Laporan
dari Omah Munir
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan panajournal.com
|
KORAN
TEMPO, 15 Desember 2014
Seminggu
lalu, Senin, 8 Desember 2014, saya berada di Omah Munir, di Kota Batu,
Malang, Jawa Timur. Itulah tanggal kelahiran Munir Said Thalib, yang jika
tidak meninggal akibat konsentrasi Arsenik 3 sebanyak 0,460 miligram per
liter yang menyebabkan blokade reaksi detoksifikasi, Selasa 7 September 2004
di udara, dalam pesawat Garuda, 40 ribu kaki di atas tanah Rumania, tentu
kini berusia 49 tahun.
Tertera
pada poster pameran instalasi fotografi Fanny Octavianus dan Yaya Sung yang
dibuka siang itu tulisan, "49-39 = 10 th Menolak Lupa". Sementara
"jalan 39" merupakan usianya pada akhir hayat, sudah 10 tahun orang
tidak lupa bahwa Munir dibunuh. Jadi bukan hanya meninggalnya Munir yang tak
hilang dari ingatan, tapi juga kecenderungan untuk melupakannya sebagai
trauma yang tidak ingin diingat ataupun sebagai sikap menghindari tanggung
jawab.
Sebagai
kurator pameran, mengapa saya memilih kata "menolak", bukan
"melawan" yang nyaris menjadi baku dalam seruan "melawan
lupa"? Sebab, meski "melawan" mungkin lebih heroik, dalam cara
berpikir dialektik kata itu merupakan antitesis yang belum ketahuan
sintesisnya, sedangkan "menolak" adalah sintesis definitif sebagai
kelanjutan tindak melawan itu.
Sementara
dengan kata "melawan" penyandangnya terposisikan sebagai kelompok
marginal, yang melawan proyek pembiaran (baca: kesengajaan untuk melupakan)
dari kelompok dominan, kata "menolak" merupakan sintesis definitif
yang penyandangnya boleh dianggap terposisikan sebagai kelompok dominan,
sehingga siapa pun yang berpura-pura melupakannya bolehlah diandaikan sebagai
"yang lain"-yang tentu saja tidak perlu berkonotasi tertindas,
kasihan, eksotik, atau heroik, melainkan apa pun yang berkonotasi negatif,
sebagai makhluk yang tidak layak mendapat simpati karena kesengajaannya yang
tidak termaafkan.
"Menolak
lupa" menjadi ukuran, standar, patokan, dan akal sehat, wacana dominan
dan absah dalam klaim atas normalitas-yang normal adalah yang menolak lupa,
yang abnormal adalah yang lupa-ketika menganggap terbunuhnya Munir, jika
bukan "baik dan benar" (menurut para pelakunya), setidaknya
"bukan urusan saya" (menurut publik apatis produk Orde Baru).
Namun
catatan ini belum menjadi laporan jika tidak saya sampaikan bahwa pada hari
itu secara formal dan resmi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
memberi penghargaan kepada almarhum Munir. Mengingat pada 29 November
sebelumnya Pollycarpus Budihari Prijanto, yang telah dinyatakan bersalah,
dibebaskan bersyarat dan menimbulkan gelombang reaksi pernyataan
"melukai rasa keadilan", penghargaan Komnas HAM dapat terbaca
sebagai manuver pada saat yang tepat.
Sebetulnya,
istri almarhum Munir, Suciwati diminta datang ke Yogya untuk menerima
penghargaan tersebut pada Hari Hak Asasi Manusia Sedunia pada 10 Desember,
yang juga diberikan kepada almarhumah Maria Ulfah Soebadio, sebagai orang
pertama yang memasukkan "ayat-ayat HAM" dalam perundang-undangan,
tapi Suciwati tidak bersedia.
"Udah
sebel ya?" Tanya saya ketika cari jajanan sore-sore sebelum kembali ke
Jakarta.
"Wah,
udah enggak sebel lagi Mas, saya udah sampai pada tahap, tahap…. apa
ya…."
Saya
tidak ingat apakah kemudian Suciwati menemukan suatu kata yang bisa
menerjemahkan pendapat ataupun suasana hatinya. Tapi menurut saya sangat
penting untuk menggarisbawahi: tidak terlalu mudah dalam posisi Suciwati
untuk menerima, bukan sekadar terdakwa kasus pembunuhan Munir yang bisa
dibebaskan bersyarat "sesuai dengan prosedur", tapi juga bahwa otak
pembunuhan Munir belum terungkap. Tepatnya, belum terungkap secara hukum.
"Apakah
Mbak Uci itu tidak terlalu keras ya, Mas?" seorang aktivis bertanya
tentang sikap Suciwati, bukan kepada Komnas HAM, melainkan sikapnya secara
umum atas keterbunuhan Munir yang telah menjadi komoditas politik.
"Mbak
Uci itu istrinya Munir," kata saya, "apalagi yang bisa diharapkan
dari seorang istri yang suaminya dibunuh?"
Hari itu
adalah kali pertama saya berada di Omah Munir karena proses kurasi kami
lakukan di Jakarta. Setelah cukup berjarak, dapatlah saya tangkap, di balik
kekerasan sikapnya (bertemu dengan presiden pun tidak mau jika tidak ada
langkah yang berarti) sebetulnya Suciwati melakukan aktivisme dengan apa yang
disebut soft power.
Sebagai museum yang sangat kecil, Omah Munir ternyata amat sangat
penting karena merupakan satu-satunya museum di Indonesia yang mengabdi
kepada penyadaran hak asasi manusia. Bukan otak pembunuhan Munir lagi, entah
siapa dia, yang menjadi "musuh" Suciwati, melainkan anasir-anasir
kejahatan sebagai potensi manusia yang membutuhkan tidak sembarang
konsistensi untuk melawannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar