dengan memanfaatkan TIK. Tujuannya
meningkatkan kualitas pembelajaran dan administrasi.
Selain itu, juga demi
intensitas interaksi antara guru, siswa, orang tua, komunitas, dan sekolah
yang lebih efektif. Sosok guru yang inspiratif membutuhkan perangkat untuk
menunjang proses pengajaran serta meningkatan profesionalitas. Sangat ironis,
jika masih ada guru gagap TIK.
Padahal, kekuatan konvergensi
TIK dan kemampuan mesin pencari di internet telah merevolusi tata kelola
kebudayaan dunia. Di samping itu, transformasi proses pendidikan begitu
cepat. Mesin pencari juga sangat pemurah karena menyediakan sumber informasi
tak terbatas sebagai bahan baku berkreasi dan berinovasi.
Ada landasan filosofis kokoh
untuk transformasi Diknas, yakni sarana dengan program komputer tablet.
Implikasinya sangat berarti bagi bangsa, asal tidak terjebak dalam pemborosan
anggaran (korupsi).
Kebijakan dan langkah transformasi
sarana pendidikan sebaiknya mewujudkan ekosistem C Generation (Conected Generation) yang baik. Dengan
demikian, anggaran pendidikan nasional bisa lebih optimal sekaligus bisa
menumbuhkan industri kreatif perangkat lunak dan konten produk dalam negeri.
Transformasi tidak perlu
bergantung sepenuhnya pada vendor asing karena bisa memboroskan keuangan
negara dan mematikan kreativitas anak negeri. Program komputer tablet sebagai
sarana pendidikan sesuai dengan tren dunia. Skema pembiayaannya sebaiknya
secara gratis.
Alokasinya dari pengalihan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS ) yang selama ini tidak efektif. Proses
produksi perangkat keras komputer tablet bisa bekerja sama dengan BUMN,
swasta, atau perguruan tinggi. Sementara aplikasi perangkat lunak dan konten
bisa menggunakan hasil karya pengembang dalam negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar